Mohon tunggu...
JAYA ERIYANTO E SIBORO
JAYA ERIYANTO E SIBORO Mohon Tunggu... -

Menulis untuk belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beban Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Belum Usai

11 November 2016   13:03 Diperbarui: 24 November 2016   13:48 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di masa kepemimpinan beliau (Bapak Lukmanul Hakim), SMU Negeri 1 Muara Aman, kini SMAN 1 Lebong Utara, alumni-alumni kami bisa diterima di universitas-universitas top tanpa tes. Sejak itu, jumlah alumni yang lanjut studi ke perguruan tinggi terus bertambah. Gaya kepemimpinan beliau kini menjadi kenangan dan cerita teladan.

Setelah beliau, hadir sosok yang lebih suka menarik/mencubit perut siswa ketika salah. Kalau beliau bicara justru bikin geli. Karena pas kena marah saja maka ketawa bisa dipaksa tak membahak. Walau salah, perut dicubit, kita masih bisa cengengesan mendengar kata-katanya. Di era beliau, siswa yang jadi langganan cubit bisa tamat memuaskan. Banyak yang sudah sukses. Jadi aparat, wakil rakyat, dan pejabat daerah.

Saya yang berjumpa beliau (alm Edi Suara) setelah tamat kuliah dan bekerja, pernah diberi cerita tentang ulah bekas anak didiknya. Suatu hari ketika beliau berada di Kota Palembang, Sumatera Selatan, seorang bekas muridnya yang sudah jadi polisi menghentikan laju kendaraan yang ditumpanginya.

Saat itu beliau tak ingat polisi itu pernah jadi muridnya. Maka ketika distop lalu dimintai surat-surat kendaraan seperti biasanya polisi lalu lintas, beliau nurut saja. Lalu beliau diminta turun, terus dibawa si polisi ke rumah makan.  Dikira mau diajak 86, beliau malah ditraktir makan siang. Saat itu lah si polisi tadi kasih tahu dia adalah anak didiknya di masa SMA.

Saya yakin ada banyak cerita dan kisah yang serupa di negeri ini. Yang paling fenomenal tentu cerita yang jadi buku novel dan film Laskar Pelangi. Barangkali karena jumlah siswa dan guru yang minim, kita tak sempat lihat sosok guru yang galak, suka marah. Hanya sosok guru Halimah yang ramah, dan sabar. Atau kepala sekolah yang mengayomi dan penyayang.

Kini dengan makin cueknya guru, saya melihat anak-anak sekolah yang tak paham etika, tak pandai menghargai orang yang lebih tua. Di warnet, di perempatan jalan, anak usai sekolah cuek bebek merokok. Yang parah menghisap lem aibon. Di lain tempat, kasusnya juga parah: main ganja dan narkoba.

Begitu lah sekilas pengamatan saya dari sisi kelamnya. Tentu dari sisi terangnya akan ramai juga cerita indah soal perubahan sikap guru dalam mendidik murid-murid yang lebih ramah, tanpa kekerasan (fisik, psikis). Pun demikian, rasanya jarang ada guru yang marah luar biasa kalau anak didiknya tak bikin ulah yang diluar kewajaran juga. Guru, seperti orang tua kita di rumah, akan sangat senang dan bangga ketika kita bisa berlaku baik, pintar, nilai bagus, lalu tamat sekolah tanpa masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun