Oleh : Jaya Mendrofa
17 April 2019 akan menjadi ajang pesta demokrasi besar-besaran dalam sejarah Indonesia. Bagaimana tidak, Pemilu kali ini sekaligus melaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Calon Legislatif (DPRD, DPD dan DPR) dalam waktu dan hari yang bersamaan.Â
Bila melihat penggabungan pelaksanaan ini sebenarnya merupakan terobosan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi penggabungan ini menjadi ujung kerugian bagi pemilihan Caleg dan juga bagi rakyat.Â
Setiap Caleg kampanye, pasti tidak melupakan mengkampanyekan Capres dan Cawapres yang diusung oleh partainya. Apakah tugas kampanye Caleg ini untuk mengkampanyekan Capres dan Cawapres ?Â
Atau ini cara untuk memudahkan kampanye capres dan cawapres ?. Begitu juga rakyat yang akan bingung menentukan sikapnya dan cenderung malas membahas pemilihan caleg karena tidak eksis dibanding pemilihan capres dan cawapres. Langkah pertama pemilu untuk mencegah yang terburuk tidak tercapai.
Realita Pemilu adalah cara untuk memilih yang menguntungkan baik pribadi, golongan maupun kepentingan umum. Â Rakyat tidak lagi melihat yang terburuk atau tidak karena hampir daya kritis semakin terkikis di Indonesia.Â
Daya nalar telah berhasil dipermainkan oleh oknum elite politik, baik melalui berita tidak benar maupun janji-janji kampanye. Rakyat Indonesia dibuat memilih atas dasar kepentingan, seakan-akan menunjukkan bahwa mereka akan beruntung memilih salah satu Paslon dibandingkan memilih Paslon yang lain.Â
Akibatnya, rakyat Indonesia jadi memprioritaskan Paslon yang menurut nalar mereka tidak akan merugikan bagi pribadinya, golongannya dan kepentingan umum sekitarnya.Â
Atas dasar hal tersebut, pemilihan bukan lagi berdasarkan hati nurani, melainkan berdasarkan pemikiran (bisa salah berpikir ataupun tepat berpikir). Apakah ini politik sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan yang benar ? berdasarkan Etika Politik Indonesia ini bukan jati diri politik yang sesungguhnya. Â
Bukan barang baru bahwa keuntungan yang dimaksud tersebut dapat berbuah Masalah atau berbuahkan kebaikan. Hal itu disebabkan karena Politik Identitas, Politik Pesimisme, Politik Optimisme dan Politik Uang yang diciptakan oleh oknum elite politik dalam setiap Pesta Demokrasi menjadi faktor Pemilih tidak lagi berupaya mencegah yang terburuk berkuasa melalui Pemilu berdasarkan hati nuraninya.Â
Melainkan memilih atas dasar sejauh mana Paslon akan menguntungkan buat mereka berdasarkan pemikiran yang masih murni atau pemikiran yang berhasil dipermainkan oleh oknum elite politik.Â
Hal ini menandakan Indonesia telah mengalami kemerosotan moral dalam berpolitik, lupa dengan etika politik Indonesia yang berbasis pada Pancasila.Â
Rakyat mudah diobrak-abrik, Oknum Elite Politik semakin menjadi-jadi. Jangan anggap bahwa sebagai rakyat sudah melaksanakan kedaulatannya melalui demokrasi bila kemurnian pemikiran kita dijajah oleh oknum elite politik dengan menggunakan janji-janji kampanye dan berita tidak benar. Â
Mengembalikan pemilu sebagai wadah pesta demokrasi yang membuktikan bahwa Rakyat berdaulat harus dimaksimalkan untuk memilih pemimpin yang mampu membawa Indonesia yang sejahtera.Â
Mendorong Indonesia diperhitungkan di mata dunia dan membantu Indonesia menuntaskan masalah yang membumi di bangsa Indonesia ini. Perbaikan moral harus terus diperjuangkan agar tujuan mulia bangsa Indonesia tercapai dengan baik dan para pendahulu bangsa tidak menyesali pernah meneteskan darah dibumi yang kaya ini. Â
Salam Indonesia Sejahtera !!!
Ig : @jaya_mendrofa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H