Mohon tunggu...
Dani -
Dani - Mohon Tunggu... profesional -

mencari keindonesiaan, menggali kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

SID: Memanfaatkan Internet, Mengarusutamakan Perdamaian

25 Desember 2014   06:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:30 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perkembangan teknologi informasi telah membawa dunia kita saat ini ke situasi yang mungkin sulit dibayangkan oleh sebagian besar orang seratus, lima puluh dua puluh ataupun sepuluh tahun yang lalu. Jumlah mereka yang mengerti dan menggunakan internet terus bertambah, dengan tingkat intensitas penggunaan yang meningkat dengan pesat pula. Baik menggunakan komputer (desktop, laptop, tablet) ataupun telepon selular (smart phone), akses ke internet semakin mudah dan murah. Oleh karena itu, orang dari beragam profesi, mulai dari pelajar, guru, wartawan, pedagang hingga politikus, berbondong-bondong menggunakan internet untuk mendukung aktivitasnya. Uniknya, fenomena ini berkelindan erat dengan proses demokratisasi di berbagai negara, dimana ruang untuk memperoleh, menggunakan dan menciptakan informasi itu semakin terbuka lebar. Peristiwa Musim Semi di negara-negara Arab (Arab Spring) menunjukkan hal ini dengan jelas.

Indonesia sendiri, mengalami perubahan politik dari rejim yang lebih tertutup dan diktator menuju rejim yang lebih terbuka dan demokratis, lebih dari 16 tahun yang lalu. Saat itu internet belum begitu berkembang. Namun seiring dengan proses demokratisasi di negeri ini, internet juga bertumbuh dengan pesat. Dua hal ini saling menunjang dan memperkuat, dan memberi kontribusi yang tidak sedikit bagi proses reformasi lebih dari satu dekade ini. Internet memiliki kekuatan dan sumbangsihnya tersendiri. Antara lain, proses produksi dan konsumsi informasi menjadi lebih interaktif dan sejajar. Akibatnya, tidak hanya informasi membanjiri kita, transparansi dan akuntabilitas semakin dipentingkan. Kecepatan penyampaian berita atau real time jugamenjadi salah satu keunggulan. Namun, dibalik semua ini, internet juga menyimpan kelemahan. Apa yang terjadi saat pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden (pilpres) lalu, menjadi bukti dan catatan tersendiri yang tak dapat kita abaikan.

Saya cukup tersentak dengan dinamika pilpres 2014 lalu. Di satu sisi, partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif memberikan secercah harapan. Namun, di sisi yang lain, partisipasi yang tidak/kurang bertanggungjawab dalam bentuk kampanye hitam (lihat analisa Ahmad Budiman, DPR RI dan Arfianto Purbolaksono, the Indonesian Institute), sangatlah disayangkan. Fitnah dan kebencian yang disebarkan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, begitu meluber dan mengerikan. Terlebih, di dunia maya dan media sosial, hal ini terjadi dengan cukup masif dan derajat yang cukup terbayangkan. Sementara itu, sebagian besar oknum-oknum di balik semua ini, tidak memiliki data diri atau kualifikasi yang jelas, atau terkenal dengan istilah akun/situs abal-abal. Dari beberapa provokator inilah, sebuah berita atau informasi diplintir, diacak, didistorsi atau bahkan diputarbalikan, sehingga emosi lebih dominan daripada rasio. Diskusi antara netizens tidak hanya tidak produktif, tetapi juga menjadi destruktif, penuh dengan ejekan, makian dan hinaan. Tak ayal, perbedaan pilihan presiden ataupun pendapat politik, merembet ke agama keyakinan, suku ras, golongan dan identitas-identitas pribadi lainnya. Perbedaan ini pula yang membuat beberapa sahabat saya bertengkar dan/atau memutuskan tali persahabatannya (misalnya, unfriend atau block di media sosial). Beberapa kerabat yang memiliki pilihan berbeda juga merasa canggung dan kikuk satu sama lain. Saya sendiri yang berusaha di “tengah-tengah” pun, merasa tak nyaman. Bahkan, jika diteruskan, konflik ini dapat bereskalasi dan meletuskan kekerasan. Tragedi kekerasan yang mengerikan yang terjadi sepanjang sejarah manusia, seperti di Rwanda tahun 1994, adalah buah-buah kebencian yang terus dipupuk dan dibiakkan (lihat: Hendardi, Setara Institute dan David Yanagizawa, Harvad University). Tentu, kita tidak ingin Indonesia mengalami bencana kemanusiaan yang serupa.

Berdasar keprihatinan dan kewaspadaan inilah, jika mendapat paket internet gratis, saya bermimpi untuk berkontribusi mewujudkan Indonesia yang lebih damai, lebih baik, melalui internet, terutama lewat media sosial. Mimpi ini saya namakan, “Suara Indonesia Damai” (SID). Perdamaian di sini memang memiliki makna bagaimana kekerasan, kebencian dan fitnah yang beredar di internet itu dapat dikurangi atau ditekan seminimal mungkin. Tetapi, mengambil konsep Johan Galtung tentang positive peace, perdamaian juga memiliki arti yang lebih luas, yakni terciptanya keadilan sosial melalui kesetaraan kesempatan, kesetaraan dalam hukum – pemberian kewajiban dan perlindungan hak, restorasi hubungan sosial dan adanya mekanisme untuk mengatasi konflik. Dalam pemahaman ini, perdamaian juga berarti bagaimana memberi kesempatan bagi mereka yang termarjinalkan untuk didengarkan.  SID mengusung prinsip jurnalisme perdamaian (peace journalism), daripada jurnalisme peperangan (war journalism).

Berkaitan dengan hal ini, beberapa misi yang akan dilakukan oleh SID adalah:


1. Mengkampanyekan sikap pro-aktif daripada reaktif.

Sikap reaktif di sini berarti bertindak emosional, misalnya, berkomentar dengan pedas atau menyebarkan informasi hanya gara-gara membaca satupost di sosial media atau satu artikel di media daring (online media). Sebaliknya, sikap pro-aktif adalah lebih telaten, teliti dan sabar dalam membaca sekeping informasi. Ini dapat berarti tabayun, membaca ulang dan mengkritisi informasi tersebut dengan lebih hati-hati, memeriksa informasi tersebut dengan memeriksa silang (cross-check) dengan informasi lain yang berasal dari sumber yang berbeda ataupun menunggu perkembangan lebih lanjut dari berita tersebut karena informasi yang diberikan dapat belum lengkap atau tidak/kurang tepat.

2. Membangun budaya berdialog yang terbuka, santun dan membangun (constructive).

Keterbukaan berarti menerima dan menghargai keberagaman pendapat dan sudut pandang. Ini juga mentoleransi berbagai kemungkinan yang ada, termasuk kemungkinan-kemungkinan: saya benar anda salah, saya salah anda benar, saya salah anda salah, atau saya benar anda benar. Lebih jauh, ini membawa pada sikap berani untuk mengakui dan meminta maaf, serta memaafkan. Lalu, kesantunan berarti memakai bahasa (kata, tanda baca ataupun gambar/ilustrasi) selaras dengan konteks sosial budaya yang ada. Ketika suatu post ditujukan hanya untuk sekelompok grup tertutup, bahasa yang digunakan dapat menjadi lebih tidak terikat daripada yang ditujukan untuk khalayak ramai. Pengetahuan dan kepekaan menjadi kunci di sini. Kemudian, sifat membangun berawal dari motivasi mencari solusi untuk kepentingan bersama dan pemikiran bahwa perbedaan pendapat adalah modal untuk mencapai solusi yang terbaik. Terakhir, berdialog bermakna mencoba untuk mendengarkan lebih dalam lagi, sembari menyampaikan umpan balik, pendapat kita sendiri.

3. Melatih kemampuan berdiskusi dan bernalar yang produktif.

Selain mendengarkan dan berpendapat, berdiskusi juga berarti bagaimana menyusun argumen dengan efektif. Argumen harus didasarkan data yang sahid (valid) dan terpercaya (reliable), dan disusun menjadi satu organisasi yang runtut dan logis. Selain itu, diskusi menjadi produktif bila kesalahan-kesalahan logika (logical fallacies) diperhatikan betul dan dihindari. Salah satu contoh, permasalahan dari diskusi-diskusi di media sosial yang memanas dan berujung konflik adalah kesalahan logika, argumentum ad hominem. Kecenderungan untuk menyerang pribadi yang bersangkutan, daripada menyanggah atau mematahkan argumennya, sangat besar.

4. Mempromosikan literasi tentang internet dan sosial media.

Banyak orang terjebak dan mudah percaya oleh informasi oleh media daring ataupun seseorang melalui sosial media. Seharusnya, orang tersebut menyadari bahwa di internet ada banjir informasi yang harus disaring, dipikirkan dengan kritis dan disikapi dengan skeptis. Kita harus belajar untuk lebih melek bagaimana suatu media atau orang menyampaikan informasi. Hal ini bisa dicermati, dari pola pemberitaan atau penyampaiannnya (misalnya: tendensius, tak lengkap, atau tak logis), dan kredibilitas mereka yang menyampaikan (termasuk sejarah orang/media yang bersangkutan, keberadaannya yang jelas, dll.). Contoh konkretnya, ketika suatu media daring menuliskan suatu berita, selain dari aspek internal informasi tersebut (judul, isi, bahasa, argumen), kita juga menganalisa dengan melihat apa visi misi media tersebut, siapa di balik berita dan media tersebut (pemimpin redaksi, wartawan, pemilik), keberadaan media tersebut (alamat kantor, telepon/fax, email) dan bagaimana media itu mengambil kerangka (framing) untuk berita-berita lainnya. Seringkali, media abal-abal mengaburkan atau bahkan menghilangkan hal-hal seperti ini. Mulai dari visi misi yang tidak jelas, tidak ada susunan redaksi ataupun menghilangkan nama penulis atau inisial wartawan, hingga tidak mencantumkan alamat kantor atau email yang bisa dihubungi.

5. Mendorong pemaknaan positif dari internet dan sosial media.

Pemaknaan positif adalah mempercayai dan menggunakan internet dan sosial media untuk kegiatan-kegiatan yang lebih menjalin silahturami atau persaudaraan, membangun pemahaman dan mencari solusi. Walau tantangan, problem dan konflik dapat selalu ada dan memang harus diakui, namun bagaimana menghadapi tantangan, mengatasi masalah dan mentransformasikan konflik adalah yang paling utama. Oleh karena itu, masyarakat perlu turut aktif menyampaikan pendapat atau melaporkan hal-hal yang mungkin tidak/belum terungkap di publik. Namun, partisipasi aktif ini juga hendaknya berkualitas, dimana ada analisa yang logis atau solusi yang ditawarkan. Lagi pula, semuanya didasari dengan keinginan untuk memberikan sumbangsih dan harapan bagi orang lain.

Secara umum, tujuan misi ini bisa digambarkan sebagai berikut:

konsumen → produsen → produsen produktif → produsen produktif dan berkualitas

Dari segi teknis, SID akan berfokus dulu pada media sosial Facebook dan Twitter yang paling banyak digunakan oleh orang Indonesia (bandingkan dengan data Kementrian Komunikasi dan Informatika tahun 2013). Sebuah grup dan akun Facebook dan akun Twitter, akan dibuka. Informasi-informasi yang sesuai dengan visi dan misi SID akan ditampilkan beberapa hari sekali. Informasi ini dapat berupa berita, artikel opini ataupun post dan kicauan, maupun ilustrasi yang relevan. Group Facebook akan menjadi komunitas SID, tempat berdiskusi secara intensif dan menyebarkan semangat dan gagasan SID. Selain itu, berjejaring dengan orang, komunitas atau institusi yang berkaitan akan dilakukan, untuk mengenalkan dan membuka ruang interaksi lebih jauh. Dalam waktu tiga bulan, seratus orang atau kelompok di Facebook atau Twitter dapat terhubung dengan dan mendukung SID. Dan, jumlah ini diharapkan bertambah hingga sekitar 500 dalam kurun enam bulan.

Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak luput dengan catatan konflik dengan kekerasan. Perkembangan teknologi informasi yang pesat, bagaikan pedang bermata dua. Sisi yang satu dapat menambah catatan kekerasan itu, namun sisi yang lain membuka peluang untuk mencegahnya. Tambahan pula, kebencian dan fitnah sebagai benih-benih kekerasan itu beredar dan menyebar dengan merajalela di sosial media, dan belum memiliki lawan yang cukup dan sepadan. Dan, gagasan ini mencoba untuk menggarap tantangan ini. Suara Indonesia Damai, memanfaatkan internet, mengarusutamakan perdamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun