Ia juga pernah menangis ketika ia dituduh Marhotap mencuri batu manik-manik miliknya. Saat itu pula, adik-adiknya baru pertama kali melihat bagaimana kakak mereka menangis.
Eliana pernah menantang Anton lomba lari, hanya karena ia tidak mau diremehkan sebagai perempuan yang lemah. Bapak memberi nasihat kepada anak-anaknya, "Jangan pernah meremehkan anak perempuan. Kau juga benar kalau laki-laki dilahirkan lebih kuat, lebih cepat. Tapi bukan berarti perempuan tidak punya kelebihan. Esok lusa, kau akan tahu, di mana-mana, di bidang apa pun, perempuan bisa terlibat dan melakukan segala hal sebaik laki-laki. Sejatinya kita memang tidak boleh saling meremehkan. Anak laki-laki tidak boleh meremehkan anak perempuan. Sebaliknya, anak perempuan tidak boleh meremehkan anak laki-laki." (hal 220), "Kita harus saling mengisi dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing" (hal 232).
Sepanjang cerita, Eliana akan selalu berurusan dengan penambang pasir yang merusak kampungnya. Ia bersama gengnya, "Empat Buntal", menjalankan beberapa rencana untuk mengusir penambang pasir tersebut. Sempat rencana mereka diketahui Bapak, Pak Bin, serta para tetua, dan berhasil melarang mereka untuk tidak melakukannya lagi. Tapi itu tidak bertahan lama. Akibat dari rencana mereka, Eliana kehilangan sahabat terbaiknya. Namun, karena aksi mereka juga lah yang membuat penambang pasir di kampung mereka dihentikan. "Saat kami benar-benar merasa kalah, saat kami sudah merasa tiba di ujung batas kekuatan yang kami miliki, saat kami berpikir tidak akan ada pertolongan lagi, maka janji itu tiba." (hal.414)
Selain bercerita tentang keberanian Eliana, ada sebuah kejadian lucu yang melibatkan kepolosan Burlian menanggapi sebuah 'selebaran' yang membuat gempar orang-orang membacanya. Isi selebaran itu mengharuskan si pembaca untuk menulis kembali isi selebaran itu dan menyebarkannya kepada siapa saja, dan begitu seterusnya. Hingga pada saat di sekolah, Pak Bin yang mengakhiri 'lingkaran sesat' selebaran tersebut.
Dari kejadian tersebut, Wak Yati berkata "Bahkan besok lusa, saat kalian sudah besar, ketika semua serbamaju, jangan-jangan selebaran ini mengambil bentuk yang lebih hebat lagi. tidak perlu disalin, cukup digandakan dengan entahlah, dikirim lewat alat-alat canggih." (hal.79) Ini menunjukkan bahwa dulu, Wak Yati sudah memprediksikan bahwa itu akan terjadi lagi, namun dengan cara yang berbeda.
Seperti yang kita ketahui beberapa tahun silam bahkan mungkin masih ada hingga sekarang, sering kali orang-orang menyebarkan pesan-pesan 'sesat' melalui instant messages yang meminta penerimanya untuk mengirimkan lagi ke orang lain.
"Jangan pernah takut atas hal yang kasatmata di dunia ini. jangan pernah takut pada sesuatu yang tidak sejati. kalian keliru jika takut pada hal-hal remeh seperti itu. takutlah berbuat jahat, mengambil hak orang lain. Takutlah menganiaya, berbohong, mencuri dan merendahkan harga diri. takutlah atas hal-hal seperti itu, sesuatu yang lebih sejati. maka kalian tidak akan pernah takut pada apa pun lagi." (hal.78).
Ketika Eli ditanya apa cita-citanya, ia ingin menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Awalnya ia tidak tahu akan sebagai apa untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, namun pada akhirnya ia tahu dan berhasil mewujudkannya.
Tidak berbeda dengan novel karya bang Tere yang lain, novel ini selalu menyelipkan pesan-pesan moral tentang kehidupan. Novel ini juga terdapat footnote yang cukup membantu menjelaskan beberapa istilah, baik istilah asing maupun tambahan pendukung dalam beberapa cerita.
Kisah Eliana di novel ini seru dan bikin penasaran dengan keberanian apa lagi yang akan dilakukan Eliana. Sejauh yang aku baca, hampir tidak ada kesalahan penulisan.
Hanya pada halaman 289, "Aku tidak memperhatikan Eli dan Damdas yang berdebat macam pengamat film ternama.", pada kalimat tersebut terdapat kekeliruan penulisan nama tokoh, dimana seharusnya Hima dan Damdas. Nilai untuk novel ini, aku kasih 9/10. Recommended untuk dibaca bagi yang berusia 13 tahun keatas. Selamat Membaca! :)