"Aku Eliana, si anak pemberani, anak sulung Bapak dan Mamak yang akan menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Berdiri paling gagah, paling depan."
***
Buku ini tentang Eliana, si anak pemberani yang membela tanah, sungai, hutan, dan lembah kampungnya. Saat kerakusan dunia datang, Eliana bersama teman karibnya bahu-membahu melakukan perlawanan.
Dari puluhan buku Tere Liye, serial buku ini adalah mahkotanya.
*****
Novel Si Anak Pemberani merupakan salah satu buku serial anak nusantara karya bang Tere Liye yang terbit pada bulan Desember 2018. Novel ini recovery dari novel Eliana karya bang Tere Liye beberapa tahun silam. Perbedaan novel ini hanya pada judul dan ilustrasi gambar pada cover, keseluruhan alur cerita tetap sama. Cover yang baru ini lebih jelas terlihat menggambarkan tokoh utamanya adalah anak yang pemberani dan ceritanya berkaitan dengan truk-truk, sungai, dan hutan.
"Aku" pada novel ini diceritakan dari sudut pandang Eliana sebagai tokoh utamanya. Eliana adalah anak sulung Mamak dan Bapak dan memiliki tiga adik kandung; Pukat, Burlian dan Amelia. Sebagai anak sulung, ia sangat diharapkan oleh Mamak sebagai kakak yang bisa menjadi teladan yang baik bagi adik-adiknya.
Pernah suatu waktu, Eliana merasa benci menjadi anak sulung karena ia yang selalu dimarahi, diomeli oleh Mamak setiap kali Amelia, Burlian, atau Pukat melakukan kesalahan. Hingga suatu saat ia menyadari bahwa "Jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian." (hal.305)
Eliana selalu menunjukkan bahwa ia adalah anak yang pemberani. Ia tidak pernah menangis untuk masalah yang sepele. Ia pertama kali menangis ketika ia merasa sakit hati Bapak dihina sebagai 'keluarga misikin'. Ia berteriak marah kepada orang yang menghina Bapak, "Walau sederhana, sungguh, keluarga kami tidak hina. Bapak tidak pernah mengambil yang bukan haknya, apalagi menghidangkan nafkah busuk itu ke meja makan." (hal.25)
Atas kemarahan Eli tersebut, Bapak memberikan nasihat, "Jangan pernah bersedih ketika orang-orang menilai hidup kita rendah. Jangan pernah bersedih, karena sejatinya kemuliaan tidak pernah tertukar. Boleh jadi orang-orang yang menghina itulah yang lebih hina. Sebaliknya, orang-orang yang dihinalah yang lebih mulia. Kalian tidak harus selalu membalas penghinaan dengan penghinaan, bukan? Bahkan, cara terbaik menanggapi olok-olok adalah dengan biasa-biasa saja. Tidak perlu marah. Tidak perlu membalas." (hal.29)