Dinding-dinding kelas SMA Harapan Bangsa telah menyaksikan banyak kisah, tetapi cerita Riko dan Bu Anita, guru matematika, adalah salah satu yang paling berkesan.
Riko, siswa kelas dua belas, dikenal sebagai murid yang cerdas tetapi seringkali apatis terhadap pelajaran. Dia lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain catur atau membaca buku sastra ketimbang menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Bu Anita, di sisi lain, adalah guru yang tegas dan berdedikasi, yang percaya dalam potensi setiap muridnya.
Suatu hari, setelah kelas berakhir, Bu Anita memanggil Riko untuk tetap di kelas.
"Riko, mengapa kau selalu terlihat tidak tertarik dengan pelajaran kita?" tanya Bu Anita sambil menatapnya lembut.
Riko mengangkat bahu, "Saya rasa, matematika tidak sepraktis catur atau seindah sastra, Bu."
Bu Anita tersenyum, kemudian berkata, "Tahukah kamu, matematika seperti puisi. Ada ritme dan alasan di balik setiap rumus dan teorema, seperti meter dan rima dalam puisi. Pernah dengar kutipan ini, Riko? 'Matematika adalah puisi logika.'"
Riko terdiam, tampak memikirkan kata-kata guru itu.
"Lihatlah, Riko. Setiap subjek memiliki keindahannya sendiri. Catur mengajarkan strategi, sastra mengajarkan empati, dan matematika? Matematika mengajarkan kita cara menemukan kebenaran." Bu Anita berjalan ke papan tulis dan menuliskan sebuah persamaan.
"Mari kita pecahkan ini bersama. Saya akan menunjukkan kepadamu bagaimana matematika bisa seindah catur yang kau mainkan."
Riko, walau masih ragu, mendekat dan bersama-sama mereka mulai menyelesaikan persamaan tersebut. Bu Anita dengan sabar mengarahkan Riko melalui setiap langkah, menjelaskan bukan hanya bagaimana, tetapi juga mengapa setiap bagian dari persamaan itu penting.
Saat mereka menyelesaikan persamaan, Riko mulai melihat pola dan hubungan yang sebelumnya tidak ia perhatikan. "Ini... ini seperti menerka langkah lawan di catur," gumamnya, sebuah pencerahan terlihat di wajahnya.