Mohon tunggu...
Ahmad Mustaqbal Ukhrawie
Ahmad Mustaqbal Ukhrawie Mohon Tunggu... Mahasiswa - "اِذِ اْلفَتَى حَسْبَ اعْتِقَادِهِ رُفِع # وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَمْ يَنْتَفِعْ"

Hamba Tuhan yang mengabdikan diri menjadi seorang pembelajar dan pengamal. Menekuni bidang: pendidikan agama islam, sejarah, dan sastra. “Ikhlas memang tak mudah. Karena itu, ada ungkapan semua manusia ini binasa, kecuali yang beramal. Semua yang beramal binasa, kecuali yang tulus ikhlas" -Muhammad Quraisy Syihab-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Karakter dan Pabrik Industri

8 November 2022   16:34 Diperbarui: 8 November 2022   16:52 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            

            Perjalanan kemajuan dan perkembangan globalisasi menimbulkan ledakan yang cukup menggetarkan, siapapun yang tak siap menerima paparan radiasi zaman modern akan terkikis hingga habis. Perkembangan teknologi kian menyebar pesat, namun moral yang dilahirkan justru mengalami penyusutan, arus globalisasi terus memperkosa umat manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang kian hari kian edan. Maka bukanlah hal yang aneh jika disuatu daerah yang mayoritasnya di isi oleh sekelompok manusia instan memiliki jargon tersendiri untuk menghadapi globalisasi yang kian hari kian subur, misalnya : "Siapapun yang tidak mengikuti perkembangan zaman, cepat atau lambat akan tertimbun bongkahan kemajuan peradaban."

            Saat ini semua orang disibukkan dengan berbagai fasilitas yang telah tersedia dalam genggaman tangan, hal tersebut bukannya malah menambah nillai positif, namun yang terjadi malah sebaliknya.  Semuanya begitu instan.  Nilai positifnya seseorang dapat menjadi ahli dalam berbagai hal yang  mereka inginkan. Sosialisasi pun yang dulunya harus bertatap, bertemu, silaturrahmi, bertegur salam dan sapa, kini sudah bisa dilakukan hanya dengan mengomentari status WhatsApp dengan ketikan jemari yang menggelitik ;"HAHAHA" "WKWKWKWK."

 

Baca juga: Pendidikan Karakter

            Mungkin dari beberapa paparan tersebut saya sendiri merasakan ada semacam kehawatiran kaitnnya dengan perkembangan karakter, moral, adab, etika, akhlaq dari peserta didik. Hal-hal yang dulunya dianggap sakral dan terhormat kini hanya tinggal nama. Sepertihalnya adab seorang peserta didik yang terlihat makin tak terarah, komunikasi dengan sosok guru sudah seperti teman sendiri, tak ada adab, sopan santun, bahkan moral yang tersirat makin trasnparan dan jauh dari nama lembaga pendidikan itu sendiri. Memang hal tersebut ada baiknya jika dalam rangka melakukan pendekatan, dan pemahaman karater. Namun, jika terus dibiarkan hal tersebut bisa dimanfatkan dan dianggap suatu kewajaran atau suatu norma adat baru yang membawa dampak negative untuk kedepannya. Lalu bagaimana dunia pendidikan mengkontrol, menyikapi, menghadapi hal semacam ini? 

"ketika suatu negara tidak menaruh perhatian terhadap suatu pendidikan, maka negara tersebut tidak membangun sumber kekuatan, sumber kemajuan, sumber kesejahteraan, dan sumber marabatnya yang selalu bisa diperbaharui, yaitu kualitas manusia dan kualitas masyarakatnya. Kualitas ini ditentukan oleh tingkat kecerdasan dan tingkat kekuatan karakter rakyatnya."

Pendidikan karakter tugas utama yang terpinggirkan

            Pendidikan karakter bukanlah hal baru dalam sejarah manusia. Orangtua, dengan berbagai cara, sejak dahulu kala sebelum ada lembaga pendidikan formal yang bernama sekolah seperti sekarang, sudah berusaha mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang baik menurut norma-norma yang berlaku pada budaya mereka.

            Dewasa ini, ketika peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menentukan kesejahteraan suatu negara semakin besar, lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat berkontribusi lebih besar dalam meningkatkan kemampuan suatu bangsa untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada beberapa penyebab faktor yang menyebabkan berkurangnya perhatian terhadap pendidikan karakter. Faktor-faktor ada yang bersifat global, ada yang bersifat lokal.

            Kurangnya perhatian sekolah terhadap pengembangan kebajikan dan karakter sangat berkaitan dengan munculnya revousi industri yang berawal di Inggris pada abad ke-18, yang kemudian meluas ke negara-negara di daratan Eropa, Amerika, Jepang, dan ke seluruh dunia. Terjadinya revosi dipicu oleh kemampuan manusia menciptakan mesin yang pada awalnya digerakkan oleh tenaga uap. Dengan adanya mesin, proses produksi yang semula memanfaatkan tenaga manusia dan tenaga hewan  kemudian digantikan dengan tenaga mesin. Pemanfaatan mesin ini telah memungkinkan suatu perusahaan melakukan produksi massal, yaitu menghasilkan barang dengan jumlah yang sangat banyak dan seragam; suatu hal yang tidak bisa dilakukan sebelumnya.

            Cara berpikir dalam mengelola pabrik tersebut ternyata juga diterapkan disekolah; sekolah dipandang sebagai mesin atau pabrik; hasilnya adalah "model sekolah yang terpisah dari kehidupan yang diurus secara otoriter, yang orientasi utamanya adalah menghasilkan produk yang baku, yaitu input tenaga kerja bagi industry pada saat itu; ...model sekolah zaman revousi industry ini tidak anya mengubah cara belajar siswa, tetapi juga mengubah bahan ajaran." Ciri utama sekolah seperti ini adalah mempunyai kecenderungan kuat untuk penyeragaman mekanistik, dan memandang siswa hanya sebagai objek.

            Penyeragaman. Pabrik menghasilkan produk yang seragam, maka sekolah pun harus menghasilkan output yang seragam, itulah logika dominan yang berlaku saat itu. Untuk itu, standarisasi dalam berbagai bidang menjadi norma atau aturan. Siswa wajib mempelajari bahan pelajaran yang sama dan belajar dengan cara yang sama. Tidak ada ruang bagi keunikkan atau keistimewaan yang ada ada diri seseorang siswa. Melakukan hal yang berbeda dari standar yang seragam bisa dianggap sebagai cacat. Untuk menjaga keseragaman ini, proses pembelajaran harus diawasi, karena diperlukan orang-orang yang bertugas sebagai "pengawas."

            Hubungan Mekanistik. Dalam hubungan dan suasana yang bersifat mekanistik, hal yang sangat dipentingkan adalah hubungan formal dan menonjolkkan hierarki; hubungan informal dan ikatan emosi dianggap tidak penting. Kepala sekolah dan guru memandang perannya hanya sebagai sekrup-sekrup kecil dari suatu mesin yang bergerak menurut petunjuk dan teknis yang baku. Inilah model sekolah yang tidak menaruh perahtian pada hubungan social dan manusiawi diantara kepala sekolah, guru, dan siswa. Yang paling penting di sekolah seperti ini adalah mencapai target dan menghasilkan output yang sesuai standar.

            Memandang Siswa sebagai objek. Dalam model sekolah sebagai mesin atau pabrik, siswa disamakan dengan bahan baku; siswa diperlakukan sebagai objek pasif yang harus diolah agar menjadi produk akhir. Dalam pengolahan ini, guru dipandang sebagai "operator" yang harus bekerja dengan cara yang seragam agar produk akhirnya juga seragam. Untuk mengatur pekerjaan guru sebagai operator, yang berperan sebagai "mandor" dan diatas para mandor ini ditempatkanlah seorang "pengawas" yang bertugas mengawasi apakah para operator dan mandor ini telah menjalaknan tugasnya sesuai petunjuk dan pelaksanaaan yang diberikan.  

            Sebagai akibat cara pandang tersebut, pendidikan atau sekolah pun dilihat hanya sebagai industri yang memproduksi lulusan dengan kompetensi tertentu agar dapat diterima sebagai pekerja di tempat kerja tertentu. Memang, kompetensi bisa membuat seseorang bisa melakukan tugasnya dengan baik, namun karakterlah yang membuatnya bertekad mencapai yang terbaik dan selalu ingin lebih baik. Di pihak lain, orang-orang dengan kompetensi yang tinggi tanpa disertai karakter yang baik dapat menjadi sumber masalah bagi lingkungannya, karena dengan kompetensinya untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan masyarakat luas. 

13 Rabiul Akhir 1444 H, Blitar.

                                                                                                                                 

Sumber : 

Hasnun,  Anwar. (2017). Penguatan pendidikan karakter berbasis maja labo dahu dan nggusu waru. Yogyakarta : Blindung.

Samani, Muchlas dan Harriyanto. (2012). Konsep dan model pendidikan karakter. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Sriwilujeng, Dyah. (2017). Panduan implementasi penguatan pendidikan karakter : Erlangga group

Yayasan Jati Diri Bangsa. (2011 ). Pendidikan karakter di sekolah dari gagasan ke tindakan. Jakarta : Elex Media Komputindo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun