RESUME DISKURSUS STUDIA HUMANIKA SALMAN ITB
Tema : Cinta dan Masa Depan Absolut Manusia
Pembicara : Acep Iwan Saidi
Tempat : R. Back Office Lt. 2 Salman ITB
Waktu : Jumat, 07 April 2017
Acep Iwan Saidi yang menjadi pengampu diskursus pekan ini, meminjam sebuah frasa dari Jhon D. Caputo yang menjelaskan tentang adanya dua masa depan, dalam buku On Religion (2001), yakni: masa depan sekarang (Future Present) dan masa depan absolut. Masa depan sekarang adalah suatu masa depan yang dapat direncanakan sedangkan masa depan absolut merupakan masa depan yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Masa depan absolut adalah masa depan yang mengejutkan tetapi esensinya sudah pasti karena telah ditentukan oleh Tuhan. Salah satunya, menurut Saidi, yang menjadi masa depan absolut adalah cinta.
Cinta menurut Badiou yang dikutip oleh Piliang merupakan sebentuk kapasitas manusia paling sublime dalam membangun hidup baik, karena cinta merupakan perjumpaan yang sepasang (the two). Melalui perjumpaan sepasang tersebut, laki-laki/perempuan akan menemukan ‘kebenaran’ dalam mengkonstruksi atau merangkai kemungkinan dunia bermakna, ditempuh melalui kesetiaan pada peristiwa perjumpaan yang ditopang diatas fondasi mutual kebaikan bersama.
Saidi berpendapat frasa “perjumpaan yang sepasang” ini senada dengan apa yang ditulis dalam al- Qur’an, bahwa manusia esensinya diciptakan berpasang-pasangan (Lihat QS. An- Nisa ayat 1; an- Nahl ayat 72; al- Fathir ayat 11). Dengan kata lain pasangan tersebut adalah satu, sebab sejak awal penciptaanya memang hanya satu (Adam). Implikasinya pada cinta sebagai perjumpaan “yang sepasang” adalah bahwa hakikatnya perjumpaan tersebut merupakan proses pengembalian ke situasi awal serta peleburan sifat duniawi (fisik laki-laki dan perempuan) kedalam yang hakiki.
Terdapat pula sebuah hadits yang mejelaskan bahwa suami yang akan kembali ditemui istrinya di akhirat nanti adalah suami terakhir yang berpisah karena kematian. (Lihat: al-Mu’jam al-Ausath: 3/275. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 2704 & 6691). Dengan demikian cinta merupakan sebentuk entitas yang mengembalikan pasangan menjadi satu, Saidi menyebutnya sebagai awal “yang tunggal”. Karena cinta merupakan takdir yang ditentukan oleh Allah sejak awal, bukankah secara fisik Hawa (Eva) diciptakan dari tulang rusuk Adam?
Perjumpaan yang sepasang tersebut memang sejak awal sempat berpisah, sebagaimana kisah Adam dan Hawa. Setelah memakan buah khuldi (Buah terlarang), Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga. Lalu mereka di tempatkan pada suatu tempat yang berjauhan di Bumi, kemudian keduanya saling mencari selama perjalanan hidupnya, mencari dalam artian perjalanan menemukan tulang rusuk yang hilang bagi Adam serta kembali pada tubuh awal bagi Hawa.
Namun, terdapat hal yang menarik dimana sebab terpisahnya yang sepasang –Adam dan Hawa- dikarenakan sebuah objek yang bersifat material, yakni buah terlarang. Padahal esensinya, menurut Saidi, Tuhan bisa saja menciptakan objek yang lain yang tak kasat mata. Objek material tersebut, yang memesona melalui indra penglihatan, dimanfaatkan oleh iblis menjadi sarana untuk menggoda. Pilihan ini, kembali menurut Saidi, tentu bukan kebetulan karena Tuhan pasti memiliki rencana dan kehendak lain. Saidi menjelaskan bahwa dalam perspektif semiotika, hal tersebut bisa saja dibaca sebagai penanda; sebuah isyarat bahwa yang memesona mata sesungguhnya adalah yang memisahkan; bersifat fatamorgana.
Cinta dalam pandangan materialistik, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Erich Fromm (1997), harus memerdekakan, harus membebaskan. Pasalnya, mencintai satu orang saja, menurut Fromm, bukanlah cinta sebenarnya. Menyerahkan diri secara totalitas kepada seseorang bukanlah ekspresi cinta, justeru malah menyakiti diri sendiri. Dengan kata lain, konsepsi cinta yang berdasarkan pada perjumpaan “yang sepasang” untuk melebur menjadi “yang tunggal” -seperti yang telah di jelaskan-, bertentangan dengan pandangan materialistik yang menempatkan cinta dalam lingkup luas atau cinta harus menuju “yang ganda”.
Fromm mungkin benar, jika mencintai seseorang secara totalitas akan berdampak rasa sakit pada diri sendiri. Tetapi, menurut Saidi, kesakitan tersebut akan niscaya jika dasar mencintai tersebut bersifat keduniawian, maka daripada itu tindakan saling mencintai disini hanya berhenti sebagai hubungan antar manusia. Namun, jika cinta esensinya dikembalikan kepada perjumpaan “yang sepasang” dengan kesadaran bahwa “yang sepasang” tersebut pada mulanya “yang tunggal” sebagai sebuah takdir ilahiah, maka kesakitan –sebagaimana yang Fromm ungkapkan- tidak akan pernah ada.
Konsepsi diatas menegaskan bahwa perjumpaan pasangan hingga pernikahan atau bahkan pasangan (suami-istri) yang lantas bercerai, dapat dipastikan bukan berlandaskan cinta yang sesungguhnya. Saidi berpendapat, perjumpaan tersebut boleh jadi disebabkan oleh fatamorgana dunia, seperti: godaan fisik, materi, nafsu seksual, dan lain sebagainya yang bersifat keduniawian. Sekalipun disana menghasilkan pembuahan (anak), tetapi, perlu dicatat bahwa penciptaan anak (manusia) mutlak kehendak Allah bukan karena cinta dalam pernikahan. Pasalnya terdapat pasangan yang mencintai setengah mati namun tidak memiliki anak; sebaliknya banyak yang menikah tanpa dasar cinta tapi banyak memiliki anak.
Pencarian “yang sepasang” dan melebur menjadi “yang tunggal” merupakan perjalanan kembali kebelakang, perjalan menuju waktu dimana sebelum manusia diciptakan; waktu dunia adalah fatamorgana, seolah kita dibawa ke depan padahal sejatinya kita melangkah kebelakang. Waktu di belakang manusia inilah yang Saidi sebut sebagai Masa Depan Absolut Manusia. Maka secara esensial perjalanan manusia adalah perjalanan pulang, karena menemukan “pasangan yang sepasang” adalah cinta hakiki yang merupakan cinta kasih Tuhan. Hal tersebut merupakan masa depan kita, masa depan absolut manusia.***[Jawad]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H