Boleh lah aku dikatakan masih belum move on dari kegagalanku kemarin. Tapi bukan berarti harus menyesali tanpa upaya memperbaiki. Langkah awal, aku harus tahu terlebih dahulu substansi apa yang terdapat dalam debat.
Kompetisi menyisakan waktu dua hari lagi sampai ke babak final. Kekalahan tim kami kemarin tak mengharuskan kami berangkat kembali di dua hari berikutnya. Namun rasa ingin tahu membuatku datang kembali. Di hari kedua, sepulang dari bekerja, aku pergi tanpa tim. Menjadi penonton cadangan duduk di barisan kursi paling depan.
Oh ya, hari ini kompetisi mempertandingkan delapan match untuk enam belas tim, setengahnya bila dibanding dengan kemarin. Kedelapan tim diurutkan berdasarkan skor. Skor tertinggi menempati urutan pertama, dan seterusnya sampai skor terendah menempati urutan ke 16. Baru tahu, ini berdasarkan pada sistem true power match point, katanya. Artinya, peringkat 1 berhadapan dengan peringkat 16, peringkat 2 dengan 15, peringkat 3 dengan 14, dan seterusnya.
Dari delapan matches, namun, tiga matches saja yang bisa aku saksikan. Permainan pertama, tim terlemah dipertemukan dengan tim terkuat. Sudah tentu, si lemah digerus dengan mudah. Seperti timku kemarin, tak berkutik. Tercermin dari selisih skor yang lebar antara tim yang menang dan tim yang kalah.
Permainan kedua relatif seimbang. Rupanya ini perdebatan antara peringkat 8 dan 9. Skor margin tipis, menunjukan kekuatan tim tidak jauh berbeda. Permainan dimenangkan oleh tim yang peringkat awalnya lebih tinggi.
Permainan ketiga, antara peringkat 6 dan 10. Prediksi permainan akan dimenangkan oleh tim pemegang peringkat 6. Dan menurutku juga peringkat 6 pasti menang. Tapi juri memutuskan lain. Entah keberuntungan atau ada analisa lain. Kemenangan berpihak pada tim penyandang peringkat 10. Kenapa? Para juri yang tahu.
Menurut the panel of adjudicators, tim peringkat 6 --yang kebetulan mengambil posisi sebagai tim afirmatif yang seharusnya mengendalikan perdebatan --berangkat dari pembatasan motion yang kurang fair yang hanya menguntungkan timnya sendiri, tidak memberi ruang pada tim lawan. Tim negatif juga mengingatkan tentang the unfairness of the parameter. Tapi tim positif dengan percaya diri keukeuh memaksakannya. Kesalahan sudah dilakukan sejak awal, akibatnya fatal. Tim peringkat 10 survive dan akhirnya mengambil kendali debat; masing-masing dari tiga pembicaranya lebih kuat dalam menyampaikan argumen, dan dari pembicara 1, 2 dan 3 mengalir lebih konsisten dalam berargumen. Sekali lagi, itu bukan analisaku, tapi tim juri yang menilainya.
Di hari ketiga semakin bersemangat. Bukan semangat membimbing apalagi bertanding, melainkan semangat menonton. Sayang sekali dua babak --quater final dan semi final --tidak sempat aku saksikan karena berlangsung di pagi hari. Bagaimanapun tidak elok kalau aku harus meninggalkan pekerjaan, apalagi timku sudah tidak bertanding. Tinggal lah dua match terakhir dalam putaran grand final. Pertama memperebutkan peringkat ke 3, kedua memperebutkan juara 1. Dua pertandingan terbaik sepanjang tiga hari kompetisi yang aku saksikan.
Namun yang penting adalah banyak pembelajaran yang aku dapatkan dari kompetisi ini. Seperti pelaku-pelaku dalam turnamen debat: mulai dari laisen officer, chairperson yang didampingi oleh time keeper, speaker atau debater team itu sendiri, sampai pada adjudicator panel.
Dan yang terpenting dari yang penting adalah feedback berupa komentar dari para adjudicator dalam setiap match. Selain kagum pada wawasan para adjudicator tentang debat, aku mendapatkan ilmu gratis dari adjudicational speech yang disampaikannya. Mulai dari aturan, mekanisme, peran masing-masing pembicara sampai pada apa yang seharusnya dikemukakan dalam argumen dan bagaimana seharusnya argumen dibangun. Â Â
Semangat! Rencana pertama yang akan aku lakukan adalah membuat rencana untuk setahun ke depan.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H