Mohon tunggu...
Javier M. Zuhrijadi
Javier M. Zuhrijadi Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

cogito ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Teater Pilpres Pragmatis

15 Agustus 2018   20:31 Diperbarui: 20 November 2018   17:01 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dinamika politik belakangan ini menyajikan teater yang sangat menghibur, terutama perseturuan soal cawapres antar kubu. Model politik saat ini memang telah mengalami transformasi, lebih dari sekedar politik biasa, namun tersaji sedemikian menarik sehingga menjadi sorotan publik dan headline dalam berbagai media. Transformasi itu bernama politaiment. Politik yang dikemas dalam format entertaiment.

Kubu oposisi yang digadang-gadang akan mendaulat ulama sebagai pendamping Prabowo karena kedekatannya dengan ummat dan ulama, justru berbalik arah di waktu last minute untuk meminang seorang pengusaha sukses sekaligus wakil gubernur DKI, Sandiaga Salahudin Uno. Kejutan juga hadir pada pihak petahana. Nama paling kuat dalam bursa cawapres di beberapa hari belakangan, Mahfud MD, justru tertikung di detik-detik terakhir pendeklarasian kubu incumbent. Nama KH. Ma'ruf Amin lah yang pada akhirnya ditanda-tangani oleh sembilan parpol koalisi Jokowi. 

Pertama dalam sejarah politik Indonesia, terdapat dinamika politik yang begitu kompleks sehingga pembicaraan pilpres tercetus dalam hampir seluruh kalangan masyarakat. Dari pelajar hingga politisi, dari masyarakat proletar hingga masyarakat borjuis, dan dari warung kopi hingga gedung tinggi. Tentu kompleksitas itu terjadi karena berbagai macam faktor, diantaranya pemilu serentak Pilpres dan Pileg, Presidential Treshold, dsb. Namun saya tidak ingin membahas hal itu lebih jauh.

Sebagai seorang aktivis dan mahasiswa, saya melihat pentas ini dengan kacamata moderat. Sehingga analisa dan hipotesis tidak didasarkan pada sekedar sentimen namun pada argumen dan rasionalitas. Bagi saya kedua keputusan dari kedua belah pihak tak lain dan tak bukan adalah bentuk dari Politik Pragmatis.

Pihak penantang memilih Sandiaga yang merupakan kader Gerindra adalah langkah yang cukup gegabah dan sangat beresiko. Belum lagi tuduhan soal mahar sebesar 500M. Seolah menjadi refleksi dari keangkuhan seorang Jendral Prabowo. 

Meskipun Sandi memang telah diperintahkan untuk keluar dari Gerindra dan mundur dari jabatan wakil gubernur, supaya ikatan koalisi tidak semakin kendur. Sandi dipilih karena opsi pilihan dan waktu memang hampir habis. 

Satu-satunya pilihan paling tepat adalah memilih cawapres dari non-kader alias independen. Sehingga tak ada cemburu dari tiap partai koalisi. Lalu keluar lah keputusan ijtima ulama dengan tiga nama, yaitu UAS, AHY, dan Salim Segaf.

Nama UAS menjadi prioritas karena dinilai sangat berpotensi meningkatkan elektabilitas pihak oposisi karena beberapa faktor, diantaranya agamis, berwawasan, dan populer. Juga karena beliau tidak terikat dengan partai manapun. Namun respon eksplisit UAS melenyapkan harapan pihak oposisi. Beliau berkata dengan tegas "Saya istiqomah menjadi ustadz sampai mati!". 

Opsi menjadi sulit disaat waktu semakin sedikit. Prabowo harus mengambil keputusan. Dan Sandiaga lah keputusannya. Jadi nama Sandi memang muncul karena pergerakan arus politik, bukan karena strategi yang matang. Alhasil, nampaknya ijtima ulama yang menuntut mendaulat cawapres dari ulama tidak dihiraukan.

Di kubu yang lain, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, dipastikan akan memasangkan Jokowi dengan tokoh agamis. Alasannya tentu karena trauma Pilgub DKI setahun yang lalu. Dimana pihaknya tak disangka dihabisi habis-habisan dengan gap suara yang terpaut sangat jauh. 57,95 persen melawan 42,05 persen. Anies-Sandi menang telak. Padahal elektabilitas Ahok selalu diatas dalam hampir semua survey. Fenomena ini merupakan bukti nyata keberhasilan dari politisasi agama yang dilakukan. Apalagi ditambah tiga juta (411) dan tujuh juta (212) manusia berkumpul di monas. Ahok dan Megawati kalah telak. Dan tentu sejarah memalukan itu tak mau terulang di Pilpres 2019.

Bagi saya terpilihnya KH. Ma'ruf Amin (KMA) sebagai pendamping Jokowi tak lain dan tak bukan adalah untuk meredam gerakan tersebut. KMA jelas dipandang sebagai ulama ternama, senior, berwawasan, dan memiliki kapabilitas. Juga sebagai representasi dari NU. Sedangkan dalam rekam jejak agama, Mahfud MD belum sehebat itu. Oleh karena itu saya akan tertawa jika ada yg berkata dipilihnya KMA sebagai cawapres adalah demi kemajuan dan kedaulatan bangsa. Persetan. Semuanya adalah demi memenangkan Pilpres 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun