Mohon tunggu...
Javier Notatema Gulo
Javier Notatema Gulo Mohon Tunggu... Konsultan - hidup harus menyala

master student

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kajian Teori Cybercrime

21 September 2020   23:38 Diperbarui: 22 September 2020   00:00 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini membahas isu tentang keberadaan produk hukum yaitu uu yang mengatur tentang infromasi dan transaksi elektronik (ITE) menjadi sorotan utama masyarakat dalam meyampaikam delik aduan. Keberadaaan produk hukum tersebut tentu sangat berpengaruh dan berdampak dalam segala aspek muatan kehidupan bermasyarakat. Legal risk.

Pengaruh penegakan hukum terhadap masyarakat di bidang teknologi informasi dan elektronik menimbulakan delik aduan semakin meningkat. Dalam kerangka berpikir penulis dengan berpokok pada teori  Pound tentang laws as a tool of social engineering and social control.

Penulis hendak mengawali potret intelektual berdasarkan permasalahan mengenai penegakan hukum dan tindak pidana siber di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik, permasalahannya adalah apakah penegakan hukum di indonesia sudah sesuai dengan lahirnya revolusi teknologi informasi keterkaitan dengan teori hukum.

Isu hukum dan rumusan tersebut menjadi perhatian khusus penulis dalam mengkonstruksikan teori hukum terhadap penegakan hukum kejahatan di bidang tekonologi iformasi dan elektronik. 

Posisi penulis dalam hal ini tidak membahas detail persoalan substansial bab dalam aturan hukum positif, Dalam konteks tulisan ini penulis melihat hukum kepada masyarakat bukan masyarakat kepada hukum, supaya bisa dimakanai dengan tepat terhadap hukum positif di Indonesia yang bermuara pada produk hukum yang berpengaruh sangat kuat dalam melahirkan UU No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik.

Perubahan dalam UU tersebut seyogyanya dapat dimaknai dengan tepat berdasarkan konsep Roscoe Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses(law in action) dibedakan dengan hukum tertulis(law in the books) pembedaan ini diterapkan pada seluruh bidang hukum,baik substantive maupun ajketif.

Revolusi bidang teknologi informasi dan media elektronik utamanya semakin pesat ditandai dengan semakin munculnya kejahatan baru di bidang komputer dan jaringan  seperti instalasi aplikasi ilegal yang digunakan seseorang melalui komputer untuk dapat mengakses jaringan milik orang lain, penyebaran ujaran kebencian,kabar bohong, dan sebagainya.

Dengan adanya perkembangan infromasi dan teknologi komunikasi yang kemudian membawa dampak positif maupun dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, maka negara penting untuk melakukan perubahan-perubahan hukum demi menertibkan penggunaan teknologi maju dan membawa kenyamanan dan keamanan bagi warga negara.

Pound mengemukakan bahwa ahli hukum hendaknya lebih mengarahkan penglihatannya kepada bekerjanya hukum daripada isinya yang abstrak. Ini juga dimaksudkan dalam rangka untuk keperluan usaha-usaha perombakan atau pembaharuan hukum selain itu juga digunakan untuk pemahaman ilmu hukum.[1]

Untuk melihat faktor-faktor yang mempegaruhi penegakan hukum UU No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik.dapat memaknai teori Lawrence M. Friedman yaitu bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum meliputi stuktur hukum(legal structure), substansi hukum(Legal substance) dan budaya hukum(legal culture).[2]

Sistem hukum sebagai suatu kerangka yang memberikan bentuk dan batasan dalam zona tertentu. Dengan lugas menekankan pada bukan semata-mata pada aturan undang-undang saja. Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses(law in action) dibedakan dengan hukum tertulis(law in the books) pembedaan ini diterapkan pada seluruh bidang hukum,baik substantive maupun ajektif. 

Tata hukum merupakan seperangkat norma-norma, yang menunjukkan apa yang harus dilakukan atau yag harus terjadi. Dilihat dari sudut proses bekerjanya maka kita melihat terjadinya regenerasi norma-norma hukum.

Proses ini juga sering disebut sebagai proses konkretisasi, dimana norma-norma dengan isi yang lebih umum diturunkan menjadi lebih khusus. Dengan demikian maka bangunan tatahukum lalu dilihat sebagai suatu susunan yang berjenjang (Stufenbau). Dalam ilmu hukum dogmatis maka bekerjanya hukum ini alu dihubungkan dengan masalah penerapan hukum, penafsiran, pembuatan kntruksi dan sebagainya.

Apabila kita beralih dari pembicaraan secara ogmatis, untuk kemudian melihat bekerjanya hukum sebagai suatu pranata di dalam masyarakat, maka kita perlu memasukkan satu faaktor yang menjadi perantara yang memungkinkan hukum itu melakukan regenerasi atau memungkinkan terjadinya penerapan dai norma norma hukum itu.

Di dalam kehidupan masyarakat, maka regenerasi atau peneraaan hukum itu hanya dapat terjadi melalui manusia sebagai perantaranya. Masuknya faktor manusia kedalam pembicaraan tentang hukum, khususnya di dalam hubungan dengan bekerjanya hukum itu, membawa kita kepada penglihatan mengenai hukum sebagai karya manusia disalam masyarakat. 

Apabila hukum itu llu dilihat sebagai karya manusia di dalam masyarakat, mka kita tak dapat membatasi masuknya pembicaraan mengenai faktor faktor yang memberikan beban pengaruhnya (impact) terhadap hukum. selanjutnya akan dicoba untuk menjukkan bekerjanya hukum dalam kaitan yang demikian itu, berturut turut dimulai daripembuatan hukum.

Pengaruh Hukum terhadap masyarakat

Apabila dikatakan diatas hukum dilihat sebagai karya manusia, maka pembicaraannya juga sudah harus dimulai sejak dari pembuatan hukum. penegakan hukum bertaut dengan masalah pembuatan hukum itu hendak dilihat dalam hubungan dengan berkejanya hukum sebagai suatu konteks engineering.

Di dalam hubugan dengan masyarakat dimana pembuatan hukum itu dilakukan perlu membedakan adanya beberapa model sedangkan pembuatan hukumnya merupakan pencerminan model-model masyarakatnya. Chambliss da Seidmen membuat perbedaan antara dua model masyarakat.

Model masyarakat yang pertama berdasarkan pada basis kesepakatan akan nilai nilai (value consensus). Masyarakat yang demikian itu akan sedikit sekali mengenal adanya konflik-konflik atau tegangan didalamnya sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang mejadi landasan kehidupannya.

Tidak terdapat perbedaan diatara para anggota masyarakat mengenai apa yang seharusnya diterima sebagai nilai nilai yang harus dipertahankan didalam masyarakat. Didalam hubungan ini kehadiran UU ITE bertumpu pada kesepakatan diantara para warganya yang diwakili oleh legislator.

Unsur-unsur yang menjadi pendukung kehidupan berhukum dapat terangkum dalam suatu kesatuan penjelasan umum dan pertimbangan terhadap UU tersebut. Di dalam masyarakat yang demikian itu maka masalah yang dihadapi oleh pembuatan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku didaam masyarakat itu.

Pembuatan hukum disitu merupakan pencerminan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat, apabila nilai-nilai tersebut tidak konsisten maka akan menimbulkan resiko hukum Legal risk terhadap masyarakat itu sendiri.

Berlainan halnya dengan model kedua yaitu masyarakat dengan model konflik. Disini bukanlah kemantapan dan kelestarian yang menjadi tanda ciri masyarakat, melainkan perubahan serta konflik sosial berlawanan dengan yang pertama, di mana berdirinya masyarakat bertumpu pada kesepakatan para warganya.

Perubahan dan konflik merupakan kejadian umum berbeda dengan pembuatan hukum pada model yang pertama. Masyarakat dengan model tanpa konflik di Indonesia keadaannya dapat dihubungkan dengan masyarakat masyarakat yang menjadi pendukung hukum adat dalam pengertiannya yang tradisional sebaliknya masyarakat dengan landasan konflik nilai-nilai adaah suatu masyarakat dengan tingkat perkembangan yang lebih maju terutama dalam aspek bidang teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Menurut Cambliss ada beberapa kemungkinan yang dpaat terjadi pada pembentukkn hukum yaitu :

  • Pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, dimana negara merupakan senjata ditangan lapisan yang berkuasa.
  • Sekalipun terdapat pertentangan nilai-nilai didalam masyarakat namun negara tetap dapat berdiri sebagai badan yang tidak memihak (value neutral), didalam nilai-nilai dan kepentingan-kepentinngan yang bertentangan dapat diselesaikan tanpa mengganggu kehidupan masyarakat.

Pembuatan hukum merupakan suatu jalan untuk melakukan pencarian pertentangan yang sedemikian itu dan kemungkinan menjelaskan tentang apa yang dapat timbul apabila masyarakat tertipu oleh janji-janji penyelesaian yang dilakukan melalui pembuatan hukum.

Seperti halnya dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai itu menunjuk pada hal yang sama tetapi dari sudut pandangan yang berbeda.

Norma itu mewakili suatu perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari sudut perspektif individual. Hal yang menarik yang dikatakan oleh John Finley Scott adalah, bahwa manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat memberikan response yang sangat kuat terhadap interaksi yang dilakukannya dengan sesama anggota masyarakat yang lain, sehingga nilai yang olehnya dipandang sebagai paling kuat lazimnya bersifat sosial. Dalam hubungan ini maka dengan perkataan lainnya hendak dikatakan, bahwa norma norma itu sekaligus merupakan nilai-nilai yang baginya terkuat.

Lon L. Fuller melihat hukum itu sebagai suatu usaha mencapai tujuan tertentu purposeful enterprise.[1] Oleh karena tekanan disini adalah pada usaha, maka dengan sendirinya ia mengandung resiko kegagalan.

Keberhasilan usaha tersebut tergantung pada energy, wawasan insight, intelegensia dan kejujuran (conscientiousness) dari mereka yang harus menjalankan hukum itu. Menurut Fuller, ada 8 nilai nilai yang harus diwujudkan oleh hukum. kedelapan nilai-nilai tersebut, yang dinamakannya “8 prinsip legalitas” adalah: 

  • Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti, bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan tindakan yang bersifat arbitrer.
  • Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak.
  • Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
  • Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.
  • Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
  • Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
  • Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah ubah.
  • Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan peraturan yang dibuatnya.

Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut bukan hanya menyebabkan sistem hukum yang tidak baik, tetap lebih daripada itu, hukum yang demikian itu adalah sama sekali tidak dapat disebut hukum. seperti juga Fuller, maka Schuyt berpendapat pula, bahwa hukum itu mengandung dalam dirinya nilai-nilai yang intrinsik, sehingga hukum itu dapat disebut sebagai suatu sistem nilai-nilai yang intrinsik.[2]  

kehidupan hukum suatu bangsa ditentukan oleh “pandangan gestalt” nya (Gestalt visie) mengenai hukum dan ini bertolak dari nilai nilai yang dipandangnya intinsik ada pada hukum. keberadaan produk hukum undang undang No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang Undang No. 11 Tahun 2008 tentang infromasi dan transaksi eletronik.

Mengandung nilai-nilai intrinsik yang dapat terlihat dalam penjelasan umum dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Apa nantinya harus diwujudkan sebagai hukum didalam masyarakat yang bersangkutan tergantung dari titik tolak pandangannya mengenai apa saja yang termasuk dalam nilai nilai itu. Didalam pembicaraan mengenai hukum, maka nilai-nilai tersebut berkembang menjadi hubungan antara hukum dan moral.

Oleh Schuyt, moral ini dibedakan didalam yang formal dan material. Hukum sering dipakai untuk membebani anggota masyarakat dengan moral yang material, seperti ancaman pidana terhadap tindak pidana akses ilegal, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, kabar bohong, dan tindak pidana dengan muatan penyalahgunaan dokumen elektonik lainnya.

Mengenai pemidanaan atau kriminalisasi perbuatan – perbuatan tersebut, di Amerika Serikat telah timbul perdebaatan yang sengit.  Edwin M. Schur membicarakannya dalam hubungan dengan ketidakefektifan hukum yang tidak didukung oleh keyakinan masyarakat. Disini Schur menunjukkan, bahwa perundang undangan yang mencoba untuk memaksakan moralitas pribadi akan gagal dijalankan apabila ia tidak mendapatkan dukungan yang sedemikian itu. [3]

  Pertentangan pertentangan disini timbul disekitar pertanyaan apakah kriminalisasi terhadap hal hal yang dinilai oleh masyarakat sebagai menjijikkan tetapi yang disetujui oleh masing masing pihak yang melakukan tetap dapat dipertahankan ?

Perbuatan-perbuatan ini misalnya ujaran kebencian, pencemaran nama baik, kabar bohong / hoax, dan dikriminasi rasial. Berhadapan dengan penilaian masyarakat yang sedemikian itu, segolongan orang berpendapat, bahwa masyarakat tetap harus mengakui adanya wilayah moralitas dan imoralitas pribadi yang bukan menjadi urusan hukum untuk mengaturnya seperti halnya rancangan undang undang KUHP (kitab undang undang hukum pidana) yang mengatur substansi persetubuhan.

Bila salah satu atau keduanya terikat pernikahan, namun dalam RU KUHP, zina diluaskan menjadi seluruh hubungan seks diluar pernikahan. Adapun mengenai moral yang formal, disini tidk terdapat pernyatan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan melainkan ia hanya akan menyatakan hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin sesuai dengan kategori kedelapan prinsip legalitas dari Fuller diatas.

 Pendapat berikut yang akan kita bicarakan adalah dari Philip Selznick didalam bukunya laws, society, and industrial justice. Seperti juga halnya para penulis yang disebut terdahulu, maka Selznick mempunyai pendapat, bahwa hukum itu bertautan dengan usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu.

Selznick mengatakan, bahwa dewasa ini dapat dikenali adanya konflik antara dua pandangan hukum, yang pertama melihat hukum sebagai suatu yang harus diterima begitu saja, sedangkan yang kedua, berpandangan idealis bahwa hukum itu mencita citakan tercapainya tujuan tujuan moral. Pandangan yang pertama juga disebut sebagai fungsional dan melihat hukum sebagai sarana untuk menyelesaikan problem-problem raktis. Berlainan dengan hal itu maka pandangan idealis menggantungi hukum dengan harapan dan janji.

Apabila kehadiran hukum itu dilihat secara fungsional, maka ia terpanggil untuk melayani kebutuhan-kebutuhan elementar bagi kelangsungan kehidupan sosial, seperti : mempertahankan kedamaian, menyelesaikan sengketa-sengketa, meniadakan penyimpangan-penyimpangan, singkatnya, hukum mempertahankan ketertiban dan melakukan control. 

i sini isi ketertiban itu sendiri tidak menjadi perhatian yang utama, keadilan bukan merupakan lambang yang harus diwujudkan, bahkan kadang-kadang dalam keadaan yang ekstrim ia diabaikan. Tetapi bagaimanapun juga ketertiban dan control itu pun sebenarnya dapat juga dilihat sebagai suatu nilai tersendiri didalam masyarakat, oleh karena ia merupakan sesuatu yang diberi penghargaan oleh masyarakat. 

Namun demikian menurut Selznick tetap merupakan nilai yang lemah saja karena ia tidak dapat memberi warna pada identitas personal maupun kelompok. Pandangan ini menuntut agar hukum lebih daripada sekedar menjalankan kontrol atau sebelumnya disebut Pound law as a tool of a social engineering. Melainkan menginginkan agar hukum mempunyai nilai yang lebih kaya lagi. Semakin masyarakat mengaitkan hukum dengan nilai nilai yang harus diwujudkan semakin besar peranan hukum itu didalam melindungi hak hak manusia.

Dalam konsep hukum normatif tujuan hukum harus mewujudkan keadilan dan kepastian serta kemanfaatan yang sesuai dengan pembangunan hukum yang humanis. Tidak hanya sekedar didorong oleh karena kaharusan sosial melainkan karena ada tugas tugas yang harus dijalankannya. Bahwa sekalipun suatu pelaksanaan perundang undangan itu baik maka perundang – undangan yang buruk itu merupakan suatu perundang-undangan yang baik. Ukuran kebaikan dari pelaksanaan suatu undang undang ditentukan oleh hukum yaitu asas legalitas. Nilai-nilai yang ada dalam hukum akan bekerja sebagai sumber referensi bagi penilaian terhadap hukum. nilai-nilai yang menjadi dasar penilaian itu bukannya diadakan oleh orang pengamat hukum melainkan berada secara inherent didalam hak dan kewajiban mengenai ketertiban itu sendiri, bahwa hukum itu sendiri senantiasa beroperasi pada latar belakang susunan masyarakat dan nilai nilai yang tertentu.

 Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan media elektronik suatu kajian teori hukum

 Menurut convention on cybercrime tindak pidana cyber diatur dalam chapter 2 convensi ini terbagi dalam dua kategori dasar yaitu cybercrime dalam arti sempit dan cybercrime dalam arti luas. Convention on cybercrime ini menjadi landasan kacamata hukum dan potret intelektual terhadap produk hukum di Indonesia khusunya dalam bidang ITE. Adapun tindak pidana dalam arti sempit tersebut adalah:

 Akses ilegal

 Dalam bahasa Indonesia disebut akses ilegal melingkupi pelanggaran dasar dari ancaman-ancaman yang berbahaya dari serangan terhadap keamanan data dan sistem komputer.  Perlindungan terhadap pelanggaran ini merupakan gambaran dari kepentingan organisasi atau kelompok dan orang orang yang ingin mengatur, menjalankan dan mengendalikan sistem mereka berjalan tanpa adanya gangguan dan hambatan. Illegal access diatur dalam pasal 2 convensi yang berbunyi :

 “Each party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences under its domestic law, when committed intentionally, the access to the whole or any part of a computer system without right. A party may require that the offence be committed by infringing security measures, with the intent of obtaining computer data or other dishonest intent, or in relation to a computer system that is connected to another computer system”.  

Pasal ini merupakan ketentuan pertama yang mengatur mengenai masalah cybercrime. Sebagai contoh dari kejahatan ini adalah Hacking, Cracking, atau computer trespassing. Gangguan jenis ini memberikan akses kepada pelaku terhadap data data penting (termasuk password atau informasi sistem) dan rahasia-rahasia yang mungkin digunakan untuk membeli barang dengan menggunakan informasi kartu kredit milik orang lain atau mendorong pelaku untuk melakukan bentuk pelanggaran hukum berkenaan dengan komputer yang lebih berbahaya, seperti pemalsuan atau penipuan dengan komputer.  Pasal ini, sebagai landasan nilai dan potret intelektual tehadap penegakan hukum positif yang bermuara pada undang undang No. 19 Tahun 2016. Bagaimana penegakan dan penetapan hukum sebagai pelanggaran kriminal yang substansial apabila dilakukan secara sengaja, akses keseluruh atau sebagian sistem komputer tanpa hak. Ketentuan pasal ini harus diaggap sebagai suatu konsistensi asas legalitas dalam hukum positif di Indonesia. Supaya kewenangan penyidik dalam menangani delik aduan secara hukum substansial, struktur hukum, dan budaya hukum tidak keliru dan abu abu. Dalam hal ini penegak hukum khususnya pihak penyidik harus menguasai pelanggaran kriminal sesuai dengan konvensi tersebut. 

 

Pemanfaatan informasi dan teknologi elektronik saat ini merupakan bagian sangat penting dari aktivitas masyarakat dan pemerintah ini terbukti semakin meluasnya revolusi penggunaan teknologi informasi diberbagai sektor kehidupan seperti sector perekonomian serta transaksi-transaksi lainnya, disamping untuk penetingan kepentingan riset ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi. Beberapa terobosan penting yang dimiliki undang undang No. 19 Tahun 2016 antara lain tanda tangan elektonik diakui memiliki kekuatan hukum sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan materai) dan diakui bukti elektronik seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP. Undang undang nomor 19 tahun 2016 berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum, penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternative atau arbitrase. Faktor- faktor penghambat yang dimaksud saling berkaitan erat satu sama lainnya, dan merupakan esensi serta tolak ukur dari efektifitas penerapan penegakan hukum. faktor – faktor tersebut adalah :

 

Substansi hukum : peraturan perundang undangan dan penegakan hukum yakni pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

 

Ada beberapa hal yang penting yang peru menjadi sorotan dalam undang undang nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik terkait dengan kepentingan penegakan hukum terhadap akses ilegal diantaranya adalah masalah asas territorial dan klasifikasi alat bukti yang sah. Kedua hal tersebut dianggap penting karena terkait dengan pembuktian dalam tindak pidana cyber. Tapi tidak menutup kemungkinan masih ada masalah lain yang juga sama pentingnya untuk menjadi sorotan utama dalam hukum positif. Dalam hal pembuktian terhadap tindak pidana, undang undang nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi dan trasaksi elektonik telah memberikan trobosan baru dengan adanya pengakuan terhadap digital evidence sebagai alat bukti yang sah dengan beberapa persyaratan tertentu, hal ini sangat penting dalam penanganan kasus tidak pidana cyber mengingat kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan teknologi terutama internet sehingga keberadaan bukti-bukti sebagaimana dalam kejahatan konventional seperti surat-surat atau dokumen-dokumen tertulis lainnya akan sangat sulit di dapat (paperless).

 

Beberapa kelemahan dari penegakan hukum di Indonesia saat ini yaitu adaya pengelompokkan perbuatan yang dilarang yang berbeda beda didalam satu pasal. Padahal didalam KUHP perbuatan yang dilarang itu diatur sendiri sendiri hal ini salah satunya terjadi dalam berbagai pasal di undang-undang ITE. Namun perlu diakui keberadaan undang undang ITE saat ini juga membutuhkan sedikit perubahan atau penambahan untuk kesempurnaannya khususnya tentang procedural law dibuat sedemikian rupa antara perpaduan dari konvention of cybercrime dan international telecommunication union maka undang – undang ITE dianggap suatu produk hukum sebagai alat rekayasa sosial.

 

Dengan pendekatan terhadap hukum yang disebut social engineering, Pound ingin menekankan pentingnya membedakan hukum sebagaimana tertulis dari praktik hukum menurutnya hukum harus memuat ajaran dan sekaligus ideal yang mendorong masyarakat ke masa depan yang lebih baik.  Jadi Roscoe Pound menekankan pada law is a tool of a social engineering . sebagai “alat control social”, undnag undang nomor 19 Tahun 2016 berusaha menjaga kepentingan umum, ketertiban, keamanan, dan mencegah penyalahgunaan media elektronik dan atau dokumen elektronik kearah yang lebih baik. Apabila cita – cita ideal tersebut dapat dioperasionalkan dalam kehidupan nyata akan membawa nilai positif bagi perkembangan revolusi teknologi informasi dan elektronik di Indonesia yang selama ini dapat dikatakan jauh dari kondisi ideal. 

Pound menyatakan bahwa hukum adalah lembaga terpenting dalam melaksanakan kontrol sosial. Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas sebagai instrument penting untuk mencapai ketertiban sosial. Menurutnya, kontrol sosial diperlukan untuk melestarikan peradaban karena funsi utamanya adalah mengendalikan “aspek internal  

atau sifat manusia”, yang dianggapnya sangat diperlukan untuk menaklukkan aspek eksternal atau lingkungan fisikal.

Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk menguatkan peradaban masyarakat manusia karena mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial. Hukum, sebagai mekanisme kontrol sosial, merupakan fungsi utama dari Negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk untuk melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Pound menambahkan bahwa hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga, pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.

Salah satu pendapat atau uraian Pound mengatakan bahwa pentingnya melakukan penyelesaian individual secara ketemu nalar selama ini lebih sering dikorbankan demi mencapai suatu tingkat kepastian yang sebetulnya tidak mungkin. Aliran ini menerima kehadiran peraturan – peraturan hukum sebagai pedoman yang umum bagi para hakim yang akan menentukan ke arah hasil yang adil, tetapi mendesak agar dalam batas batas yang cukup luas hakim harus bebas untuk mempersoalkan kasus yang dihadapinya, sehingga bisa memenuhi tuntutan keadilan diantara para pihak-pihak yang bersengketa dan bertindak sesuai dengan nalar yang umum. 

 

Pound juga mengatakan bahwa hukum kodrati dari setiap masa pada dasarnya berupa sebuah hukum kondrati yang positif, versi ideal dari hukum positif pada masa dan tempat tertentu, “Naturalisasi” untuk kepentingan kontrol sosial manakala kekuatan yang ditetapkan oleh masyarakat yang terorganisasi tidak lagi dianggap sebagai alat pembenar yang memadai.

 

Pound mengakui kekaburan dari ketiga pengertian dari istilah hukum: hukum sebagai kaidah sosial, badan hukum sebagai badan yang otoritatif, serta hukum sebagai proses peradilan. Sehubungan dengan itu, Pound berusaha menyatukan ketiga pengertian tersebut kedalam sebuah definisi. Ia mendefinisikan hukum dengan fungsi utama dalam melakukan kontrol sosial. Hukum adalah suatu bentuk khusus dari kontrol sosial, dilaksanakan melalui badan khusus berdasarkan ajaran yang otoritatif, serta diterapan dalam konteks dan proses hukum serta administrasi.

 

Pound mengakui bahwa fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering). Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal atau beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari penyesuaian penyesuaian hubungan sosial dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep “kepentingan”. Ia mengatakan bahwa sistem hukum mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui kepentingan-kepentingan tersebut dan aturan hukum yang dikembangkan serta diterapkan oleh proses peradilan memiliki dampak positif serta dilaksankaan melalui prosedur yang berwibawa, juga berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas – batas yang diakui dan diterapkan.

 

Pound mengatakan bahwa kebutuhan akan adanya kontrol sosial bersumber dari fakta mengenai kelangkaan. Kelangkaan mendorong kebutuhan untuk menciptakan sistem hukum yang mampu mengklasifikasikan berbagai kepentingan. Ia menyatakan bahwa hukum tidak melahirkan kepentingan, melainkan menemukannya dan menjamin keamanan nya. Hukum memilih untuk berbagai kepentingan yang dibutuhkan untuk mempertahankan dan mengemban peradaban. Pound mengakui adanya tumpang tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu antar kepentingan individual atau personal dengan kepentingan public atau sosial. Semua itu diamankan melalui dan ditetapkan dengan status “hak hukum”.  

 

Pada dasarnya hukum memiliki tiga aspek yaitu; keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Gustaf meletakkan nilai keadilan sebagai mahkota dari setiap tata hukum. sehingga Radbruch memandang materi seperti 2(dua) sisi mata dari satu mata uang itulah kira-kira frase yang tepat untuk menggambarkan teori Radbruch tentang hukum dan keadilan. Nilai keadilan merupakan yang harus menjadi isi aturan hukum, sedangkan aturan hukum sebagai bentuk yang harus melindungi nilai keadilan. 

 

Aspek kemanfaatan menunjuk pada tujuan keadilan yakni memajukan kebaikan dalam diri manusia. Nilai kebaikan bagi manusia biasanya berhubungan dalam 3 subjek (yaitu yang hendak dimajukan kebaikannya) yaitu individu, kolektifitas dan kebudayaan. Jika subjeknya adalah individu, maka hukum yang disusun untuk tujuan yang bersifat individualistis ini, tidak hanya mengagungkan individu dan martabatnya akan tetapi juga memberi perlindungan khusus seperti dalam konstitusi Amerika. [3] sementara jika subjeknya adalah negara maka tujuan hukumnya adalah kemajuan negara yang menghasilkan sistem hukum kolektif. Sedangkan jika subjek yang dituju adalah kebudayaan maka sistem hukum yang diciptakan adalah sistem hukum transpersonal. Disini aspek kebudayaan atau hasil peradaban mendapat perhatian khusus. [4]

 

Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tetang informasi dan transaksi elektronik mewujudkan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi ditunjukkan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara sistem elektronik. Ini merupakan salah satu tujuan hukum dari sisi keadilan yang dikehendaki oleh Gustaf Radbruch sehingga setiap orang yang menggunakan dan memanfaatkan akses teknologi informasi dan media elektronik “dokumen elektronik” dalam situasi yang baik dan wajar sehingga tidak menimbulkan adanya konflik konflik sosial yang menimbulkan akibat hukum bagi para pelanggar dan pelaku kejahatan.

 

Tujuan hukum yang dimaksudkan oleh Gustaf Radbruch bisa dilihat dari pasal 4 UU Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur mengenai tujuan pembentukkan UU ITE di Indonesia yaitu :

 

Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.

 

Mengembangkan perdagangan dan perekonoman nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

Meningkatkan efektifitas dan efesiensi pelayanan public.

 

Membuka kesempatan seluas - luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan dibidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab.

 

Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.

 

Dari rumusan pasal 4 diatas, jika dilihat dari sisi kepastian sangat di akomodir karena UU ITE memberi kepastian dan kesempatan yang sama terhadap pengguna tenologi informasi sementara dari sisi kemanfaatan jelas bahwa UU ITE tersebut mengkehendaki adanya peningkatan efektifitas dan efesiensi pelayanan publik. Sehingga dengan UU ITE dapat dinikmati oleh semua kalangan baik pengguna maupun penyelenggara teknologi informasi disinilah letak keadilan yang dimaksudkan oleh Gustav Radbruch.

 

Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku secara global perkembangan teknologi informasi menyebabkan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan sosial dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Namun demikian Undang undang informasi dan transaksi elektronik menimbulkan permasalahan baik dalam penegakan hukumnya maupun penerapannya. Beberapa potensi kerugian yang dapat disebabkan oleh pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara tidak wajar dan melawan hukum diantaranya adalah masalah akses ilegal. Kondisi tersebut menyebabkan setiap gelombang perkembangan teknologi selalu diikuti dengan teori teori hukum yang mendukung.

 

 Dengan kata lain bahwa hukum sebagai alat kontol sosial berusaha menjaga ketertiban umum dan mencegah penyalahgunaan komputer dan jaringan yang tidak wajar dan melawan hukum. selanjutnya sebagai alat rekayasa sosial undang – undang nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang – Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik berusaha untuk meningkatkan efektifitas dan pelayanan public dan mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional melalui pengaturan perbuatan yang dilarang dalam kegiatan penggunaan media elektronik. Dengan kata lain bahwa hukum yang berkembang mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini merupakan cerminan dari dinamika peradaban masyarakat zaman sekarang.

 

Teknologi merupakan faktor yang sangat nyata perannya dalam hubungan dengan perubahan sosial, namun demikian apakah perubahan sosial tersebut menjadi syarat utama penegakan hukum pada penggunaan teknologi tersebut. Parsons, misalnya melihat teknologi itu bukan sesutau yang berdiri sendiri melainkan suatu proses sosial yang bersifat kolektif (Parsons, 1966:15). Dalam hubungannya dengan kerangka hubungan antar sistem hukum mka teknologi itu dikaitkan dengan aspek kebudayaan, yaitu aspek tekniknya selanjutnya berhubungan dengan bidang ekonomi yang akan mengatur prosedurnya secara hukum disamping itu juga berhubungan dengan kompleks kelembagaan, seperti kepemilikan dan kontrak. Perubahan teknologi senantiasa berada dalam satu paket hukum terutama dalam penegakkan nya. Perlu diakui bahwa konsep konsep hukum dan teori – teori hukum yang mendorong peningkatan efektifitas untuk penggunaan teknologi itu sendiri sangat memadai tetapi perlu dibutuhkan kesadaran masyarakat dalam menggunakan media elektronik secara baik dan wajar tanpa melawan hukum.

 

Hukum sebagai social engineering, bermakna penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita citakan atau untuk melakukan perubahan yang di inginkan. Hukum tidak lagi dilihat dari sekedar sebagai tatanan penjaga status quo, tetapi juga diyakini sebagai sistem pengaturan untuk mecapai tujuan – tujuan tertentu secara terencana.

 

Hukum pidana adalah hukum yang terikat pada ruang dan waktu sehingga mengenai kapan dan dimana tindak pidana dilakukan harus jelas diketahui. Penetuan tempat terjadinya tindak pidana menjadi sangat penting, apabila penuntut umum tidak memuat unsur ini dalam dakwaannya mengakibatkan dakwaan tersebut batal demi hukum.  Ditengah rangkaian kritik atas realitas krisis otoritas hukum, Selznick mengajukan model hukum responsif. Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tata hukum yang rensponsif. Kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposif (berorientasi tujuan) seperti halnya Roscoe Pound. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi public.

 

 

 

Refleksi Teori 

 

Mazhab Sociological Jurisprudence tumbuh dan berkembang secara pesat di awal abad XX. Para pemikir yang mengembangkan Mazhab ini adalah Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorwics dan Gurvitch. Sebagian besar pemikir ini adalah bekas hakim yang langsung terkait dalam menyelesaikan persoalan konkret di masyarakat sehingga pertimbangan nilai sosial kemasyarakatan berpengaruh besar terhadap pemikirannya. Mazhab ini lebih menekankan pada keberlakuan hukum secara sosiologis dan filosofis Penganut Mazhab Sociological Jurisprudence melihat ada hubungan timbal balik antara hukum dengan nilai yang dijunjung tinggi masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang selaras dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Hukum supaya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat harus sejalan dengan standar nilai kehidupan bersama maupun selaras dengan visi ke depan yang didambakan masyarakat. Eugen    Ehrlich    mendasarkan    pemikiran    atas adanya perbedaan  antara  hukum  positif dengan  hukum  yang  hidup  di masyarakat atau yang sering dikenal dengan “living law”. Ehrlich berpendapat   bahwa   keberlakuan   hukum   positif   dapat   berjalan secara   efektif   apabila   selaras   dengan   hukum   yang   hidup   di masyarakat. Sejalan   dengan  pemikiran   Ehrlich   tokoh   Sociological Jurisprudence  lain  yang  bernama  Cardozo menekankan  pengaruh kekuatan sosial memiliki kontribusi yang besar bagi pembentukan hukum. Ahli hukum dituntut mempertajam kepekaan yudisial pada realitas  sosial.  Indikasi  bahwa  hukum  selaras  dengan  kebutuhan sosial  apabila  terdapat  kesesuaian  antara standar  yang  diakui  oleh masyarakat dengan nilai-nilai objektif dari hukum positif. Urgensi akan  keserasian  dengan  kebutuhan  masyarakat    menyebabkan doktrin preseden tidak dapat dianggap memiliki kebenaran yang bersifat mutlak dan abadi. Oleh karena itu, Mazhab ini tetap mempertahankan perkembangan hukum yang bebas melalui pengadilan dan tetap menerima pengaruh hubungan sosial dan ekonomi dalam perkembangannya serta tetap mempertahankan aspek normatif kaidah hukum (Huijbers, 1986: 180). Roscoe Pound memperkenalkan konsep “law is a tool of social engineering” yang intinya menyatakan bahwa hukum merupakan lembaga kemasyarakatan yang berfungsi memenuhi kebutuhan sosial. Tugas hukum adalah mengembangkan kerangka penataan hidup bersama agar dapat memenuhi kebutuhan sosial secara maksimal (Azed, 1989: 91).

 

Kepastian hukum menurut Mazhab Sociological Jurisprudence dicapai melalui proses dialogal secara kontinyu antara rasio dengan pengalaman, antara fakta yang terjadi di masyarakat dengan nilai yuridis ideal. Dialektika antara rasio dengan pengalaman bersifat positif dalam artian saling melengkapi dan menyempurnakan akan semakin mempertajam konsep keadilan. Mazhab filsafat hukum ini berupaya membuat sistesis antara Mazhab hukum positif dan mazhab sejarah. Mazhab hukum positif memandang hukum sebagai rumusan akal budi saja oleh badan atau lembaga yang berdaulat. Sedangkan mazhab sejarah memandang hukum hanyalah perumusan pengalaman belaka. Mazhab Sociological Jurisprudence memandang, baik akal maupun pengalaman sama pentingnya sebagai dasar untuk merumuskan hukum yang adil (Suhadi, 1989: 52). Hukum tidak semata-mata merupakan gejala normatif, yaitu keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat. Lebih dari itu, hukum juga merupakan gejala sosial yang tidak pernah terlepas dari nilai yang berlaku dalam satu masyarakat (shared value system). Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai yang berlaku di masyarakat (Salman, 2002: 21).

 

Menurut Mazhab sociological Jurisprudence hukum yang sanggup menghadapi ujian akal akan dapat berdiri dengan kokoh . Proses perumusan hukum hendaknya dibangun atas landasan pemikiran yang rasional dan berpijak pada pengalaman konkret. Pengalaman diabstraksikan dengan menggunakan bantuan rasio ke dalam satu peraturan atau undang-undang dan selanjutnya diuji kembali dalam pengalaman yang terjadi di masyarakat. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, kemudian diumumkan oleh badan pembentuk undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat (Rasjidi, 1982: 42-44).

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun