Mohon tunggu...
Yafaowoloo Gea
Yafaowoloo Gea Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencinta Traveling, Pemerhati Wisata & Budaya Nias

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fanunu Fandru, Perayaan dan Makna Natal di Nias, Dulu dan Kini

18 Desember 2012   06:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:26 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bongi no mörö manö Niha ba mbanua Ha ira Yosefo Maria Lö si mörö me tumbu khöra Nonora matua Ono sia’a ba”

Sepenggal lagu Malam Kudus versi bahasa Nias, mengalun lembut melambungkan angan jauh ke kampung halaman di Nias tempat kelahiran dan diriku dibesarkan. Membawa kerinduan tersendiri atas kampung halaman beserta istri yang tinggal di sana, terpisah sementara waktu.

Fanunu Fandru (natal), secara harafiah berarti penyalaan/pembakaran lampu dalam bahasa Nias, memiliki ciri khas tersendiri dalam perayaannya di Nias (terutama di masa kecil penulis). Mulai dari prosesi sebelum dan setelah perayaan natal yang selalu membawa kenangan indah yang tak terlupakan, memberikan nuansa kebersamaan dan kekeluargaan yang sangat dalam. Sekalipun dirayakan dengan sederhana, namun mampu mengangkat makna natal yang sesungguhnya.

Bulan Desember merupakan bulan yang sangat dinantikan oleh anak-anak seumurku di masa itu, karena hanya diwaktu itulah bisa mendapatkan baju baru dan menikmati hidangan yang enak serta berkumpul bersama dengan keluarga besar, baik yang merantau ke luar daerah maupun yang sudah menikah dan berada jauh dari rumah orangtua.

Biasanya di awal bulan Desember, anggota keluarga yang pergi merantau kembali ke kampung halaman dengan membawa oleh-oleh (berupa makanan dan buah-buahan) dan pakaian baru bagi keluarganya yang tinggal di kampung. Bagi yang tidak sempat pulang kampung, mereka bisanya menitipkan kirimannya melalui tetangga atau saudara yang tinggal berdekatan dengan kampungnya.

Persiapan menjelang natal disambut dengan latihan paduan suara bersama, lomba cepat tepat Alkitab, Lomba vokal solo, dan bersih-bersih rumah serta lingkungan sekitar kampung dan gereja. Anak-anak muda sudah mulai mempersiapkan meriam bambu untuk dinyalakan bersahut-sahutan dimulai dari seminggu menjelang natal dan puncaknya pada malam tahun baru. Tak heran bila pada tahun baru, banyak anak-anak muda yang kehilangan alis mata karena tersulut api meriam bambu. Tidak ada petasan atau kembang api pada masa itu. Lilin merupakan komoditas yang mahal sehingga penerangan disiasati dengan membuat dian kecil dari botol-botol bekas ataupun dari bahan bambu.

Pohon natal yang digunakan juga bukan pohon natal yang biasa kita jumpai saat ini yang terbuat dari bahan plastik, melainkan gabungan dari batang pohon pisang, daun kelapa muda, buah-buahan dan dedaunan yang dibentuk seperti sebuah pohon raksasa (sekalipun hanya dalam imajinasi saja). Yang dihias bersama-sama oleh perwakilan dari beberapa kampung. Kebetulan gereja kami memiliki jemaat dari 8 (delapan) desasekitar sehingga terasa penuh disaat-saat perayaan natal (bahkan tidak dapat menampung seluruh jemaat).

Malam puncaknya adalah pada tanggal 24 Desember malam hari, dimana seluruh orang dari 8 penjuru kampung berkumpul merayakan natal di gereja. Di sinilah mulai terlihat rasa kebersamaan dan kekeluargaan dimana mulai pagi hari, seluruh penduduk desa secara berkelompok urunan untuk memotong hewan untuk bisa dibagikan ke masing-masing rumah tangga, sehingga setiap rumah tangga dapat menikmati daging pada hari itu. Sore harinya anak-anak yang dengan mengenakan baju baru, berpawai keliling kampung dengan membawa obor kecil sambil bernyanyi mengajak seluruh penduduk kampungnya bersama-sama berangkat ke gereja (jarak dari kampung penulis dengan gereja adalah ± 1 Km ditempuh dengan berjalan kaki).

Kebersamaan selanjutnya terlihat dari inisiatif masing-masing keluarga yang memiliki “Fandru Gasi” (lampu petromak) untuk dibawa ke gereja sebagai sumber penerangan selama perayaan natal dan juga sewaktu pulang ke rumah setelah selesai natal. Sebagai informasi, dimasa itu penerangan listrik belum ada dan jalan juga masih belum diaspal, sehingga lampu petromak sangatlah penting peranannya. Lampu petromak yang dibawa dari berbagai kampung menjadi sumber penerangan selama perayaan natal berlangsung.

Jemaat yang ikut perayaan natal akan terus setia mengikuti perayaan natal dari awal hingga selesai sekalipun natal baru berakhir hingga pukul 01.00 pagi hari. Dimulai dari penampilan vocal group, paduan suara dan vokal solo dari masing-masing kampung, prosesi natal, penyalaan lilin, lagu malam kudus, khotbah dan tentunya yang terakhir dan sangat dinanti adalah undian berhadiah (yang juga merupakan pemberian dari jemaat yang ingin menyumbangkan hadiah) pada penghujung acara.

Biasanya seluruh jemaat pulang berbarengan dengan ke kampung masing-masing karena saling menunggu lampu petromak untuk penerangan jalan pulang ke rumah dan juga mungkin karena antusias menunggu hadiah dari undian yang sebenarnyaan tidaklah seberapa bernilai namun menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi mereka bila memenangkan undian tersebut.

Menyambut malam pergantian tahun baru, biasanya masing-masing keluarga membuat ketupat dan kue mangkuk sederhana ala orang kampung, namun nikmat sekali rasanya karena saling berbagi kepada tetangganya sekaligus digunakan untuk menjamu tamu yang berkunjung ke rumah mereka pada tahun baru.

Ah, mengingat hal tersebut di atas membuatku ingin pulang segera ke sana pada natal ini sekaligus merayakan natal pertama setelah pernikahanku dengan istri yang saat ini sedang mengandung anak pertama kami, namun apadaya terpaksa niat harus diurungkan mengingat biaya transportasi ke Nias sangatlah mahal apalagi pada musim liburan seperti ini, apalagi perlu persiapan dana untuk menyambut kelahiran anak kami pada bulan April depan.

Namun, perayaan natal di Nias belakangan ini sudah mulai jauh dari makna awal tentang kebersamaan dan kekeluargaan (mungkin) mengikuti perkembangan waktu dan dinamisme gaya hidup masyarakat Nias yang semakin menunjukkan sisi individualismenya. Sekarang jarang ditemukan kebersamaan dan kekeluargaan tersebut, masing-masing sibuk dengan pamer kekayaan atau atribut natal yang dimiliki, serta karena masing-masing sudah memiliki kendaraan dan penerangan sendiri. Keluarga yang dirantau juga sudah jarang yang pulang ke kampung dan terkadang jemaat berkurang setengahnya sebelum acara penutupan natal selesai. Fanunu Fandru, oh Fanunu Fandru, kapankiah kebersamaan itu akan terulang lagi......

Ingin baca kisah saya yang lainnya tentang Nias? Silakan baca di link berikut ini:

1. Aku, Si Anak Nias Yang Beruntung Karena Dilahirkan di Keluarga Miskin

2. Togi Ndrawa, Gua dengan Peninggalan Arkeologi di Kota Gunungsitoli

3. Orang Nias Membakar Uang 60 Milyar Rupiah Setiap Tahunnya

4. Rumah Adat Nias, Akankah Tinggal Sejarah?

5. Pesona Wisata Pulau Asu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun