[caption id="attachment_209298" align="aligncenter" width="275" caption="Sabut Kelapa"][/caption]
Membaca artikel kompas tanggal 11 November 2012 tulisan bung Nasrullah Nara yang berjudul “Bakar Sabut Kelapa, Rp 13 Triliun Menguap” yang dapat dibaca di sini yang menyatakan bahwa Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari sabut kelapa mencapai Rp. 13 Triliun pertahun. Sebuah nilai yang sangat fantastis yang terbakar bersama dengan sabut kelapa yang dibakar oleh masyarakat.
Saya langsung teringat dengan tanah kelahiran saya Pulau Nias yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera yang merupakan salah satu penghasil kelapa terbanyak, dengan produksi pada tahun 2010 sejumlah 31.132,94 Ton dari luas lahan 40.782 Ha (Sumber: BPS Provinsi Sumut).
[caption id="attachment_209299" align="alignleft" width="300" caption="Pesona Surfing di Pulau Nias"]
Bila di masa lampau, pulau Nias itu terkenal sebagai daerah yang terpencil yang sering kali identik sebagai tempat pembuangan bagi para pejabat atau aparat yang indispliner sekarang sudah terbalik 180 derajat. Pulau Nias mulai berbenah, berlomba dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia untuk bangkit dari ketertinggalannya. Apalagi dengan adanya pemekaran Nias menjadi 4 Kabupaten dan 1 Kota yang tentunya membawa dampak yang positif terhadap alokasi pembangunan yang merata di Kepulauan Nias. Bila dahulu akses transportasi ke Pulau Nias itu sangatlah susah, membutuhkan waktu 8 jam lebih dengan naik bus dari Medan ke sibolga dan waktu 8 jam untuk penyebrangan dengan menggunakan kapal ferry ke Gunungsitoli. Saat ini, akses transportasi semakin mudah. Telah tersedia pesawat yang melayani jalur Medan-Gunungsitoli dengan penerbangan 6 kali sehari yang dilayani oleh maskapai Wings Air dan Merpati, dengan waktu tempuh 50 menit.
Potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) di pulau Nias sangatlah besar, namun sayangnya hingga saat ini masih belum dikelola secara profesional. Potensi di bidang kelautan dan perikanan, perkebunan dan pertambangan (sedang dalam tahap eksplorasi) sangatlah menjanjikan, begitu juga dengan Potensi Sumber Daya Manusianya melimpah namun ibarat mutiara yang terpendam (karena belum optimal pemberdayaannya). Beberapa contoh SDM handal dari Pulau Nias yang membawa harum nama masyarakat Nias ke kancah nasional dan internasional adalah Hekinus Manao yang saat ini menjabat sebagai Executive Director Bank Dunia (World Bank) dan Alm. Prof. Taliziduhu Ndraha yang terkenal dengan teori Kybernologi-nya. Namun sayangnya, kembali menegaskan pernyataan saya tadi bahwa Potensi SDA & SDM di Pulau Nias Masih belum dikelola dan dimanfaatan secara profesional. Hal ini juga semakin menggugah saya ketika membaca komentar adik ipar saya pada tulisan saya tentang ancaman kepunahan rumah adat tradisional Nias
“saya pernah berbincang dengan turis dari belanda… mereka terkesan dengan arsitektur rumah adat. akan tetapi, ada satu hal yang sangat disayangkan oleh para turis belanda ini: “keindahan alam kalian sangat luar biasa, dan juga arsitektur dan keberadaan dari rumah adat, tetapi yang disayangkan adalah kalian KURANG DALAM HAL PROMOSI PARIWISATA.. kami harus mencari sampai benar2 detail mengenai keberadaan NIAS..artikel mengenai pariwisata nias juga susah didapat (bahasa indonesia mungkin banyak, bagaimana dengan artikel bahasa inggris).. malah ketika kami ingin berkunjung ke pulau sumatera, yang terkenal adalah tebing tinggi, danau toba, dan juga daerah di pulau sumatera sendiri. tentang pulau nias, informasi yang tersedia sangat kurang, bahkan SATU pun kami tak menemukan BUKU mengenai pariwisata pulau nias…” well, saya pikir dinas paiwisata perlu bekerja lebih giat dalam hal promosi….baik dalam pembuatan artikel bahasa inggris mengenai nias, petunjuk jalan kemana arah daerah pariwisata, spanduk/banner gede yang pajangin foto2 pariwisata, atau bahkan information center khusus”
Pulau Nias saat ini membutuhkan tangan-tangan dingin, terampil, profesional dan memiliki hati untuk membangun dalam mengoptimalkan pemberdayaan potensi yang telah ada.
Kembali kepada topik pembahasan di atas, tentang salah satu potensi yang belum tersentuh dan bahkan disia-siakan begitu saja di Pulau Nias yakni pemanfaatan sabut kelapa. Saya tersentak dan mengamini ungkapan Ady Indra Pawennari yang merupakan Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI) “Ini fakta yang sangat memprihatinkan. Kita kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp13 triliun per tahun dari sabut kelapa yang dibakar dan dibuang oleh masyarakat. Semua ini terjadi karena ketidakberdayaan dan kurangnya pengetahuan mereka, akan manfaat sabut kelapa. Karena itu, pemerintah harus bergerak dan AISKI siap diajak kerjasama.”
Melihat populasi dan jumlah produksi kelapa di Nias seperti yang telah saya tuliskan di atas tadi, secara matematis dapat dihitung bahwa dengan produksi 31.132,94 ton pertahunnya, dengan asumsi bahwa setiap 1 butir kelapa menghasilkan 0,5 kg daging kelapa maka produksi buah kelapa pertahunnya di Nias adalah 62.265.880 butir, maka dihasilkan 9.339.882 kg coco fiber dan 24.283.693 kg coco peat. Sehingga pertahunnya masyarakat Nias membakar uang sekitar Rp. 59.775.244.800 (sekitar 60 Milyar Rupiah), apabila harga coco fiber adalah Rp. 2.500/kg dan coco peat Rp. 1.500/kg. Sebenarnya jumlah tersebut bisa lebih karena perhitungan yang saya gunakan berdasarkan data pada tahun 2010 dan itu yang saya yakini belum memasukkan semua data luas kebun dan produksi kelapa di Nias. Sebuah angka yang lumayan besar dan mampu membantu meningkatkan perekonomian masyarakat pada saat ini, sehingga mampu membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat pulau Nias apabila dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah atau pengusaha setempat. Sehingga anak-anak muda Nias nantinya tidak berdesak-desakan untuk mengantri menjadi calon pegawai negeri berhubung karena PNS telah menjadi trend yang sedang booming bagi masyarakat Nias pada saat ini.
Bahkan, ada istilah bahwa pekerjaannya di luar Pegawai Negeri dianggap bukanlah sebuah pekerjaan di Nias terutama bagi orang tua yang ingin mencari jodoh untuk anaknya. Sehingga apabila ditanya “hadia halowo nonomo?” (apa pekerjaan anakmu?), jawabnya adalah “lo wo hadoi halowo nonogu, ha sohalowo ba konsultan” (anakku tidak ada pekerjaannya, dia hanya bekerja di sebuah konsultan proyek). Padahal gaji seorang konsultan adalah 2-3 kali lebih besar dari seorang Pegawai Negeri. Orang tua lebih suka bila menantunya adalah PNS atau pegawai bank, bila pekerjaannya di luar itu maka ada saja upaya penolakan, salah satunya adalah dengan meminta nilai jujuran yang sangat tinggi sehingga dengan sendirinya si calon menantu akan mundur teratur.
Semoga ada diantara anak-anak muda Nias yang berjiwa entrepreneur yang mampu menangkap peluang tersebut di atas. Secara pribadi saya sendiri ingin melakoni usaha ini, namun saya telah terikat sebagai seorang pegawai negeri dan juga terkendala oleh modal kerja dan ketrampilan. Saya tertarik untuk mengikuti pelatihan pengolahan sabut kelapa ini sehingga nantinya bisa membagi ilmu yang saya miliki kepada anak-anak muda di Nias sekembali saya dari Jogja.
NB. Mohon maaf, post sebelumnya dengan judul yang hampir sama di sini salah perhitungan, jumlah sebenarnya adalah 60 Milyar Rupiah. Terimakasih (Penulis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H