Namaku Doni, aku terlahir dari sebuah keluarga besar di salah satu desa terpencil di ujung utara Pulau Nias yang terkenal dengan pasir berbisiknya….
Aku adalah anak kedelapan dari 10 orang bersaudara dalam sebuah keluarga petani miskin yang hanya menggantungkan kehidupannya dari menyadap karet yang apabila musim penghujan datang harus mengganjal perut dengan singkong dan pisang rebus karena hujan telah mengguyur karet yang menjadi tumpuan harapan kami untuk membeli beberapa kilogram beras dan lauk yang hanya bisa bertahan selama beberapa hari, itupun dengan porsi kecil yang dijatah karena berbagi dengan saudara-saudara saya serta harus berhemat untuk makanan esok hari.
Aku dan keluargaku tinggal dalam sebuah istana (yang tidak mewah) berukuran 8×5 meter, berdinding terpas, berlantai tanah liat dan beratap rumbia yang disekat menjadi tiga ruangan. Ruangan depan merupakan ruang serba guna yang pada siang hari berfungsi sebagai ruang tamu, ruang belajar, serta ruang bermain dan pada malam hari beralih fungsi sebagai tempat membaringkan tubuh-tubuh dewasa yang ringkih di atas papan-papan kasar yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat mencegah agar tubuh kami tidak bersentuhan langsung dengan tanah.
Ruang tengah merupakan tempat tidur ayah ibu beserta anak-anaknya yang masih kecil yang juga berfungsi sebagai gudang barang-barang kami yang bergelantungan di dinding terpas bak kelelawar serta juga sebagai tempat proses pembuatan anak apabila anak-anak kecil di samping mereka sudah tertidur pulas .
Sementara ruang belakang yang sudah hitam pekat terkena asap kayu bakar berfungsi sebagai dapur dan juga gudang kayu bakar serta tempat penyimpanan SEMBAKO yang tak pernah mencapai sembilan jenis.
Itulah sekilas tentang keluargaku beserta gubuk terpas yang merupakan istana masa kecil kami…
Sementara aku, terlahir ke dunia ini tidak seperti saudara-saudaraku lainnya yang memiliki tubuh yang sehat dan sempurna. Aku terlahir dengan badan kurus, tanpa telapak kaki serta jari tangan kiri yang setengah dari panjang jari-jari tangan kananku. Aku tidak pernah bermimpi akan dilahirkan dengan kondisi cacat seperti ini, tapi aku selalu bersyukur karena diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menghirup udara dunia ini serta memaknai setiap jalan kehidupanku sehingga dapat menjadi kesaksian bagi setiap orang.
Aku juga tidak menyalahkan ibuku yang dahulu (tidak) mengharapkan diriku untuk menjejakkan telapak kaki yang tak sempurna ini ke muka bumi akibat dari kemiskinan dan kesusahannya mengurus saudara-saudaraku yang sudah 7 orang. Aku juga tidak menyalahkan ayahku yang akibat hawa dingin dan gelapnya malam telah menanamkan benihnya ke rahim ibuku yang menyebabkan perut ibuku membesar seperti orang yang terkena busung lapar… aku juga tidak menyalahkan kampungku yang terpencil yang masih belum dialiri listrik dan jauh dari hingar-bingar sehingga tidak ada satupun hiburan ditemukan di sana yang mengakibatkan tidak adanya jeda dan penghalang bagi kedua orang tuaku untuk mencegah diriku lahir ke dunia ini. Aktivitas orang tuaku hanyalah bangun tidur – ke ladang – tidur – (dan) bangun (lagi), yang sudah dilakoni puluhan bahkan ratusan tahun sejak masa kakek buyutku. Satu-satunya hiburan bagi mereka adalah saat mereka saling mendekap dan merasakan kehangatan tubuh masing-masing, saling meraba dan berbisik-bisik dalam gelapnya malam dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat kebisingan yang bisa membangunkan anak-anak kecil disebelah mereka. Hanyalah dengusan nafas mereka saja yang kadang terdengar memacu dan terengah-engah bersaing dengan suara jangkrik dan kodok dari kejauhan yang memecah keheningan malam mengalahkan keindahan musik klasik Mozart yang mengiringi pasangan-pasangan yang sedang asyik bercinta di hotel-hotel mewah di luar sana.
Tapi, ini bukanlah cerita tentang bagaimana kedua orang tuaku menikmati hiburan malam mereka. Ini adalah cerita tentang aku yang harus berjuang melawan cercaan dan ejekan teman-teman masa kecilku, atau pandangan sinis maupun iba dari orang-orang di sekelilingku. Ini adalah cerita tentang bagaimana aku harus melewati masa-masa sulit dalam memulihkan jati diriku serta melepaskan pengampunan kepada ibuku atas usahanya yang gagal dalam meng-aborsiku sehingga membuat diriku terlahir cacat seperti ini! Ini adalah cerita bagaimana aku harus berjuang menggapai impianku untuk bisa menyelesaikan studiku serta bisa sampai ke Pulau Jawa melihat Tugu Monas, Candi Prambanan, Pantai Parangtritis, dan Keraton Sultan di Yogyakarta…
Jujur saja, sebagai seorang manusia biasa sangatlah berat rasanya untuk bisa menerima kenyataan dan berdamai dengan diri sendiri serta melewati masa-masa sulit seperti itu. Namun, jika Tuhan yang menghendaki aku lahir ke dunia dengan ketidaksempurna ini sampai Dia tidak mengizinkan ibu menggugurkaku, aku percaya bahwa Dia punya rencana yang indah dibalik semua itu. Dia pasti sudah merancang rencana yang ajaib dalam kehidupanku.
Masa kecilku kulewati dengan keprihatinan karena harus berbagi dengan kesepuluh saudaraku yang telah dididik untuk bisa hidup mandiri tanpa harus bergantung kepada orang lain. Sekalipun kedua orang tuaku tidak pernahmengenyam pendidikan formal, namun pesan-pesan moral dari mereka sungguh berharga dan bermakna melebihi dari materikuliah yang diajarkan oleh dosen-dosen yang berpendidikan S3 di kampusku. Kedua orang tuaku sebenarnya sudah pasrah melihat kondisiku, dalam benak mereka sudah muncul kekuatiran bahwa aku akan menjadi orang yang cacat yang tidak akan bisa berjalan dan akan menjadi penunggu rumah sepanjang sisa hidupku. Namun kekuatiran mereka itu beralih menjadi segurat senyuman tatkala melihatku yang telah berumur 2 tahun mulai berjalan tertatih-tatih sekalipun hanya kaki tanpa telapak yang menjejak tanah.
Masa-masaku di Sekolah Dasar kulalui dengan peperangan batin karena harus menghadapi ejekan dari teman-teman sekelasku yang menganggap aku adalah manusia aneh, menakutkan dan tidak pantas dijadikan teman. Mereka bahkan pernah meludahi dan menyiramkan air bekas minumannya ke wajahku saking bencinya mereka melihatku. Aku tidak bisa membalas mereka pada saat itu, hanya tumpahan air mata saja yang setia menggenangi pipiku apabila mereka berulah seperti itu. Hanya Rina teman setiaku, seorang gadis kecil yang senantiasa menghibur dikala yang lain bertindak jahat atasku. Dia selalu menyeka air mataku dan memarahi mereka yang usil kepadaku. Namun, kebersamaanku dengan Rina hanyalah sampai kelas empat saja karena dia harus ikut pamannya ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di sana. Dia tidak pernah memberiku kabar sejak perpisahan itu. Tapi sekalipun dia tlah jauh, kebaikannya selalu melekat di hati dan takkan terlupakan hingga akhir hayatku. Untung saja, sekolahku hanya berjarak 200 meter dari rumah sehingga aku tidak berlama-lama menerima hinaan dan ejekan dari anak-anak seusiaku di sekolah karena bisa langsung pulang ke rumah lebih cepat.
Akibat kondisi kakiku yang tidak sempurna, aku tidak bisa menggunakan sepatu. Pernah mencoba belajar dengan menggunakan sepatu butut abangku, tapi tidak berhasil karena di saat aku mengangkat kakiku untuk melangkah, sepatunya tertinggal di belakang dan kaki tanpa telapakku melompat keluar kembali menginjak tanah. Akhirnya ku menyerah dan memutuskan untuk tidak akan memakai sepatu lagi. Hingga kelas 1 SMA aku tetap ke sekolah seperti tanpa alas kaki.
Masa SMP adalah masa tersulit bagiku, aku harus berjuang lebih keras lagi menghadapi lingkungan dan orang-orang baru, dan juga berjuang berjalan kaki ke sekolah dengan jarak tempuh sejauh 2 kilometer. Namun semangatku untuk bisa mengenyam pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi telah menjadi cambuk bagiku untuk mengalahkan semua tantangan-tantangan itu. Di masa SMP juga aku pertama sekali mengetahui penyebab kecacatan kakiku, berawal dari perbincangan ayah dan ibuku di dapur rumahku di hari minggu pagi ketika kami semua anak-anak pergi ke gereja itu sementara Ayah dan ibuku tinggal di rumah karena mereka akan ikut ibadah gelombang kedua khusus untuk orang tua pada siang harinya. Kebetulan pada pagi itu aku ketinggalan buku laporan ibadah dan Alkitab di rumah dan aku hendak mengambilnya. Mereka tidak menyadari kedatanganku, berhubung aku mendengar mereka menceritakan tentang aku, maka aku berusaha mencuri dengar tentang pembicaraan mereka. Hatiku bergemuruh mau meledak pada saat aku mendengar ibuku mengatakan kepada ayahku bahwa betapa menyesalnya dia telah menggunakan berbagai cara untuk menggugurkan aku waktu aku di dalam kandungan sampai-sampai dia pernah sengaja menjatuhkan diri, meminum “tuo nifarö” (tuak kelapa suling khas Nias yang kadar alkoholnya mencapai 80%) hanya untuk satu tujuan yaitu menggugurkan aku. Dunia serasa berputar saat itu, air mata langsung membanjiri pipiku, perasaanku bercampur aduk antara marah, sedih dan benci kepada ibuku. Aku berusaha lari sejauh-jauhnya dari rumah dengan Alkitab dan buku laporan ibadah dalam genggamanku, aku tidak sadar lagi bahwa kakiku tidak memungkinkan untuk berlari. Tapi saat itu aku tidak merasakan apapun pada kakiku, yang ada hanyalah kemarahan dan dendam atas tindakan ibuku kepadaku waktu dalam kandungan. Setelah capek berlari, akhirnya aku berhenti di pematang sawah dan telentang di atas tanah sambil menangis sesenggukan. Aku kecewa dan sangat marah kepada ibuku. Aku menyalahkannya atas apa yang telah terjadi kepadaku. Aku pasti tidak akan menjadi cacat seperti ini dan jadi bahan ejekan orang bila ibuku tidak bertindak bodoh seperti itu. Aku menangis terus sampai tak sadar bahwa aku tertidur, setelah sekian lama terlelap, aku terbangun dan merenungi hal yang baru saja terjadi. Alkitab yang kubawa tadi masih berada di sampingku, secara tidak sadar tanganku bergerak mengambil dan membaca Alkitab tersebut. Tiba-tiba mataku tertuju pada injil Lukas 17:4 yang berbunyi “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia”, aku tersentak ketika membaca ayat tersebut dan suatu suara yang mengiang-ngiang di telingaku berkata “Ampuni…Ampuni..”. Aku langsung bergegas pulang dan segera mencari ibuku. Untung saja mereka masih belum berangkat ke gereja. Aku langsung memeluk ibuku dan menangis. Ibuku terheran dan bertanya tentang sikapku yang tidak lazim itu, tapi aku terus memeluknya dan menangis semakin keras. Setelah beberapa saat, sambil sesenggukkan aku bercerita bahwa aku telah mendengarkan pembicaraan ibu dengan ayah tentang bagaimana ibu telah berusaha menggugurkanku waktu masih di kandungan. Aku juga langsung berkata bahwa aku tidak menyalahkan ibu dan telah melepaskan pengampunan atasnya. Tangis ibuku langsung pecah dan meminta maaf kepadaku. Dia berkata bahwa hal itu dulu dilakkukannya karena ketidak sanggupannya melihatku menderita apabila terlahir ke dunia karena beban ekonomi yang semakin berat. Ayahku ikut menangis menyaksikan kami berdua. Akhirnya kami dipulihkan pada saat itu, ayah membawa kami dalam doa dan meminta pengampunan kepada Tuhan.
Cerita yang miris juga waktu aku SMP adalah waktu adanya program pengaspalan jalan ke kampung kami. Karena terbiasa ke sekolah tanpa alas kaki, sepulang sekolah pada siang hari jalan yang baru di aspal sangat menyiksa dan sering membuat aku meringis kesakitan. Bahkan suatu ketika aku tidak menyadari bahwa aspalnya masih belum keras, sehingga dengan santainya aku menjejakkan telapak sepertigaku ke atasnya. Kakiku langsung lengket di aspal tersebut dan saat kuangkat, sebagian kulit di kakiku tertinggal di aspal tersebut. Akhirnya dengan menahan kesakitan aku harus melanjutkan perjalanan yang 1,5 kilometer lagi ke rumahku. Namun itu semua tidak pernah membuat semangatku surut sedikitpun. Sekalipun dengan kekurangan fisik dan kemiskinan keluargaku, aku masih tetap bisa mempertahankan prestasiku di sekolah dengan tetap memborong juara 1 setiap pembagian raport. Tuhan itu sungguh baik bagiku!
Pertama sekali mengenal memakai sepatu, adalah waktu aku kelas 2 SMU. Pada masa SMU aku tinggal di sebuah panti asuhan di kota Gunungsitoli berhubung karena orang tuaku tidak sanggup lagi membiayai sekolahku dan kebetulan ada pengurus panti asuhan yang melihatku waktu berkunjung ke kampungku. Tuhan telah menggerakkan hatinya untuk membantuku melanjutkan sekolah ke SMU. Waktu kelas satu SMU aku tidak memakai sepatu dan aku tidak merasa minder lagi karena Tuhan telah membantuk aku menjadi orang yang percaya diri dan selalu mensyukuri semua yang diberikan tuhan selama ini kepadaku. Proses ini terjadi selama bertahun-tahun dan puji Tuhan, Dia bisa memulihkan jati diriku. Waktu kelas 2 SMU ada seorang tamu di panti asuhan kami yang secara tidak sengaja melihat kakiku dan dia membujukku untuk memakai sepatu bahkan dia bela-belain untuk membelikan sebuah sepatu untukku, agar aku mau memakai sepatu. Akhirnya aku bisa memakai sepatu dengan melilitkan segulung kain di kakiku untuk menahan sepatu agar tidak terlepas sekalipun perjuangan untuk belajar pada awalnya sangatlah berat karena kakiku sering lecet dan aku sering merasakan kesakitan. Bahkan pada awalnya aku harus dituntun oleh dua orang teman untuk belajar berjalan. Dan ternyata di umurku yang ketujuh belas aku baru merasakan bagaimana enaknya memakai sepatu, sekalipun sepatunya untuk ukuran anak SMP, tapi aku sangat bersyukur untuk itu.
Setamat SMU, aku harus menganggur selama dua tahun sampai ada seorang dermawan dari Singapura yang bersedia membiayai kuliahku. Selama dua tahun menganggur, aku bekerja di panti asuhan mulai dari menjadi tukang masak dan mengurus anak-anak panti yang masih kecil-kecil. Semua itu kujalani dengan sukacita dan tetap bersyukur kepada Tuhan karena dia telah membawaku sampai ke tingkat ini dan aku percaya bahwa ini bukanlah akhir dari semuanya. Aku yakin bahwa Tuhan masih mempunyai rencana panjang lainnya atasku.
Dalam masa 2 tahun itu juga kupergunakan untuk belajar musik piano secara otodidak yang ternyata mengantarkanku untuk menjadi salah seorang pengiring musik di gereja. Ternyata Tuhan itu sungguh luar biasa, Dia tidak pernah membiarkan aku terjatuh dalam kelemahan dan kekuranganku. Bahkan Dia sanggup membukakan jalan bagiku yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Aku bisa menyelesaikan Sarjana Sastra Inggrisku dengan nilai yang memuaskan di salah satu Universitas swasta terkemuka di Kota Medan. Selama kuliah, aku juga mendapatkan beasiswa dari sebuah yayasan di bawah PGI yang memberikan kesempatan padaku mengikuti pelatihan di Salatiga yang menghantarkanku untuk bisa menjelajah sebagian Pulau Jawa dan bertemu teman-teman dari seluruh Nusantara.
Saat ini aku juga telah bisa menggunakan sepatu sesuai ukuran yang seumurku dan tidak lagi melilit kakiku dengan segulung kain karena aku telah mendapatkan alat pengganti kain tersebut yang terbuat dari kulit dan besi sehingga kakiku bisa terhindar dari lecet dan kesakitan.
“Terinspirasi dari kisah perjuangan seorang sahabat yang sangat gigih dalam menggapai impiannya, yang sanggup mengalami pemulihan jati diri dan melepaskan pengampunan kepada ibunya yang telah berusaha menggugurkannya sewaktu dalam kandungan“ Silakan baca tulisan saya yang lainnya di: 1. Kemarin Antara Ariel dan Peterporn, Hari Ini Bule Vs Indo.. Asli dan Bukan Rekayasa 2. Pesona Wisata Pulau Asu (Bukan Pulau yang Banyak Anjing Ya) 3. Kisah Lucu Dianggap Sebagai Perempuan Cerewet di Warnet 4. Om, Burungnya Dikeluarin Dong, Kisah (Burung Omku Sayang, Burung Omku Malang) Atau klik di Sini untuk mengunjungi blog saya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H