Dari penolakan yang ditunjukkan oleh Buya itu, lantas kemudian beliau dijadikan sebagai target dan common enemy oleh kalangan yang mendukung hadirnya NASAKOM ini, terlebih-lebih dari kalangan PKI dan para simpatisannya. Beliau Buya Hamka dituduh sebagai pemecah belah bangsa, anti persatuan dan lain sebagainya. Selain menyerang pribadi Buya, karya-karya Buya Hamka juga tidak luput dari kritik-kritik destruktif dalam rangka membunuh karakter Buya, walaupun memang Buya Hamka senantiasa menghadapinya dengan tenang, tanpa reaksi yang berlebihan.Â
Dalam hal ini LEKRA yang tidak lain adalah lembaga yang dipimpin oleh Pram lah menjadi aktor utama. Sampai pada akhirnya Buya Hamka dipenjarakan  oleh rezim Soekarno pada 1964, karya-karya beliau disisir dan diambil paksa dari pasaran bahkan sampai yang belum tercetak sekalipun ikut diambil paksa oleh para kader dan simpatisan PKI yang juga di dalamnya ada LEKRA yang dipimpin oleh Pram. Yang pada kesimpulannya bagaimana PKI dan berbagai kelompok Underbow nya melihat Buya Hamka sebagai sebuah ancaman besar, dan harus dibungkam dengan berbagai macam cara.
Tapi di kemudian hari siapa yang sangka, calon menantu dari seorang pembesar kelompok pembencinya justru menjadi muridnya yang berguru bahkan berislam melaluinya. Adalah Astuti yang merupakan anak perempuan dari Pram datang bersama dengan calon suaminya seorang pria keturunan bernama Daniel Setiawan dengan maksud untuk berislam dan belajar agama kepada Buya Hamka.Â
Ketika ditanya atas dasar apa mereka datang kepadanya, kemudian mereka menjawab itu semua adalah keinginan ayahnya yang tidak rela melihat anak perempuannya menikah dengan pemuda yang beda iman, lantas memerintahkan mereka untuk beguru pada Buya. Karena menurut Pram,walaupun ia dengan Buya Hamka memiliki pandangan politik yang berbeda, hanya kepada Buya lah ia lebih tenang melihat dan menitipkan anak dan calon menantunya belajar urusan agama Islam.
Layaknya Buya Hamka pada  biasanya, ia kemudian dengan tanpa melihat latar belakang keluarganya, atau dari mana ia berasal dengan senang hati dan lapang dada kemudian beliau mengajarkan agama sesuai dengan apa yang dimintakan Pram kepadanya.
Demikianlah beberapa potong kisah dahsyatnya seorang Buya Hamka. Dengan kelapangan jiwa yang sangat ekstrem kemudian mencerminkan bahwasanya Buya Hamka adalah juga merupakan bapak bangsa yang tidak keras dalam membenahi kehidupan berbangsa, tapi tidak juga lemah lalu memilih kompromi demi menjaga kepentingannya. Karena sejatinya kepentingan Buya Hamka adalah menjaga selarasnya kehidupan berbangsa dan kehidupan beragama, karena oleh sebab itulah predikat Muslim negarawan akan diraih.
Itulah Buya Hamka dengan kelapangan dan kelembutan jiwanya, perangai yang sufistik telah dengan sendirinya membangun ruang hangat di dalam sanubari setiap orang yang mengenalnya. Segala getir hidup dihadapinya dengan bijaksana, dan penuh dengan keterpasrahannya kepada yang maha kuasa. Itulah Buya Hamka dengan segala kisahnya yang luar biasa, kisah yang daripadanya terkandung hikmah dan pengajaran yang besar. Kisah yang harusnya menjadi pedoman bertindak setiap generasi bangsa yang akan menjaga perjalanan hidup bangsa tetap lurus sesuai dengan cita-cita para leluhur.
Rujukan Tulisan:
Guci, Y. S. (n.d.). Buya Hamka Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama. Tinta Medina.
Hamka, B. (2018). Panggilan Bersatu, Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa. Yoyakarta: Galata Media.
Hamka, I. (2013). Ayah. Jakarta: Republika Penerbit.