Mohon tunggu...
Jauhar Fajrin
Jauhar Fajrin Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pecinta Literasi

Civil Engineer yang suka literasi dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sufi Kontemporer: Don't Judge A Book by Its Cover

25 Oktober 2020   06:40 Diperbarui: 25 Oktober 2020   07:28 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya punya seorang sahabat, perfectly brilliant. Khususnya dalam ilmu eksakta. Waktu kami SMA dulu, saya hanya mampu meraih angka 8 lebih dikit untuk UN matematika, dia mendapatkan nilai 10. Perfecto. Tamat SMA kami meniti jalan berbeda untuk meraih masa depan. 

Orangnya kalem, halus dan sedikit introvert sehingga cerita kehidupan di seputar dia nyaris tidak pernah beredar diantara kawan-kawan. Satu-satunya kabar yang saya dapatkan tentang dia adalah bahwa dia pindah dari perguruan tinggi A ke B, dimana A dan B adalah dua perguruan tinggi negeri papan atas di Indonesia. Saya tidak heran kalau dia diterima pada perguruan tinggi manapun yang dia inginkan. 

Soal matematika yang saya perlu dua tiga kali mencoba baru menemukan jawabannya, dia bisa jelaskan dalam sekali jalan dengan sangat runtut. Dua puluh tahun tidak bertemu, saya mendapat kabar dia tinggal di suatu daerah di Jawa Tengah. Saya bersyukur akhirnya media sosial mempertemukan kami kembali dan dengan segala kerinduan seorang sahabat saya mencarinya.

Tidak seperti biasanya, seseorang akan memberikan alamat rumah untuk didatangi. Dia menawarkan saya untuk menjemput diterminal. Tetapi dengan sopan saya katakan bahwa saya akan mencari sendiri alamatnya. Kami janjian bertemu di masjid untuk memudahkan. Saat bertemu, kami berpelukan hangat melepas kerinduan sebagai dua orang sahabat yang terpisahkan oleh jarak dan waktu berpuluh tahun. 

Dia datang pakai motor berbalut pakaian sederhana saja, celana yang dipakainya ada sedikit bekas jahitan. Jujur ada rasa iba dihati saya. Kesan pertama saya dia sudah banyak sekali berubah, sama dengan kesan dia tentang saya. 

Selesai sholat di siang itu, mobil kami mengekor di belakang motor menuju kerumahnya. Di sepanjang jalan saya menduga-duga apa gerangan pekerjaan sahabat saya ini. Dengan kemampuan akademik yang superior dan lulusan sebuah perguruan tinggi terbaik di Indonesia, saya berekspektasi diawal bahwa dia akan datang dengan mobil keren dan pakaian parlente. Biasalah, dugaan manusia kebanyakan yang setiap hari dijejali informasi pamer dari dunia maya.  

Disini pelajaran pertama itu dimulai. Kontras sekali dengan pendugaan saya selama kami mengekor dibelakang motornya, perlahan kami berbelok ke sebuah jalan yang lebih kecil dan akhirnya memasuki sebuah rumah besar dengan halaman luas. Di bagian sisi bangunan terdapat sebuah kolam renang. 

Rumah yang didesain kontemporer dengan pemandangan ke arah gunung yang indah. Kami dijamu makan siang dilantai dua dengan menu yang sedap. Batin engineer saya langsung mengkalkulasi nilai rumah ini dalam Rupiah, he..he. Selepas makan siang, kami bertukar cerita sedikit tentang hal-hal ringan diseputar kehidupan kami.

Setelah itu kami diajak ke tempat dia bekerja, karena saya mempunyai kepentingan riset yang berkaitan dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaannya. Sebuah perusahaan tekstil yang menghasilkan produk yang hanya diexport ke luar negeri saja. Begitu yang dia ceritakan melalu media sosial yang mempertemukan kami. Tiba di halaman kantornya yang asri saya diajak keliling. 

Satu hal yang menarik adalah pekerja disitu adalah ibu-ibu yang sudah melewati usia separoh baya. Warga sekitar perusahaan. Bekerja penuh dengan rasa kekeluargaan, dari riuh candaan sopan mereka. Jauh dari kesan mewah sebuah perusahaan exportir yang menghasilkan barang luxery. Saat berkeliling dia menyapa semua pekerja lain dengan sopan dan sebaliknya merekapun membalas dengan sangat ramah. Perusahaan ini terasa agak berbeda dengan mainstream.

Usai berkeliling saya minta dipertemukan dengan direkturnya yang dia iyakan dengan intonasi yang halus sekali. Saya lalu diajak ke sebuah ruangan yang bagus yang berada ditengah komplek bangunan. Tidak ada orang lain disitu, tidak ada resepsionis dan tidak juga sekretaris, yang biasanya menyapa kalau saya mendatangi kantor sebuah perusahaan.  Dia menyiapkan sendiri teh dingin yang rasanya enak banget. 

Dia kemudian duduk dikursi dihadapan meja besar yang ada didepan saya dan bercerita sedikit tentang perusahaan itu. Kemudian saya diberi kartu nama untuk kontak formal selanjutnya dan ternyata, ...dia adalah Direktur dari perusahaan itu. Ini pelajaran kedua yang menampar dinding-dinding kesombongan di hati saya. Sahabatku, dirimu adalah mata kuliah kehidupan yang tidak pernah ada di kurikulum manapun. Yang selalu aku ceritakan dihadapan mahasiswa tentang bagaimana esensi ilmu yang sesungguhnya. 

Kamu tidak hanya mengalahkan saya dalam pelajaran matematika SMA kita, tetapi juga dalam matematika kehidupan. Aku bangga padamu kawan, bangga sekali. Seorang sufi yang jarang sekali bisa ditemui pada jaman kontemporer seperti ini. Benar sekali pesan sebuah pepatah yang sering saya baca, "don't judge a book by its cover". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun