5 September 68 Â tahun yang lalu lahirlah seorang anak yang hingga hari ini menjadi bapakku. Praktis, hari ini adalah ulangtahunnya yang ke 68 tahun. Semoga keberkahan selalu meliputinya, dan kesehatan dan istiqomah selalu dimilikinya. Â
Bapakku adalah manusia biasa yang tentu tidak akan lepas dari yang namanya blunder. Meskipun begitu, aku menyerap teladan dari banyak hal yang ia lakukan.
Aku sering dengan bangga menceritakan bapakku kepada orang-orang. Tentang hobinya untuk nakal diam-diam menambahkan gula pada kopinya. Tentang hobinya membeli barang yang sesungguhnya nggak perlu-perlu amat. Tentang keteguhannya mempertahankan bunyi semesta pikir dan rasanya dalam melakukan apapun. Kiranya, hal itu dianggap egois. Namun bagiku, itu adalah bentuk kemerdekaannya atas segala sesuatu yang ia pendam selama setengah abad lebih. Â
Bapakku nggak banyak bicara. Kukira hanya bapakku saja yang ketika kutelpon hanya sekedar menanyakan kabar lalu memberikan handphone-nya ke ibuku. Ternyata bapak-bapak diluar sana banyak yang demikian juga. Kira-kira memang begitu ya bapak-bapak pada umumnya. Nggak banyak bicara, tapi pikirannya berkelana dan hatinya kerap diolesi antibody biar tidak dihinggapi prasangka.
Tapi,
Bapakku memasang standar yang tinggi, sehingga bagi anak nakal sepertiku seakan mustahil untuk melampauinya. Gokil, jangankan berpikir untuk melampauinya, ya minimal menjangkau saja deh. Itupun susah juga kalau dikalkulasi.
Ia tidak pernah bilang bahwa 'leee harus gini gini bla bla bla'. Tidak pernah seingatku. Ia tidak banyak cerita tentang kiprahnya di masa lalu. Tapi semakin kesini, semakin banyak orang yang ternyata memberi testimony positif tentang bapakku. Disatu sisi aku bangga. Sangat bangga punya bapak yang kupikir cuek tidak peduli, ternyata memberikan kebaikan untuk lingkungannya. Disisi yang lain, orang-orang itu tentu berharap aku dapat meneruskan kiprahnya menebar kebaikan. Berat sekali kelihatannya.
Sejak aku memulai pendewasaan melanglang buana ke kota orang, aku beberapa kali ditampar kenyataan bahwa hal yang dilakukan bapakku dulu memang harus diteruskan hari ini. Kayak melakukan hal baik tanpa bicara, membantu yang sedang berkekurangan, berdiri tegak lurus diatas kebenaran dan masih banyak lagi. ini tugas berat yang pertama, yang tentu tidak mudah untuk dilakukan di zaman yang sangat kompetitif layaknya hari ini.
Tugas berat yang selanjutnya adalah salahku sendiri memang, mematok standar minimal agar mempunyai kebiasaan seperti bapakku. Dalam portal yang lain, aku pernah bercerita bahwa bapakku sangat konsisten membaca, mengaji, mengkaji, belajar dan mengolah rasa disetiap malamnya. Ini seperti panjar kebiasaan yang kerap membuatku ingin menyerah. Ya salahku sendiri memang, tapi ini kan hal baik.
Bapakku mungkin tidak sadar telah melakukan banyak hal yang kemudian kujadikan role model. Semua yang kupaparkan itu, bapakku sama sekali  nggak pernah bilang dan cerita padaku. Itu murni hasil pengamatanku dan kata kata orang- orang yang kudengarkan dengan telingaku sendiri.
Sebagai anak bengalnya, aku malu untuk mengatakan ini, tapi aku saayang sekali sama bapakku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H