Emas tak ubahnya Monalisa. Selalu jadi primadona. Pamornya tak pernah lekang ditelan masa. Waktu berganti, ekonomi berkembang, resesi berulang, krisis bersulih rupa, perbawa logam berwarna kemuning ini tetap kinclong. Bahkan kini emas benar-benar tengah berada di puncak popularitas. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, harganya naik sangat signifikan. Kalaupun turun, cuma sedikit untuk kemudian naik lagi dan lagi. Data Bloomberg sampai pekan kedua Agustus 2020 menunjukkan, sepanjang tahun ini saja harga emas dunia mengalami kenaikan sebesar 28 persen.
Walaupun Bank Indonesia tidak lagi memasukannya dalam kategori produk keuangan, posisi emas tidak kalah strategis dibanding produk keuangan itu sendiri. Selama bertahun-tahun emas turut menjaga stabilitas sistem keuangan masyarakat sekaligus jadi alat investasi yang tumbuh superior secara alamiah. Bahkan fungsinya sudah mendekati alat tukar kedua setelah uang karena sifatnya yang sangat mudah dicairkan. Manajer Portofilio Skybridge Capital Troy Gayeski sampai-sampai berani menyebut emas sebagai mata uang alternatif paling potensial. "Sulit mencari mata uang alternatif ketika dolar mengalami pelemahan nilai. Tidak euro, tidak juga yuan. Jadi, jelas emas merupakan mata uang alternatif paling potensial yang alami," tutur Gayeski seperti dikutip Bloomberg pada Kamis (20/8/20).
Ucapan Gayeski seturut dengan hasil survei sederhana yang Kami buat pada Jumat (21/8/20). Survei ini digelar bukan untuk mencari pembenaran, melainkan sebatas menggali gambaran kecil bagaimana posisi emas di benak masyarakat. Oleh karena itu pertanyaan serta sampelnya pun sengaja ditentukan tidak terlalu kompleks. Dan tentu saja akurasi hasilnya sangat bisa diperdebatkan.
Dalam survei tersebut, disuguhkan lima pertanyaan untuk seratus responden yang dipilih secara acak dari kontak Whatsapp. Hasil survei menunjukkan, usia dominan responden berada di kisaran 40 tahun lebih. Itu berarti dari segi usia, mayoritas responden bisa dianggap berada dalam tingkat kematangan berpikir.
Untuk jawaban dari pertanyaan ketiga dan keempat rasanya sangat mudah ditebak. Tanpa survei pun sudah bisa diterka seperti apa jawaban responden. Namun yang paling menarik adalah jawaban responden atas pertanyaan kelima. Data per 31 Agustus 2020 pukul 23.30, dari 35 responden yang berkenan menjawab, 13 orang di antaranya memilih emas sebagai alat transaksi alternatif di luar uang. Jumlah ini mengalahkan opsi uang elektronik dan kartu kredit. Ini menggambarkan betapa pernyataan Gayeski di Bloomberg yang mengacu pada tataran global berlaku juga untuk skala yang sangat kecil.
Emas memang punya keistimewaan dibanding media investasi lain seperti properti, saham, asuransi, atau surat berharga lain. Dari segi keuntungan, properti atau saham boleh jadi menjanjikan hasil yang lebih besar. Tapi investasi di bidang properti benar-benar buat kalangan yang kelebihan duit, karena harga rumah yang tidak murah. Dengan uang lima juta rupiah, orang sulit berinvestasi di properti. Tapi dengan jumlah setara, saat ini orang bisa menyimpan uang dalam bentuk emas sekitar lima gram.
Untuk bermain saham atau surat berharga, orang butuh proses belajar yang tidak mudah agar paham seluk-beluknya. Sementara ibu-ibu di kampung yang pola pikirnya sederhana, secara naluriah akan membeli emas jika punya uang lebih dari hasil panen. Lalu secara alamiah pula menjualnya ketika ada keperluan mendesak. Pun perempuan kota, berbondong-bondong membeli emas sebagai perhiasan lambang gengsi sembari berinvestasi.
Ibu-ibu di kampung dan perempuan-peremuan kota secara instingtif memandang saham tidak bisa dijadikan lambang gengsi dan properti tidak bisa dibawa ke mana-mana. Tapi emas dalam bentuk perhiasan bisa menempel di badan, memberi nilai tambah pada penampilan, serta sangat mudah disulih jadi uang tunai kapan saja dan di mana saja. Ade aspek simplicity yang sangat kental di dalamnya. Emas memberikan kemudahan yang tidak diberikan saat menyimpan uang dalam bentuk saham atau properti.
Di samping itu, dibanding produk investasi lain, emas memiliki fleksibilitas tinggi dalam menghadapi situasi. Emas terbukti tangguh menghadapi bermacam gejala zaman. Saat ekonomi berada dalam kondisi baik, emas sudah barang tentu jadi pilihan favorit untuk menyimpan uang. Uniknya, ketika ekonomi tengah didera krisis, emas tetap jadi pengaman finansial paling plastis.
Dalam pengamatan Acuviarta Kartabi, Pengamat Ekonomi dari Universitas Pasundan, Bandung, ada fenomena menarik di kalangan masyarakat menyangkut emas. Ketika masyarakat menganggap kondisi ekonomi memburuk dan mulai tidak percaya terhadap uang kartal, masyarakat justru akan memilih emas sebagai alat investasi. "Karena pola pikir masyarakat sudah terbentuk sedimikian rupa, bahwa nilai emas relatif stabil dari waktu ke waktu. Uang kartal sangat lekat dengan inflasi, sementara emas tidak mengenal inflasi. Masyarakat tidak memiliki keraguan terhadap sifat emas, baik dari sisi nominal maupun nilai intrinsiknya," ujar Acuviarta saat dihubungi pada Jumat (28/8/2020).