Ban Kempes
Masih di kawasan Naringgul, keapesan menghampiri. Selepas jajan gorengan di sebuah warung pinggir hutan, ban motor belakang gembos. Menurut ibu pemilik warung, tukang tambal ban masih lumayan jauh. Saya pun memutuskan untuk tetap menaiki motor sambil boncengan. Saya tidak tega jika harus meninggalkan teman perjalanan. Saya berpikir lebih baik merelakan uang Rp 50 ribu untuk ganti ban dalam dibanding harus membiarkan teman menunggu.
Tukang tambal yang dimaksud ibu pemilik warung ternyata tutup. Dipanggil berulang-ulang tidak ada sahutan. Beruntung kompresornya masih terisi angin, sehingga saya memutuskan untuk memompa ban sendiri. Lumayan sambil nyari tukang tambal ban berikutnya.
Sebenarnya saya juga sempat was-was. Takut jika tetap digeruduk sambil boncengan, velg motor jadi speleng, retak, atau apa. Tapi kekhawatiran saya tidak terbukti saat menjumpai sebuah bengkel sekitar 10 menit setelah isi angin sendiri. Saat itulah tukang bengkel mengatakan bahwa ban Vario 150 eSP bertipe tubeless. Sumpah Demi Tuhan, sebelumnya saya tidak tahu jika sektor kaki-kaki Vario 150 eSP dilengkapi ban tubeless. Tidak heran bila angin yang saya pompakan di tukang tambal sebelumnya masih utuh. Setelah diperiksa, ternyata bocornya kecil.
Dapat dibayangkan bagaimana jika Vario 150 eSP tidak berban tubless. Sudah pasti saya harus mengeluarkan biaya lebih untuk mengganti ban dalam. Tidak butuh waktu lama, proses tambal pun beres. Di bengkel itu sekalian pula saya beli bensin sebanyak dua liter, karena di sepanjang Naringgul ternyata tidak ada SPBU.
Kabut Tak Jadi Soal
Selepas urusan ban kempes kelar, tanjakan dan tanjakan masih jadi menu perjalanan. Kondisi ini tidak berhenti sampai memasuki kawasan perkebunan teh Rancabali, Kabupaten Bandung. Cuaca dingin berkabut tebal khas kawasan Rancabali sama sekali tidak mengurangi kegarangan Si Hitam berkapasitas 150 cc. Saya tidak tahu secara spesifik jenis lampu apa yang dipakai motor ini. Yang jelas di tengah cuaca berkabut tebal dengan jarak pandang hanya sekitar lima meter, cahaya yang disemburkan lampu utama Vario 150 eSP membuat orientasi pandangan ke depan bisa tetap terjaga.
Saya baru menemukan jalanan dalam kondisi normal selepas kawasan Kawah Putih, Ciwidey, Kabupaten Bandung. Bahkan setelah itu, saya dihadapkan pada jalanan menurun. Itu berarti sekira satu jam ke depan, saya sudah sampai di rumah.
Memasuki kawasan Soreang, sekali lagi saya tengok speedometer. Indikator bahan bakar masih tersisa dua strip. Stok yang aman untuk sampai ke rumah. Sementara deretan angka indikator jarak tempuh menunjukkan bilangan dua puluh enam ribu empat ratus sekian. Saya lupa lagi berapa persisnya. Jika dihitung secara kasar, saya telah menempuh jarak sekitar 400 kilometer dari Bandung menuju Kabupaten Sukabumi, terus ke Kabupaten Cianjur, sampai Pantai Jayanti, kemudian pulang lagi ke Bandung via Ciwidey. Jarak sejauh itu menghabiskan ongkos bensin sejumlah Rp 20.000 + Rp 10.000 + Rp 15.000 (untuk dua liter, angka dibulatkan) = Rp 45.000.
Jika harga bensin dihitung Rp 7.000 per liter, maka perjalanan sejauh lebih-kurang 400 kilometer hanya menghabiskan bensin sekitar 6,5 liter. Atau setiap liter cukup untuk menempuh jarak 61,5 kilometer. Dengan pengalaman seperti yang saya rasakan langsung selama perjalanan tamasya ke Pantai Jayanti, tidak berlebihan bila menyebut Vario 150 Sempurna!
Â