Puluhan mata lensa fokus membidik pria paruh baya yang tengah membentangkan kostum kandang tim nasional indonesia. Ialah Luis Milla Aspas pria tersebut, seorang spanyol yang resmi menjadi juru latih punggawa garuda. Ke depan ia akan menjadi pelatih kepala guna menggapai target tinggi pada helatan Sea Games 2017 dan Asian Games 2018.Â
Tak sekadar itu, mantan pelatih yang pernah mambawa Spanyol U-21 menjuarai Piala Eropa ini diberi tugas oleh PSSI untuk dapat mengawali langkah pembenahan jangka panjang Tim Nasional. Kontrak dua tahun yang disepakati menjadi bukti sahih kedua belah pihak komitmen mengemban tugas itu.
Pembenahan Timnas jangka panjang inilah yang menurut saya akan menjadi tugas terberat bagi Luis Milla. Bukan tanpa alasan, berdasarkan data lima tahun terakhir tak ada satu pun pelatih yang mampu mengemban amanah ini. Alih-alih melakukan pembenahan, nasib para juru latih timnas lima tahun terakhir tak ada yang berumur panjang.
Data mencatat sejak tahun 2012, telah sepuluh kali terjadi pergantian juru latih di tubuh timnas kita. Mulai Wim Rijsbergen, Aji Santoso, Nil Maizar, Fabio Manuel Blanco, Rahmad Darmawan, Jacksen F Tiago, Aflred Riedl, Benny Dolo hingga Pieter Huistra. Mereka adalah sederet juru latih yang menjadi bukti sahih entengnya PSSI melakukan pemecatan. Bahkan Luis Manuel Blanco dipecat sebelum mencatatkan satu laga resmi sekalipun.
Untuk melakukan suatu pembenahan tentu saja dibutuhkan proses yang tidak instan. Maraknya bongkar pasang juru latih adalah langkah kontradiktif dari target pembenahan jangka panjang.Â
Bayangkan saja, setiap pelatih sudah barang tentu memiliki pendekatan, pola manajerial dan gaya permainan tersendiri. Dan tiap pemain jelas perlu waktu untuk kemudian beradaptasi dan sepenuhnya memahami ramuan sang pelatih.Â
Dengan maraknya pergantian pelatih, jelas beban berat ada di pundak pemain. Belum khatam ramuan strategi satu pelatih, mereka dipaksa untuk beradaptasi kembali dengan hadirnya pelatih baru. Selain pemain, tentu saja elemen pendukung lain juga dituntut terus beradaptasi dengan sistem baru sang pelatih.
Lebih lanjut mengenai pembenahan jangka panjang. Kiranya tak salah jika kita menengok apa yang telah dilakukan negara tetangga kita Singapura. Selama 14 tahun terakhir, The Lions hanya melakukan tiga kali pergantian pelatih. Bahkan sepanjang tahun 2003 hingga 2012 Football Association Singapore (FAS) menaruh kepercayaan penuh pada sosok Radojko Avramovich. Dengan sumberdaya manusia yang jauh di bawah Indonesia, Avramovich sukses menjawab kepercayaan itu dengan membawa pulang tiga piala AFF.Â
Bukan hanya itu, waktu sepuluh tahun yang ia miliki dimaksimalkan untuk melakukan pembenahan jangka panjang. Hingga kini, buah pembenahan itu terus terlihat, Singapura menjadi salah satu tim yang disegani di kancah Asia Tenggara dan regenerasi pemain pun berjalan baik. Mulai Shahril Ishak, Haris Harus, dan teranyar Anumantan Kumar adalah sederet bintang muda lintas generasi ditengah terbatasnya sumberdaya di Singapura.
Kembali pada sepakbola Indonesia, hadirnya Luis Mila diiringi ekspektasi tinggi pecinta kulit bundar tanah air. Namun ekspektasi tinggi itu patut pula dirasionalkan dengan fakta bahwa pembenahan sepakbola bukanlah sebuah proses instan. Kita harus sabar menanti, jangan sampai fokus Luis Mila terganggu karena desakan muluk-muluk dari Federasi ataupun Masyarakat sendiri dan berakhir pemecatan.
Menengok kiprah apik yang dimiliki menarik melihat bagaimana kinerja Luis Mila dua tahun kedepan membenahi Garuda yang baru saja terjaga akibat sanksi. Apabila Negeri Singa butuh lebih dari sepuluh tahun, berapa lama Luis Milla dapat membawa Garuda kita kembali terbang tinggi?