Mohon tunggu...
Jatmiko Suryo Gumilang
Jatmiko Suryo Gumilang Mohon Tunggu... Guru - Guru Menulis

Tenaga pengajar sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keseimbangan Filsafat dan Agama dalam Masyarakat Postmodern

13 Oktober 2021   21:12 Diperbarui: 13 Oktober 2021   21:24 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keseimbangan Filsafat dan Agama dalam Masyrakat Postmodern

Oleh : Jatmiko Suryo Gumilang, S.Pd, M.Sos

Pada kalangan masyarakat yang serba modern ini, Agama dan Filsafat masih tetap menjadi pedoman primadona untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Hal-hal yang berkaitan dengan agama dan filsafat tidak pernah terlekang oleh waktu dan masih fleksibel dalam pengaplikasiannya pada praktik-praktik dari semua segi maupun didalam lini kehidupan. Ada banyak pemikiran dan pandangan mengenai filsafat baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Pada hakikatnya, filsafat adalah sebuah pemikiran yang berasal dari epistimologis manusia. Melalui pengamatan manusia baik bersifat subyektif maupun obyektif, manusia terus berpikir dan mencari tahu mengenai Dzat yang memiliki kekuatan (power) melebih dari apa yang mereka bayangkan. Sedangkan Agama memberikan keyakinan kepada manusia bahwa keselamatan kehidupan manusia dalam tahap jangka panjang hanya terjadi jika manusia memiliki kesadaran terhadap kehidupan ruhaninya dan mengolah alam semesta dalam upaya untuk meningkatkan kualitas ruhaniah bukan mengekploitasi semesta hanya untuk kepentingan material sesaat. Adapun Agama yang menjadi pedoman dan dogma dalam masyarakatpun juga harus diimbangi dengan filsafat agar bisa berjalan dengan seimbang serta lebih terarah. Agar aplikasi dalam kehidupan beragama tidak mempunyai dampak yang berbahaya.

Ada dua kekuatan yang merubah dan mewarnai hidup dan kehidupan (dunia) yaitu; agama (Nabi/rasul) dan filsafat (filosof), keduanya merupakan pandangan dan panutan hidup, sehingga orang:

1. Mau mengorbankan (yang dicintai), memberikan (yang dimiliki), menyerahkan (yang dikuasai), melakukan (suatu yang memberatkan) dan meninggalkan sesuatu semata-mata karena dorongan dari kepercayaan yang diyakini kebenarannya (agama).

2. Orang rela untuk menanggung segala resiko hanya karena mempertahankan suatu kebenaran yang diperoleh dari pencariannya (filsafat).

Dua kekuatan tersebut bersemayam dalam jiwa manusia, oleh karena itu pembicaraan agama dan filsafat tidak pernah lepas dari esensi dan eksistensi manusia itu sendiri.

Di dalam kitab suci umat Muslim yatu Al-qur'anulkarim, tidak hanya sebatas terjemahan saja untuk membaca makna setiap konteks kata-kata di dalam larik ayatnya. Perlu adanya tafsir untuk mengartikan setiap ayat-ayat di dalam Al-qur'an. Kalau tidak, maka akan ada banyak sekali arti di dalam ayat yang dipraktikkan akan menyimpang jauh dari makna yang sesungguhnya. Banyak sekali contoh kasus tentang salah mengartikan makna yang tersirat di dalam kitab suci. Dan di dalam kasus ini, penulis ingin mengambil contoh kasus ketika para jemaah Syekh Siti Jenar saling membunuh untuk tujuan kebaikan yang tentunya sangat menyimpang dari makna aslinya.

Salah satu pemikiran dan pandangan hidup yang berasal dari tokoh domestik adalah Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang). Sejarah biografi dan ideologi tentang Syekh Siti Jenar sampai saat ini masih menjadi perdebatan banyak preskpektif dari pelbagai kalangan dan kelas sosial pemeluk Islam. Di dalam intisari ajaran-ajaran dari Syekh Siti Jenar yang paling populer adalah Wihdatul Wujud dimana terdapat ungkapan "Manunggaling Kawula Gusti". Dimana ungkapan tersebut jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Bersatunya Diri Kita dengan Tuhan".

Disaat penulis membaca buku referensi yang ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, S.U dimana terdapat kumpulan suluk dari Syekh Siti Jenar, sehingga penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa :

Agama diangap sebagai wujud Jabariyah, berasal dari kata jabara yang berarti adalah paksaan. Setiap agama mempunyai praktik-praktik yang harus dilakukan oleh umatnya. Begitu pun ketika menjadi seorang pemeluk agama Islam, maka akan ada praktik-praktik keagamaan yang harus dilakukan sebagai wujud simbolis seorang Muslim. Di dalam intisari ajaran Syekh Siti Jenar menyingkirkan hubungan yang berisfat transaksional di dalam kegiatan beragama. Berharap akan pamrih ketika melakukan praktik-praktik keagamaan. Semua akan menjadi suatu kedurjanaan dan omong kosong belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun