Di abad ke-19, para penjajah semakin masuk ke dalam jantung wilayah umat Islam. Â Setelah Perang Jawa (1825-1830) di tahun-tahun berikutnya nyaris tidak ada perlawan revolusioner seperti yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro sehingga Belanda leluasa mencengkram dan mendominasi kehidupan masyarakat Nusantara.
Ibadah Haji sebagai sebuah aktivitas ibadah justru menjadi stimulus yang menggerakkan perasaan antikolonialisme dan mendorong orang Nusantara untuk bersatu dan melawan para penjajah di tanah air. Salah satunya adalah peristiwa pemberontakan petani Banten 1888 yang terinspirasi dari pengalaman tokoh-tokoh saat mereka berada di Mekkah. Â
Setelah pemberontakan petani Banten, pemerintah kolonial mulai waspada dan berinisiatif untuk menyelidiki mengapa orang Indonesia secara tiba-tiba memiliki watak revolusioner Indonesia setelah kembali dari ibadah Haji. Snouck Hurgronje menceritakan pengalaman seorang Residen yang sering melakukan kontak dengan para Haji :
"The Hajjis are the plague of native society; they encourage the natives to resistance, sow fanaticism and hatred of Europeans."
Para haji merupakan wabah penyakit bagi masyarakat pribumi, mereka mendorong masyarakat untuk memberontak, menabur fanatisme dan kebenciaan terhadap bangsa Eropa.
Snouck sendiri menyarankan kepada pemerintah kolonial agar pemerintah mengetahui apa yang tengah terjadi di Mekah, unsur-unsur apa yang diimpor dari sana setiap tahun, dan bagaimana menjadikan ini sebagai dukungan bagi pemerintah atau minimal hal ini tidak membahayakan pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial akhirnya menyelundupkan satu orang untuk pergi ke Mekkah dan memantau situasi di sana, orang tersebut ialah Snouck Hurgronje itu sendiri dengan menyamar sebagai Abdul Ghaffar.
Di Mekkah, Snouck menyaksikan bagaimana orang dari seluruh Nusantara membicarakan tentang perlawanan Aceh terhadap orang Belanda, kisah legendaris tersebar bahwa salah satu pejuang Aceh telah membunuh sebanyak 17.000 tentara Belanda, hal ini membangkitkan kesadaran untuk melawan kolonialisme di wilayah-wilayah Islam.
Bayangkan para jemaah Haji dari seluruh pelosok Nusantara-Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, hidup di dalam keadaan tidak ada penjajah di Mekkah. Satu sama lain membicarakan tentang nasib tanah air mereka yang dijajah sementara saat berhaji mereka melihat negeri yang merdeka, bebas dari tangan-tangan pencuri.
Setelah penyamarannya terungkap, ia kemudian dideportasi dari Mekkah, Snouck langsung menyarankan pada pemerintah kolonial agar ibadah haji dibatasi. Ia juga mendorong pemerintah kolonial untuk memeriksa para jemaah yang baru pulang dari ibadah haji, khawatir mereka terjangkiti ideologi kebebasan dan berinisiatif melakukan pemberontakan. Â Haji dan pelaksanaannya diatur dalam Staatsblad 1903, Gelar haji kemudian diberlakukan pada 1916, jamaah yang telah melaksanakan ibadah haji kemudian menerima gelar di depan namanya.Â
Penerapan aturan gelar ini, sudah pasti atas saran Snouck Hurgronje, ia sendiri menyebut para haji sama seperti mesiu yang sewaktu-waktu berpotensi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Â
Â