haji merupakan cita-cita yang dimiliki kebanyakan muslim di Indonesia. Selain untuk melaksanakan perintah agama, alasan lainnya ketika seseorang menunaikan ibadah haji merupakan bukti Islam seseorang telah sempurna. Di samping alasan tersebut dan mengapa setiap orang yang berhaji mesti ke Mekah tentu saja ada kaitannya dengan nilai historis sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad dan awal mula Nabi mensyiarkan ajaran Islam. Tak heran mengapa umat Islam begitu mendambakan pergi berhaji, meski misalnya rata-rata waktu antrean haji adalah 25 tahun.
Melaksanakan ibadahBagi umat Islam di Indonesia, pergi haji bukanlah perkara yang mudah. Jarak yang sangat jauh antara Mekkah dan Indonesia menjadi persoalan tersendiri. Terutama, masalah biaya perjalanan, pergi haji memerlukan ongkos yang tidak sedikit, dari mulai biaya pesawat, travel, hotel tempat menginap, hingga keluarga yang ditinggalkan, semua anggaran harus dipersiapkan secara matang. Oleh karena itu banyak orang baru bisa melaksanakan haji di masa tuanya, setelah menyisihkan uangnya sedikit demi sedikit untuk ditabung agar bisa menjalankan ibadah haji.
Selain karena faktor agama dan teknis waktu menunggu giliran haji. Dalam sejarahnya, peristiwa haji di Indonesia memiliki berbagai bentuknya dari mulai bagaimana orang dulu pergi berhaji, proses Islamisasi, perlawanan terhadap kolonialisme, dan sebagai simbol berpengetahuan Islam yang luhur.
Pergi Haji di masa lalu
Sebelum ada pesawat terbang, perjalanan haji harus dilakukan dengan perahu layar yang sangat tergantung pada musim. Ibadah haji merupakan perjalanan panjang dan berbahaya. Perjalanan membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di Nusantara ke Aceh, pelabuhan terakhir di Nusantara (oleh karena itu dijuluki 'serambi Mekkah') tempat mereka menunggu kapal ke India sebelum akhirnya ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke Jiddah.
Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Pada saat itu perjalanan haji bisa menghabiskan waktu selama 6 bulan untuk satu kali jalan. Belum bahaya yang harus mereka hadapi; perahu yang mereka tumpangi karam, harta benda dirampok oleh bajak laut atau oleh awak perahu sendiri, penyakit dan mabuk laut yang melanda penumpang selama perjalanan. Jemaah yang sudah sampai di tanah Hijaz pun belum terjamin keselamatannya karena seringkali bertemu dengan orang lokal yang merampok rombongan yang hendak ke Mekkah.
Hal ini dikonfirmasi oleh Ibn Jubayr dengan memberi kesaksian mengenai perilaku mereka :
"Penduduk lokal (Jiddah) menempuh kehidupan dengan sangat buruk. Mereka memperlakukan jamaah haji dengan cara yang lebih jelek dibanding perlakukan mereka terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen yang hanya membayar upeti, mereka merampok dan mengumpulkan banyak bahan makanan yang dibawa jamaah haji dan mencari alasan menyimpangkan semua yang mereka miliki".
Belanda mencatat banyak orang yang pergi naik Haji tidak kembali lagi. Pada tahun 1853 hingga 1858, jamaah Haji yang kembali ke tanah air tidak mencapai setengah dari jumlah awal saat pergi naik haji. Oleh karena itu, naik haji di masa lalu bukanlah perkara yang ringan dalam arti transportasi serta bagaimana orang Nusantara diperlakukan buruk di sana.Â
Â
Haji Sebagai Proses Islamisasi