Seorang wanita mengaku mendapat wahyu dari Tuhan untuk mengusir Inggris dari Prancis. Perempuan itu bernama Jeanne d’arc, di masa itu, adalah hal yang tidak wajar bagi seorang perempuan turun ke medan perang apalagi sampai berhasil memenangi beberapa pertempuran dan sukses memukul mundur Inggris dari wilayah yang semula dikuasainya di Prancis. Namun, di pertempuran Burgundi, Chompiegne, Jeanne tertangkap dan ditawan oleh pasukan musuh. Wanita itu bernasib tragis, dia dihukum mati dengan tuduhan sebagai penyihir. Lakon tokoh tersebut memperlihatkan bahwa perjuangan fisik melawan pendudukan bangsa asing di tanahnya, tidak hanya dilakukan oleh seorang prajurit laki-laki tetapi wanita kerap terlibat dalam perjuangan semacam itu. Kisah serupa dapat kita jumpai semasa pendudukan Jepang di China.
Di tahun 1930, kosongnya kekuasaan dan perpecahan antara kekuatan komunis dan nasionalis mempermudah Jepang menduduki dan mengontrol wilayah Manchuria. Upaya diplomatis dilakukan untuk melawan invasi yang dilakukan Jepang , Chiang Khai Shek selaku pimpinan partai nasionalis Kuo Min Tang membawa persoalan ini ke Liga Bangsa-Bangsa di Geneva.
Di samping upaya diplomatis, perjuangan fisik dilakukan oleh pasukan China, seorang wanita turut andil dalam konfrontasi fisik menentang pendudukan Imperialis Jepang.
Seperti yang dilaporkan koran diatas, wanita tersebut bernama Yao Jai-Fan diberi julukan “Jeanne d’Arc dari China” yang tidak henti-hentinya berjuang melawan Jepang. Wanita muda ini berasal dari keluarga kaya Shanghai, alih-alih menjalani kehidupan yang nyaman di kota dia memilih berjuang sebagai kapten perlawanan orang China yang kehilangan harapan menghadapi tentara Jepang di Manchuria, padahal mereka baru saja memulihkan perdamaian di negara itu. Tak lama setelah pertempuran pecah tahun 1930, Yao mengajukan diri untuk bergabung dengan korps mahasiswa yang bertempur di bawah komando jendral Oang Tsjao Huan dan mampu bertahan dengan baik sampai akhir pertempuran. Dengan surat rekomendasi dari jenderal Tsjai Ting-Kai, komandan Angkatan darat ke-19 yang terkenal, dia melakukan perjalanan ke utara untuk menawarkan jasanya di Manchuria kepada Jenderal Mah-Tsjau-Schau. Namun, jenderal tersebut menolak untuk menerimanya.
Tetapi Yao tidak patah semangat, dia kemudian mencari informasi tentang pasukan sukarelawan dan bergabung di bawah jenderal King Tsji-Tsjan. Dia berperang dalam pertempuran liao-oing dan berhasil menang, ia memperoleh ketenaran karena keberhasilannya tersebut, rumor mengatakan dia menghajar lima tentara infanteri Jepang yang menyerangnya dengan bayonet. Karena keberaniannya, dia ditunjuk sebagai perwira. Kemudian, dia ditugaskan sebagai mata-mata yang mengumpulkan informasi penting dari garis musuh. Peran sebagai mata-mata terus dilakukannya, hingga dia tertangkap di Sheniang. Dia menjadi tawanan di markas Jepang untuk waktu yang lama, tetapi akhirnya dia berhasil membebaskan diri dari borgolnya, membuka pintu selnya, menikam para penjaga dengan bayonet mereka sendiri lalu kemudian melarikan diri hingga ke Beijing. Ketika orang jepang sampai di Jehol, dia bergegas ke Tsjahar dan berjuang di bawah jenderal Saing Tsje Yuan yang memperebutkan perbatasan Jehol. Kemudian dia pergi ke Manchuria sambil memegang bendera China disana. Koran tersebut tidak menceritakan bagaimana nasib akhir pejuang wanita tersebut, tetapi satu yang pasti yaitu Yao Jai-Fan tidak bernasib seperti Jeanne d’Arc yang dihukum mati dan dianggap penyihir, seandainya dia mampu selamat maka dia akan diberi gelar pahlawan.
Sumber :
J.A.S. Grenville - A History of The World
Ong Hok Ham - Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang
Koran Delpher tahun 1931 – Gemengd Nieuws Een Chineesche Jeanne d’arc De Jonkvrouw van Shanghai haar strijd tegen Japan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H