Sejak permulaan turnamen, langkah Brazil terlihat begitu meyakinkan. Mereka jadi juara grup dengan meraup 7 poin hasil dua kemenangan dan satu imbang. Di fase knock-out sebelum berjumpa Jerman, mereka berhasil menyingkirkan tetangga serumpun. Chile mereka kalahkan lewat babak adu penalti di 16 besar. Lalu di perempat final, James Rodriguez dengan Kolombianya mereka libas dengan skor 2-0.
Optimisme membumbung tinggi di dada seluruh penduduk Brazil. Mereka mulai berlaku sombong, khususnya di depan tetangga serumpun mereka yang ikut berlaga di Piala Dunia. Mereka menyatakan diri sebagai bangsa yang paling maju sepakbolanya. Timeline media sosial saat itu dibanjiri komentar merendahkan para fans Brazil yang ditujukan untuk pendukung Argentina, Chile, Kolombia, dan Uruguay. "Kami harap kalian makan testis kalian sendiri, Chileno!" begitu komentar salah satu supporter Brazil di dunia maya. Â Â Â
Tak berhenti di situ, para fans Brazil kerap mabuk setelah puas menonton kemenangan Brazil di setiap pertandingan. Ada yang menjarah dan merampok pusat perbelanjaan di sekitar stadion. Ada pula yang tak sungkan untuk menyerang supporter lawan hingga akhirnya polisi turun tangan untuk meredam situasi. Kabar kemenangan Brazil selalu merebak cepat bagaikan bunga hingga ke pelosok negeri. Status orang Brazil di media begitu meriah akan kehebatan tim Samba. Sekolah-sekolah juga diliburkan tiap kali Brazil akan bermain.
Media setempat juga menunjukkan rasa percaya diri mereka dengan begitu tinggi. Headline yang mereka ciptakan setelah Brazil menang di tiap pertandingan selalu menyiratkan aura arogansi. Tak jarang, media luar negeri juga kerap "geleng-geleng kepala" saat membaca headline media Brazil.Â
Contoh nyata adalah saat Brazil mengandaskan Kolombia. Satu yang diingat dalam pertandingan itu adalah tendangan bebas jarak jauh David Luiz yang menghujam deras ke sudut kanan atas gawang Ospina. Media Brazil meledek Kolombia dengan headline: "Luiz antar Kolombia ke luar angkasa". Semua orang Brazil begitu yakin jika gelar Piala Dunia keenam sudah berada dalam genggaman mereka.
Sengaja atau tidak, rasa kepedan ini nyatanya juga menular ke tim sepakbolanya. Mereka lantas menemui kendala saat dua pemain penting mereka, Neymar dan Thiago Silva, harus absen di semifinal kontra Jerman.Â
Dani Alves yang sebelumnya jadi starter tiba-tiba digantikan oleh Maicon. Tak ada yang tahu taktik apa yang dipilih Scolari di pertandingan itu. Mereka sama sekali tidak merasa waspada dengan kehancuran yang bisa dibawa Jerman.Â
Brazil tetap memainkan permainan ofensif yang tidak diimbangi dengan kestabilan di lini belakang. Marcelo selalu ketinggalan dalam transisi menyerang ke bertahan. Celah inilah yang dimaksimalkan betul oleh Jerman.
Pada akhirnya, mereka semua tersungkur malu setelah "dipermak" Die Mannschaft dengan skor yang amat telak. Semua pemain Brazil tergeletak di lapangan setelah wasit meniup peluit akhir pertandingan. Beberapa di antara mereka sampai tak kuasa menahan rasa sakit dan malu atas kekalahan itu. Namun pada akhirnya, mereka mempelajari sesuatu yang sangat berharga malam itu.
Nation's pride yang mereka punya selama pagelaran Piala Dunia akhirnya harus lenyap berkat kejadian malam itu di Belo Horizonte. Mereka semua akhirnya menyadari, bahwa rasa percaya diri yang terlalu tinggi malah menyebabkan kehancuran bagi diri mereka sendiri.Â
Saat mereka menggembar-gemborkan kekuatan, di situlah rasa waspada jadi berkurang. Akhirnya, kekuatan itu berubah menjadi kelengahan yang tak termaafkan. Pertandingan itu dijuluki dengan sebutan Mineirazo, yang berarti tamparan Mineirao.