Baru-baru ini saya menonton sebuah vlog seorang pundit football yang namanya cukup tersohor di kalangan fans bola Indonesia. Di situ dia mengatakan kalau dia sangat membenci taktik bertahan yang diterapkan oleh pelatih-pelatih kelas dunia. Nama-nama beken macam Jose Mourinho dan Diego Simeone tak luput dari kritikannya.Â
Dia menilai kalau skema bertahan yang diusung kedua pelatih itu sudah usang dan membuat sepak bola tak lagi menarik. Pemikiran serupa diutarakan para warganet yang membanjiri kolom komentar. Mereka tak ketinggalan mengolok-olok kedua pelatih tadi.
Namun saya memiliki perspektif yang berbeda dari pundit football itu dan para fansnya. Saya menilai kalau seorang pengamat bola memiliki persepsi semacam itu, berarti dia kurang lama atau kurang objektif dalam menonton pertandingan sepak bola. Saya menganggap si pundit ini terlalu sempit pemikirannya. Dia seakan lupa kalau sepak bola itu tak hanya soal menyerang, tapi juga tentang cara bertahan. Lalu benarkah bermain bertahan dalam permainan ini adalah sebuah "dosa"?
Pertama-tama, saya coba memahami dulu mengapa banyak orang terlalu mendewakan permainan ofensif dalam sepak bola. Ada pepatah memang yang mengatakan bahwa cara bertahan terbaik adalah dengan tetap menyerang. Pepatah ini juga bisa kita aplikasikan dalam sepak bola.Â
Menonton skema permainan menyerang yang diusung tim macam Barcelona, Manchester City, Bayern Munich, atau Ajax Amsterdam memang sangat mengasyikkan. Skema macam ini tentu sangat memikat para penggemar lantaran peluang mereka untuk mencetak gol juga lebih besar. Kita semua paham, satu hal yang paling ditunggu setiap fans bola adalah terciptanya sebuah gol. Tim-tim ini sudah pasti lebih difavoritkan karena terbukti bisa mencetak gol, mengungguli rival-rival satu liga mereka.
Tentu tak ada tim yang bisa menang tanpa mencetak gol. Gol membuatmu memenangkan pertandingan, dan memenangkan pertandingan membuatmu memenangkan kompetisi. Kita bisa simpulkan kalau mencetak gol sama dengan mendekatkan diri dengan gelar juara. Saya menganggap hal ini wajar terjadi di kalangan pecinta bola di Indonesia.Â
Ya maklum, sebagian besar fans bola di negara +62 itu rata-rata masih glory hunter. Mereka cuma mau mendukung tim yang menangan saja atau yang sering juara saja, tanpa mernah menghargai variasi permainan dalam dunia kulit bundar. Jadi, ya logis saja kalau mereka alergi dengan permainan bertahan. Ini semacam antitesis buat mereka.
Menonton dua tim yang saling jual-beli serangan memang sangat seru. Saya sendiri suka kok menonton pertandingan yang kayak begini. Melihat dua tim yang saling mengancam gawang masing-masing begitu memompa adrenalin. Tapi, tak semua pertandingan bola yang kita tonton itu selalu berjalan seperti ini.Â
Ada kalanya satu tim yang menyerang begitu kuatnya harus dihadapi dengan pertahanan tangguh. Tak jarang, tim yang tadinya bertahan malah bisa balik mengejutkan tim yang menyerang. Mereka mampu memetik kemenangan dengan bertahan dulu, lalu menyerang lewat serangan balik. Bola itu bundar, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Bukankah hal semacam ini juga menarik untuk ditonton?
Bertahan sejatinya merupakan bagian dari strategi sepak bola. Bertahan bukanlah sebuah kesalahan. Ada banyak tim yang mampu membuat dunia terkesan dengan gaya bertahannya. Lihat saja Yunani di Euro 2004 atau Italia yang terkenal dengan sistem pertahanan gemboknya. Di level klub, kita bisa ambil contoh Atletico Madrid yang berhasil jadi kampiun La Liga musim 2013/2014.Â
Yang paling terkenal tentu Jose Mourinho dengan gaya pragmatisnya. Inter Milan dan Chelsea berhasil dia antar untuk meraih titel liga tanpa harus muluk-muluk menyerang. Mereka tak punya catatan ball posession yang mentereng atau jumlah gol yang tinggi, tapi buktinya mereka bisa keluar jadi juara.