Mohon tunggu...
Jati Nugroho
Jati Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Penggemar bola layar kaca yang ingin belajar menulis

The harder I try, the luckier I get

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Bola Pun Tak Berkutik Melawan Rasisme

6 Juni 2020   13:11 Diperbarui: 6 Juni 2020   14:06 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia kembali bergejolak. Tak cukup dengan corona, kini dunia dihebohkan dengan isu rasisme yang terjadi di Minnesota, Amerika Serikat.  Kematian warga kulit hitam bernama George Floyd ternyata menimbulkan butterfly effect yang dahsyat ke seluruh penjuru bumi. Gelombang protes bermunculan di mana-mana. Para demonstran menuntut keadilan bagi George Floyd, yang meninggal setelah bagian lehernya digencet dengan lutut oleh seorang polisi.

Kalau berbicara soal rasisme, rasanya masalah ini tak akan pernah ada habisnya. Kita melihat rasisme setiap hari. Rasisme memang selalu menyasar pada wujud atau ciri fisik tertentu yang melekat pada manusia. Cukup dianggap “berbeda” dari masyarakat kebanyakan saja sudah bisa membuat seseorang jadi korban rasisme. Tak hanya dalam kehidupan sehari-hari saja, rasisme juga kerap muncul di ranah olahraga, tak terkecuali sepak bola.

Tak terhitung berapa banyak kasus rasisme yang bermunculan di jagat sepak bola. Beberapa kasus terakhir yang cukup menyita perhatian salah satunya datang dari partai kualifikasi Euro 2020 yang mempertemukan Montenegro kontra Inggris, pertengahan November 2019 lalu. Pertandingan yang dimenangkan Inggris dengan skor 5-1 itu menyisakan luka bagi sebagian insan sepak bola. Beberapa punggawa The Three Lions, yakni Raheem Sterling, Danny Rose, Callum Hudson-Odoi, dan Tyrone Mings tak luput jadi korban rasisme yang dilakukan pendukung tuan rumah Montenegro.

Setiap kali mereka mendapat bola, pendukung Montenegro langsung meneriaki mereka dengan suara monyet serta chants yang berbau provokatif. Namun, hal yang paling mengejutkan adalah pengakuan pelatih Montenegro yang menyatakan bahwa ia sama sekali tak mendengar nyanyian rasis yang datang dari tribun tuan rumah. “Saya tidak mempermasalahkan tindakan pendukung kami karena saya merasa yang mereka lakukan masih menjadi bagian dalam sepak bola”, ujarnya. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang penonton lihat. Perilaku rasis fans Montenegro sudah sangat jelas dalam pertandingan itu.

Beberapa kasus terkenal juga melibatkan pemain-pemain bintang seperti Mario Balotelli, Kevin-Prince Boateng, juga Patrice Evra. Balotelli bahkan sampai menangis di bench saat ia masih bermain di Italia. Saat dirinya bermain di Inggris sampai di Prancis pun ia masih tetap diserang pendukung lawan. Boateng malah terkena perilaku rasisme saat dirinya sedang membela AC Milan dalam laga pramusim lawan klub non-liga, Pro Partia. Saking kesalnya, dia sampai menendang keluar bola ke arah tribun penonton yang menyanyikan suara monyet. Evra juga pernah berseteru dengan Luis Suarez tahun 2011 akibat dibilang “negrito” oleh Suarez.

Contoh lain adalah Dani Alves yang dilempari pisang oleh pendukung Sevilla saat dirinya masih berseragam Barcelona. Namun, pemain asal Brasil ini menunjukkan reaksi yang berbeda. Ia malah memakan pisang itu dan tetap bermain seperti biasa. Duo striker Arsenal, Aubameyang dan Lacazette selalu “dihajar” habis-habisan oleh supporter Tottenham Hospurs dalam North London Derby. Paling parah dialami Raheem Sterling. Bintang Manchester City itu tak cuma jadi bulan-bulanan pendukung lawan, tapi juga media Inggris yang sering mencoreng namanya akibat tindakan vokal Sterling menentang rasisme sekalipun sejumah prestasi telah berhasil ia torehkan.

Ada berbagai macam faktor yang menyebabkan perilaku rasisme masih lestari di kancah sepak bola. Pertama adalah kurang tegasnya sanksi yang diberikan kepada para pelaku rasisme. FIFA sendiri bukannya tak tinggal diam menyikapi masalah ini. Mereka sudah berusaha menggaungkan slogan Say No to Racism di setiap pertandingan internasional. Namun apa daya, yang mereka lakukan hanya sekadar slogan tanpa ada tindakan tegas untuk para rasis. Mereka tetap tak kuasa membendung masifnya laju rasisme di pertandingan sepak bola.

Kembali lagi ke Montenegro vs Inggris. UEFA, sebagai federasi sepak bola di Eropa, hanya memberi hukuman sebesar 20 ribu euro kepada federasi sepak bola Montenegro ditambah larangan bermain tanpa penonton dalam satu pertandingan. Ini  jelas-jelas tak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan terhadap pemain-pemain Inggris. Sanksi yang diberikan masih belum mampu menciptakan efek jera, sehingga dapat dimaklumi jika rasisme masih bertebaran di seluruh penjuru Eropa.

Danny Rose pun tak ketinggalan menyampaikan rasa kecewanya terhadap keputusan UEFA. Dia bahkan sempat putus asa dan menyatakan ingin pensiun dari Timnas Senior Inggris setelah mendengar sanksi yang dijatuhkan. “Saya benar-benar tidak paham dengan keputusan itu. Mereka hanya mendenda sejumlah uang yang besarnya bahkan tak lebih besar dari kebutuhan hidup saya dalam satu hari di Inggris”, ungkapnya kepada Sky Sports. Terang saja jika Rose kecewa karena semua orang juga menganggap UEFA kurang galak dalam mengatasi masalah rasisme.

Faktor berikutnya adalah sikap ignorant yang ditunjukkan oleh orang-orang. Kebanyakan orang masih menganggap bahwa masalah ini bukanlah suatu hal yang serius. Mereka beranggapan kalau rasisme cuma sebatas “angin lalu” saja yang lantas lekang oleh waktu. Contoh paling relevan tentu pernyataan pelatih Montenegro yang mengaku kalau ia tidak mendengar nyanyian rasis yang dilontarkan pendukungnya.

Contoh lain adalah saat kapten Juventus, Leonardo Bonucci, menyatakan tanggapannya di media sosial terhadap kasus rasialis yang menimpa rekan setimnya, Moise Kean saat bertamu ke markas Cagliari. Ia malah berujar kalau masalah ini 50:50. Ia menjelaskan bahwa baik korban (Kean) dan pelaku menanggung kesalahan yang sama saat peristiwa rasisme terjadi. Walaupun pada akhirnya dia mengklarifikasi ulang pernyataannya, insan sepak bola tentu bertanya-tanya soal profesionalitas pemain yang identik dengan nomor punggung 19 ini dalam memerangi rasisme.

Tampaknya sikap ignorant ini hanya bisa dihilangkan dengan terus mengedukasi orang-orang tentang betapa seriusnya masalah ini. Anak-anak serta orang muda harus selalu “dibuka” mata hatinya agar di kemudian hari, kasus rasisme tak muncul lagi di dunia. Sebab, jika orang muda tidak diajarkan untuk sensitif tentang masalah ini, mereka akan menjadi penerus orang tua mereka untuk melanjutkan tindakan ini. Mesti ada “pemutusan generasi rasis” terlebih dahulu agar perang melawan masalah ini bisa diimplementasikan. Semua orang harus memupuk rasa cinta dan membuang sikap yang memicu perpecahan.

Pemikiran macam chauvinisme, xenosentrisme, dll juga harus mulai dibatasi pergerakannya. Sikap melebih-lebihkan kaum atau golongannya sendiri mestinya sudah harus mulai dibasmi. Namun lagi-lagi, kesadaran masing-masing individu tetap menjadi kunci keberhasilan. Protes yang dilakukan oleh orang-orang dalam membabat rasisme sudah menjadi pemulaan yang bagus, hanya saja tindakan ini akan lebih efektif jika ada kontinuitas. Orang-orang harus menyuarakan keadilan dan kesetaraan setiap saat, tidak cuma kalau ada kasus rasisme saja baru keluar.

Masih terkait dengan poin sebelumnya, faktor utama penyebab terjadinya rasisme kedengarannya merupakan suatu hal yang sangat mendasar. Hal tersebut adalah sifat dasar manusia yang tercipta dengan kemampuan menggolong-golongkan serta mengkotak-kotakkan dirinya. Rasisme hanya terjadi jika si “minoritas” ada di kubu lawan. Manusia membela hanya orang-orang yang ada di pihaknya saja dan selalu memiliki kecenderungan untuk membenci hal-hal yang ia anggap berbeda atau berlawanan.

Sifat semacam ini memang tak akan pernah hilang dalam diri manusia. Saya sendiri juga pesimis kalau rasisme bakal hilang dari dunia dalam waktu yang singkat. Namun, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan belajar mengontrolnya supaya tidak memicu polemik. Kita semua mesti menyadari bahwa perbedaan itu indah dan saling melengkapi.

Apa yang dilakukan para supporter yang rasis itu merupakan salah satu cara untuk menunjukkan kecintaan mereka terhadap olah raga ini. Hanya saja, apa yang mereka lakukan itu sudah kelewat batas. Di sini kita bisa tahu kalau manusia adalah makhluk yang harus selalu belajar, bahkan sampai akhir hayat sekalipun.

 

 

“I have no problem with monkeys because monkeys are smarter than racists.” 

- Mario Balotelli -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun