Contoh lain adalah saat kapten Juventus, Leonardo Bonucci, menyatakan tanggapannya di media sosial terhadap kasus rasialis yang menimpa rekan setimnya, Moise Kean saat bertamu ke markas Cagliari. Ia malah berujar kalau masalah ini 50:50. Ia menjelaskan bahwa baik korban (Kean) dan pelaku menanggung kesalahan yang sama saat peristiwa rasisme terjadi. Walaupun pada akhirnya dia mengklarifikasi ulang pernyataannya, insan sepak bola tentu bertanya-tanya soal profesionalitas pemain yang identik dengan nomor punggung 19 ini dalam memerangi rasisme.
Tampaknya sikap ignorant ini hanya bisa dihilangkan dengan terus mengedukasi orang-orang tentang betapa seriusnya masalah ini. Anak-anak serta orang muda harus selalu “dibuka” mata hatinya agar di kemudian hari, kasus rasisme tak muncul lagi di dunia. Sebab, jika orang muda tidak diajarkan untuk sensitif tentang masalah ini, mereka akan menjadi penerus orang tua mereka untuk melanjutkan tindakan ini. Mesti ada “pemutusan generasi rasis” terlebih dahulu agar perang melawan masalah ini bisa diimplementasikan. Semua orang harus memupuk rasa cinta dan membuang sikap yang memicu perpecahan.
Pemikiran macam chauvinisme, xenosentrisme, dll juga harus mulai dibatasi pergerakannya. Sikap melebih-lebihkan kaum atau golongannya sendiri mestinya sudah harus mulai dibasmi. Namun lagi-lagi, kesadaran masing-masing individu tetap menjadi kunci keberhasilan. Protes yang dilakukan oleh orang-orang dalam membabat rasisme sudah menjadi pemulaan yang bagus, hanya saja tindakan ini akan lebih efektif jika ada kontinuitas. Orang-orang harus menyuarakan keadilan dan kesetaraan setiap saat, tidak cuma kalau ada kasus rasisme saja baru keluar.
Masih terkait dengan poin sebelumnya, faktor utama penyebab terjadinya rasisme kedengarannya merupakan suatu hal yang sangat mendasar. Hal tersebut adalah sifat dasar manusia yang tercipta dengan kemampuan menggolong-golongkan serta mengkotak-kotakkan dirinya. Rasisme hanya terjadi jika si “minoritas” ada di kubu lawan. Manusia membela hanya orang-orang yang ada di pihaknya saja dan selalu memiliki kecenderungan untuk membenci hal-hal yang ia anggap berbeda atau berlawanan.
Sifat semacam ini memang tak akan pernah hilang dalam diri manusia. Saya sendiri juga pesimis kalau rasisme bakal hilang dari dunia dalam waktu yang singkat. Namun, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan belajar mengontrolnya supaya tidak memicu polemik. Kita semua mesti menyadari bahwa perbedaan itu indah dan saling melengkapi.
Apa yang dilakukan para supporter yang rasis itu merupakan salah satu cara untuk menunjukkan kecintaan mereka terhadap olah raga ini. Hanya saja, apa yang mereka lakukan itu sudah kelewat batas. Di sini kita bisa tahu kalau manusia adalah makhluk yang harus selalu belajar, bahkan sampai akhir hayat sekalipun.
“I have no problem with monkeys because monkeys are smarter than racists.”
- Mario Balotelli -
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI