Dunia kembali bergejolak. Tak cukup dengan corona, kini dunia dihebohkan dengan isu rasisme yang terjadi di Minnesota, Amerika Serikat. Kematian warga kulit hitam bernama George Floyd ternyata menimbulkan butterfly effect yang dahsyat ke seluruh penjuru bumi. Gelombang protes bermunculan di mana-mana. Para demonstran menuntut keadilan bagi George Floyd, yang meninggal setelah bagian lehernya digencet dengan lutut oleh seorang polisi.
Kalau berbicara soal rasisme, rasanya masalah ini tak akan pernah ada habisnya. Kita melihat rasisme setiap hari. Rasisme memang selalu menyasar pada wujud atau ciri fisik tertentu yang melekat pada manusia. Cukup dianggap “berbeda” dari masyarakat kebanyakan saja sudah bisa membuat seseorang jadi korban rasisme. Tak hanya dalam kehidupan sehari-hari saja, rasisme juga kerap muncul di ranah olahraga, tak terkecuali sepak bola.
Tak terhitung berapa banyak kasus rasisme yang bermunculan di jagat sepak bola. Beberapa kasus terakhir yang cukup menyita perhatian salah satunya datang dari partai kualifikasi Euro 2020 yang mempertemukan Montenegro kontra Inggris, pertengahan November 2019 lalu. Pertandingan yang dimenangkan Inggris dengan skor 5-1 itu menyisakan luka bagi sebagian insan sepak bola. Beberapa punggawa The Three Lions, yakni Raheem Sterling, Danny Rose, Callum Hudson-Odoi, dan Tyrone Mings tak luput jadi korban rasisme yang dilakukan pendukung tuan rumah Montenegro.
Setiap kali mereka mendapat bola, pendukung Montenegro langsung meneriaki mereka dengan suara monyet serta chants yang berbau provokatif. Namun, hal yang paling mengejutkan adalah pengakuan pelatih Montenegro yang menyatakan bahwa ia sama sekali tak mendengar nyanyian rasis yang datang dari tribun tuan rumah. “Saya tidak mempermasalahkan tindakan pendukung kami karena saya merasa yang mereka lakukan masih menjadi bagian dalam sepak bola”, ujarnya. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang penonton lihat. Perilaku rasis fans Montenegro sudah sangat jelas dalam pertandingan itu.
Beberapa kasus terkenal juga melibatkan pemain-pemain bintang seperti Mario Balotelli, Kevin-Prince Boateng, juga Patrice Evra. Balotelli bahkan sampai menangis di bench saat ia masih bermain di Italia. Saat dirinya bermain di Inggris sampai di Prancis pun ia masih tetap diserang pendukung lawan. Boateng malah terkena perilaku rasisme saat dirinya sedang membela AC Milan dalam laga pramusim lawan klub non-liga, Pro Partia. Saking kesalnya, dia sampai menendang keluar bola ke arah tribun penonton yang menyanyikan suara monyet. Evra juga pernah berseteru dengan Luis Suarez tahun 2011 akibat dibilang “negrito” oleh Suarez.
Contoh lain adalah Dani Alves yang dilempari pisang oleh pendukung Sevilla saat dirinya masih berseragam Barcelona. Namun, pemain asal Brasil ini menunjukkan reaksi yang berbeda. Ia malah memakan pisang itu dan tetap bermain seperti biasa. Duo striker Arsenal, Aubameyang dan Lacazette selalu “dihajar” habis-habisan oleh supporter Tottenham Hospurs dalam North London Derby. Paling parah dialami Raheem Sterling. Bintang Manchester City itu tak cuma jadi bulan-bulanan pendukung lawan, tapi juga media Inggris yang sering mencoreng namanya akibat tindakan vokal Sterling menentang rasisme sekalipun sejumah prestasi telah berhasil ia torehkan.
Ada berbagai macam faktor yang menyebabkan perilaku rasisme masih lestari di kancah sepak bola. Pertama adalah kurang tegasnya sanksi yang diberikan kepada para pelaku rasisme. FIFA sendiri bukannya tak tinggal diam menyikapi masalah ini. Mereka sudah berusaha menggaungkan slogan Say No to Racism di setiap pertandingan internasional. Namun apa daya, yang mereka lakukan hanya sekadar slogan tanpa ada tindakan tegas untuk para rasis. Mereka tetap tak kuasa membendung masifnya laju rasisme di pertandingan sepak bola.
Kembali lagi ke Montenegro vs Inggris. UEFA, sebagai federasi sepak bola di Eropa, hanya memberi hukuman sebesar 20 ribu euro kepada federasi sepak bola Montenegro ditambah larangan bermain tanpa penonton dalam satu pertandingan. Ini jelas-jelas tak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan terhadap pemain-pemain Inggris. Sanksi yang diberikan masih belum mampu menciptakan efek jera, sehingga dapat dimaklumi jika rasisme masih bertebaran di seluruh penjuru Eropa.
Danny Rose pun tak ketinggalan menyampaikan rasa kecewanya terhadap keputusan UEFA. Dia bahkan sempat putus asa dan menyatakan ingin pensiun dari Timnas Senior Inggris setelah mendengar sanksi yang dijatuhkan. “Saya benar-benar tidak paham dengan keputusan itu. Mereka hanya mendenda sejumlah uang yang besarnya bahkan tak lebih besar dari kebutuhan hidup saya dalam satu hari di Inggris”, ungkapnya kepada Sky Sports. Terang saja jika Rose kecewa karena semua orang juga menganggap UEFA kurang galak dalam mengatasi masalah rasisme.
Faktor berikutnya adalah sikap ignorant yang ditunjukkan oleh orang-orang. Kebanyakan orang masih menganggap bahwa masalah ini bukanlah suatu hal yang serius. Mereka beranggapan kalau rasisme cuma sebatas “angin lalu” saja yang lantas lekang oleh waktu. Contoh paling relevan tentu pernyataan pelatih Montenegro yang mengaku kalau ia tidak mendengar nyanyian rasis yang dilontarkan pendukungnya.