Sebagai penggemar bola, kita semua pasti familiar dengan istilah "fans kardus". Itu lho, fans bola picisan yang tahunya cuma menang dan kalah. Bisa dikatakan kalau fans kardus itu adalah orang-orang irasional, yang nge-judge pertandingan bola dari skornya saja.Â
Kalau Burnley bisa ngalahin Real Madrid 2-0 (in parallel universe misalnya), maka Burnley dianggap lebih bagus daripada Madrid. Kira-kira seperti itulah gambaran umum seorang fans kardus.
Saya sendiri sudah sejak lama selalu mengikuti perkembangan bola dari tahun ke tahun. Saya banyak mengamati segala hal yang terjadi di sepak bola, mulai dari dalam dan luar lapangan.Â
Teknologi juga berperan dalam membantu mengobservasi trend yang sedang marak, salah satu yang mau saya angkat adalah banyaknya populasi fans kardus di Indonesia.
Dari berbagai akun media sosial yang saya punya seperti Instagram, Line, Twitter, dan Youtube, mayoritas isi timeline-nya adalah tentang bola. Di sana, saya banyak menemukan fans kardus yang suka ngebacot semaunya sendiri. Karena saya suka nonton Liga Inggris, otomatis warganet yang berkumpul di media sosial saya juga sesama penggemar klub EPL (English Premier League).
Atensi saya tertuju pada fans Manchester United di Indonesia. Mereka sering menyombongkan diri sebagai penguasa Liga Inggris. Sekalipun mereka kini sering dipermalukan klub semenjana macam Watford, Crystal Palace, atau West Ham, mereka selalu bisa berkelit dari bully-an fans lain. Jargon paling populer yang saya temukan adalah: "Udah 20 EPL belum, jing?". Tuh, nyebelin bukan?
Saya mau disclaimer lagi, bahwa tujuan saya menulis bukanlah untuk mengajak orang menjadi haters MU. Saya bukan penggemar MU ataupun pembenci MU. Yang pengin saya sindir di sini adalah penggemarnya. Syukur-syukur setelah membaca ulasan saya ini, banyak fans kardus MU yang tobat dan beralih menjadi fans bola yang cerdas (tapi ya nggak perlu hijrah jadi fans klub lain juga, haha).
Banyak kasus untuk menunjukkan kalau fans MU di Indonesia emang kardus total. Contohnya saat mereka membantai Chelsea 4-0 di partai perdana EPL Agustus 2019 lalu atau saat mereka berhasil mengalahkan rival sekota, Manchester City, kandang dan tandang musim ini (2-0 dan 1-2), atau saat mereka berhasil menahan imbang Liverpool 1-1 di kandang, yang sekaligus memutus winning streak Liverpool.Â
Mereka pun bersorak sorai di kolom komentar, layaknya habis menang piala dunia. Tak lupa, mereka juga menghina fans lawan atas keberhasilan klub mereka.Â
Mereka menyanjung klub kesayangannya setinggi langit tanpa pernah berkaca kalau kini MU hanya bertengger di peringkat 5 liga di bawah klub-klub yang mereka ejek tadi.
Semua yang mereka lakukan membuat saya jijik. Mereka seakan lupa kalau di musim ini MU sering kesulitan menghadapi tim kecil (nggak cuman musim ini aja sih, musim sebelumnya juga), yang mestinya bisa mereka kalahkan dengan mudah.Â
MU kalah lawan Newcastle, Bournemouth, Watford, Crystal Palace, dan West Ham di liga. Bahkan lawan Astana, klub asal Kazakhstan di Europa League saja mereka juga kalah 2-1. Fans MU seakan nggak mau tahu kalau timnya itu sebetulnya lebih buruk dari yang mereka bayangkan.
Tapi namanya juga fans MU, pasti akan cari alasan kalau timnya kalah. Mereka tetap menolak dianggap inferior, padahal jelas-jelas performa mereka musim ini tak bisa dibilang memuaskan.Â
Kalau Norwich bisa ngalahin Manchester City 3-2, mereka bilang Norwich tim yang lebih jago. Tapi kalau Astana bisa ngalahin MU, mereka nggak mau mengakui kalau Astana lebih jago daripada MU.Â
Mereka malah menyalahkan lapangan, wasit, kurangnya waktu istirahat, dan segambreng alasan lainnya. Hmm, enaknya diapain yah fans bola macam begini?
Karena penyakit ini sudah terlampau parah, saya menyarankan para fans kardus MU untuk sering-sering mengamati statistik untuk membuktikan kalau delusi mereka ini parah stadium 4.Â
Lihat saja Opta Joe, Whoscored, Footystats, atau paling gampang buka situsnya EPL lah. Sampai pekan ke-29 musim ini, MU hanya 8 kali nirbobol, Â itu peringkat 9 di antara seluruh klub EPL. Catatan ini bahkan lebih jelek dibandingkan Burnley, Leicester City, Sheffield United, Crystal Palace, Newcastle dan Watford.Â
Dari segi ofensif, catatan mereka juga tidak mengesankan. MU cuma mencatatkan 12 kemenangan dengan mencetak 44 gol, masih dibawah rival mereka seperti City, Liverpool, Chelsea, Spurs, dan Leicester.
Intinya, kalau sudah lihat statistik, kita lebih bisa nge-judge tim kesayangan dengan lebih objektif dan menyeluruh. Juga, sesudah berkaca dari statistik, saya rasa fans MU bakalan nyadar kalau MU bukanlah tim yang dominan seperti dulu.Â
Mereka sekarang lebih inferior di hadapan rival-rival mereka beberapa musim belakangan. Mereka bukan lagi yang terbaik, tidak seperti apa yang digembar-gemborkan fansnya di media sosial.Â
Dengan melihat statistik, mata hati fans kardus MU akan terbuka. Sifat sombong nan menyebalkan mereka pun niscaya bisa hilang melalui cara ini.
Balik lagi ke kasus MU 4-0 Chelsea, apakah kita bisa menyimpulkan kalau MU lebih bagus daripada Chelsea? Nggak juga. Faktanya, sekarang Chelsea duduk di peringkat 4 liga, 1 tingkat diatas MU.Â
Lagi, dominasi MU terhadap City musim ini, apakah MU serta merta lebih top daripada City? Nggak juga, wong mereka kini ada di bawah City. Selisih poinnya pun jauh. Inilah hal penting berikutnya yang mau saya sampaikan kepada fans MU yang kardus nan budiman, bahwa satu pertandingan bukan menjadi cerminan performa keseluruhan. One match does not define who you are.
Memang, saat lawan City dan Chelsea mereka menang, tapi apakah itu membuat mereka dua tingkat di atas City dan Chelsea? MU bisa menang di pertandingan tersebut karena mereka memakai strategi reactive football.Â
Mereka menunggu lawan berbuat kesalahan dan menyerang lewat serangan balik. Mereka bisa menang karena strategi di pertandingan itu berjalan dengan baik. Sama halnya ketika Newcastle dkk saat berhasil mengalahkan MU. Klub-klub itu memakai taktik yang jitu untuk meredam dominasi MU. United pun tersungkur malu dan fansnya kepanasan.
Nah, hal yang sama harusnya diaplikasikan oleh fans kardus MU. MU menang di satu pertandingan besar bukan berarti mereka hebat, tapi lebih karena ketepatan pilihan taktik pelatih di pertandingan tersebut.Â
Different match needs different tactics. Klub gurem bisa menekuk MU karena menjalankan approach yang sama agar kemampuan pemain MU tidak terfasilitasi. Ini adalah hal yang umum di sepak bola dan ini bisa terjadi di liga manapun dan di level manapun. Ada aksi, ada juga reaksi, begitulah sepak bola.
Satu pertandingan bukan cerminan kolektif. Ada pertandingan di mana sebuah tim berhasil menang karena strateginya berjalan lancar, dan tak jarang pula strategi tidak bisa berjalan.Â
Tim tangguh macam City, Liverpool, Barcelona, dan Bayern Munchen pun juga sesekali kalah karena strategi tidak berjalan. Tapi di satu pertandingan yang gagal ini tidak membuat mereka langsung dicap sebagai tim payah. Buktinya mereka duduk di peringkat teratas liga masing-masing.
Semoga semua paparan saya mampu mengetuk nurani seluruh fans kardus MU di Indonesia. Tidak masalah klub mana yang kta dukung, yang terpenting adalah jangan bersikap kardus. Kita mesti bersikap objektif, bukan subjektif. Kita boleh fanatik atau membela mati-matian klub kesayangan kita, tetapi akuilah jika memang klub kesayangan kita belum tentu sehebat omongan kita. Tanamkanlah respek, maka orang lain akan merespekmu juga.
Dari sini bisa kita simpulkan kalau menjadi penggemar bola bukanlah profesi yang gampang. Banyak sekali penggemar bola yang tidak bisa bersikap profesional, macam fans MU yang kardus itu. Oh iya, saya berandai-andai jika Liverpool masih tetap dominan di liga dalam 3 tahun ke depan.Â
Apakah jargon legendaris "Udah 20 EPL belum, jing" milik fans MU bakal terganti dengan "Udah 21 EPL belum, jing" milik fans Liverpool? Kita tunggu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H