Lagi, dominasi MU terhadap City musim ini, apakah MU serta merta lebih top daripada City? Nggak juga, wong mereka kini ada di bawah City. Selisih poinnya pun jauh. Inilah hal penting berikutnya yang mau saya sampaikan kepada fans MU yang kardus nan budiman, bahwa satu pertandingan bukan menjadi cerminan performa keseluruhan. One match does not define who you are.
Memang, saat lawan City dan Chelsea mereka menang, tapi apakah itu membuat mereka dua tingkat di atas City dan Chelsea? MU bisa menang di pertandingan tersebut karena mereka memakai strategi reactive football.Â
Mereka menunggu lawan berbuat kesalahan dan menyerang lewat serangan balik. Mereka bisa menang karena strategi di pertandingan itu berjalan dengan baik. Sama halnya ketika Newcastle dkk saat berhasil mengalahkan MU. Klub-klub itu memakai taktik yang jitu untuk meredam dominasi MU. United pun tersungkur malu dan fansnya kepanasan.
Nah, hal yang sama harusnya diaplikasikan oleh fans kardus MU. MU menang di satu pertandingan besar bukan berarti mereka hebat, tapi lebih karena ketepatan pilihan taktik pelatih di pertandingan tersebut.Â
Different match needs different tactics. Klub gurem bisa menekuk MU karena menjalankan approach yang sama agar kemampuan pemain MU tidak terfasilitasi. Ini adalah hal yang umum di sepak bola dan ini bisa terjadi di liga manapun dan di level manapun. Ada aksi, ada juga reaksi, begitulah sepak bola.
Satu pertandingan bukan cerminan kolektif. Ada pertandingan di mana sebuah tim berhasil menang karena strateginya berjalan lancar, dan tak jarang pula strategi tidak bisa berjalan.Â
Tim tangguh macam City, Liverpool, Barcelona, dan Bayern Munchen pun juga sesekali kalah karena strategi tidak berjalan. Tapi di satu pertandingan yang gagal ini tidak membuat mereka langsung dicap sebagai tim payah. Buktinya mereka duduk di peringkat teratas liga masing-masing.
Semoga semua paparan saya mampu mengetuk nurani seluruh fans kardus MU di Indonesia. Tidak masalah klub mana yang kta dukung, yang terpenting adalah jangan bersikap kardus. Kita mesti bersikap objektif, bukan subjektif. Kita boleh fanatik atau membela mati-matian klub kesayangan kita, tetapi akuilah jika memang klub kesayangan kita belum tentu sehebat omongan kita. Tanamkanlah respek, maka orang lain akan merespekmu juga.
Dari sini bisa kita simpulkan kalau menjadi penggemar bola bukanlah profesi yang gampang. Banyak sekali penggemar bola yang tidak bisa bersikap profesional, macam fans MU yang kardus itu. Oh iya, saya berandai-andai jika Liverpool masih tetap dominan di liga dalam 3 tahun ke depan.Â
Apakah jargon legendaris "Udah 20 EPL belum, jing" milik fans MU bakal terganti dengan "Udah 21 EPL belum, jing" milik fans Liverpool? Kita tunggu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H