Mohon tunggu...
Jati Mahatmaji Mahatmai
Jati Mahatmaji Mahatmai Mohon Tunggu... -

Lelaki Djakarta Raja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seuminah

31 Mei 2010   15:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:50 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebenarnya sudah lama ingin aku ceritakan hal ini, cerita tentang seorang anak perempuan. Dan menurutku perempuan yang kuat, walau ia tidak sehebat Samson.
Aku temukan cerita ini beberapa waktu yang sudah lalu dan lama. Setiap aku buka cerita ini, maka setiap kali itu juga aku merasakan tamparan pada setiap pipi ini!
Dan sekarang mungkin saatnya aku bagikan cerita ini pada kalian. Cerita ini bukan pesan dariku, juga bukan sebuah nasihat guru yang mengajari muridnya, ini hanya sebuah atau bisa aku katakan, hanya sekelumit cerita yang mungkin akan sangat pantas aku ceritakan. Tentang pentingnya sebuah harga diri seorang manusia! Dan mahalnya sebuah kemerdekaan!

Dan sebelumnya, biar aku terangkan ihwal cerita ini. Waktu itu sekitar bulan Maret, pertengahan bulan di tahun 2004. Penjaja buku dan majalah usang di Kwitang adalah aktor yang penting waktu itu,. Ia jajakan berbagai macam buku yang menjajikan sebuah karir bagi pembelinya, dan ia tahu kalau aku sebenarnya bosan dengan buku-buku seperti itu, -setidaknya untuk saat itu-. Karena itulah, mataku tertuju pada sebuah buku tipis bersampul bening sebelah diklat DIKNAS. Aku ambil, aku lihat kondisinya…dan akhirnya aku putuskan untuk beli…

Lalu aku tumpangi satu bus kota reot, dengan jendela yang rasanya mau lepas, jendelanya seperti berdansa, dan kondekturnya, seperti tidak tahu kalau ada penyakit ‘serak’, ia berteriak sekuat mungkin, memanggil nafkah yang datang dari penumpang. Aku bayarkan sejumlah uang, ku cari tempat kosong, dan aku duduk dengan tenangnya, kurebahkan tas punggung ini, kulepaskan pandang ke luar bus, mall dan segalanya ku lihati, aku seka keringat, dan aku buka sampul catatan yang tidak tebal ini, aku perhatikan, dan aku baca isinya, dan catatan itu berkata seperti ini…-setelah ku perhalus di beberapa bagiannya-

Perkenalkan diri ini, Namaku Seumainah! Ambarawa di Hindia sana adalah asalku. Bagaimana aku bisa sampai di Nederland, adalah sebuah kisah yang panjang, dan aku sendiri pun tidak menyangka, kalau ternyata kisah perjalananku sebegitu panjangnya.

Dulu, waktu usiaku sekitar 8 tahun, seorang Nederland membawaku pergi dari Ambarawa, dan menetap di Batavia. Maka itulah, dari mereka itulah aku tahu bagaimana caranya membaca latin dah angka, bukan lagi arab saatku mengaji. Latin! Perpisahan dengan emak adalah yang tersulit dalam hidupku…cengkokan suaranya kalau mengantar ku tidur akan selalu ku ingat…sambal yang kami buat berdua…juga jagung yang kami makan setiap hari…dan nasi yang kami syukuri setiap kami dapat….tetapi apa mau di kata, bapak butuh uang, juga emak yang sakit…walau tidak pernah ia katakana padaku…tetapi aku tahu kalau ia sakit…mak..sembulah kau, biarlah aku di beli noni ini, dan semoga kau sembuh mak….
Berpisahlah aku dengan keluargaku…saat umurku baru tujuh tahun…demi emak juga bapakku....

Catharina van Nock, adalah wanita paling mulia bagiku, ia ajarkan bagaiamana caranya menjadi seorang perempuan yang berdiri di atas kaki sendiri. Ajaran itu tidaklah heran, karena Herman van Nock suaminya adalah hidung belang!. Catharina mengajari aku, bagaimana semua manusia sama, dan hanya mata hati setiap manuisa saja yang membedakannya. Aku sendiri baru tahu, kalau selama lima tahun lamanya aku tinggal bersama Catharina dan Herman, aku adalah seorang budak! Yang di jual bapakku sendiri!
Orang tua yang menyedihkan, hingga akhirnya, saat Mevrouw Catharina mulai jarang bertemu Meneer Herman, ia mengatakan padaku:

“Mulai sekarang koe bebas Seuminah…jadilah burung yang bisa terbang…jadilah merdeka seperti manusia di Eropa kebanyakan….kan sudah Eik ajari koe?....ya…tapi ingat jangan kembali ke Ambarawa, atau kau akan menjadi seperti dulu lagi…pergilah…pergilah…kej
ar hidupmu! Dan jaga tubuhmu…seperti emakmu pernah sarankan dulu, JANGAN PERNAH KAU MAU DIREMEHKAN”
Dan sejak saat itulah aku menjadi manusia bebas yang harus berpegang pada janjiku pada emakku tersayang.

Tidak beberapa lama setalah aku berhenti bekerja pada seorang tokei di Mesteer Cornelis, kemudian seorang Prancis tawari aku untuk bekerja sebagai Babu di Maatschappij Nederland. Sebuah perusahaan kapal laut milik kerajaan Nederland.

Siapa yang tidak mau? Bekerja sebagai babu, dan aku berkesempatan pergi ke Eropa! Akhir cerita, aku bekerja di Maatschappij Nederland sebagai babu. Mengurus anak Mevrouw Eva Foutrs. Dua jumlahnya, dan kesemuanya adala laki-laki yang termata nakal!. Ingin rasanya aku menjewer mereka seperti bapak dan ibu lakukan saat aku nakal, namun bagaimana aku bisa? Aku bukan kalangan mereka, dan aku hanya setara dengan anjing! Setidaknya itu yang aku tahu, saat aku berada di Gedung Bola Batavia, kalau ternyata kata Mevrouw Catharina, ‘Anjing dan Pribumi di larang masuk!’ Busuk! Dan Mevrouw Catharina tahu itu!

Pekerjaan sebagai babu, benar-benar membuatku muak, aku bukan lagi manusia, tetapi beginilah hidup sebagai orang bawah! Pernah sekali Tuan memanggil ku, dan ia mengatakan ingin aku layani….
Persetan dengan kafir itu! Aku memang idola, namun bukan berarti aku berikan tubuhku secara Cuma-Cuma! Aku hanya bisa menghibur lewat bernyanyi…seperti wanita di Jepang yang Catharina sebut Geisha! Dan aku lakukan semuanya hanya untuk roti! Untuk makan! Bukan untuk kepuasaan! Dan aku tampar juga ludahi Tuanku itu…hingga akhirnya aku pun di pecat! Diberhentikan sebagai babu.
BUKAN MASALAH!

Bayang-bayang menjadi pengemis kemudian melayang juga mondar-mandir di kepalaku! Menghantuiku dan membuatku tidak bisa tidur…hanya sembahyang yang dapat aku lakukan…mohon doa dan petunjuk Gusti ALLAH. Tidak ada lagi gaji, dan aku hanya bertahan dengan bagelen dari pemberian para awak kapal yang sayang padaku, pada nasibku. Itu pun BUKAN MASALAH, karena aku bisa hidup dengan begini.
Yang aku takutkan…kalau-kalau aku menjadi seperti Dja-ogot…anak kecil dari Sumatra yang mati karena sakit di tahun 1862 di Nederland sana…aku tidak ingin mati sia-sia…aku ingin mati dengan berarti…akh…aku terlalu berpikir jauh! Aku harus kuat di Eropa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun