Nama Rake Warak dua kali disebutkan dalam dua buah prasasti yang berbeda yang berasal dari masa pemerintahan Raja Balitung (898-910 M). Â Yang pertama adalah prasasti Mantyasih (907 M) yang menyebut Sri Maharaja Rakai Warak sebagai salah satu dari delapan raja yang terdahulu yang diminta kehadirannya sebagai saksi atas pemberian hak status daerah bebas pajak (sima) desa Mantyasih. Yang kedua, nama Rake Warak disebut dalam prasasti Wanua tengah III (908 M) yang memuat daftar nama para raja dari jaman Rake Panangkaran hingga Rake Watukura Dyah Balitung terkait dengan kebijakannya dalam pemberian dan pencabutan status sima sebidang sawah di desa Wanua Tengah untuk biara di Pikatan yang didirikan oleh Rahyangta i Hara adik dari Rahyangta ri Medang.
Dari prasasti Wanua tengah III dapat diketahui bahwa Rake Warak Dyah Manara naik tahta pada 3 maret 803 M, menggantikan Rake Panaraban yang telah memerintah sebelumnya sejak tahun 784 M. Tidak seperti Rake Panaraban yang menjunjung tinggi keputusan raja sebelumnya yaitu Rake Panangkaran yang memberikan status sima bagi sawah di Wanua Tengah untuk bihara Pikatan, Rake Warak mencabut keputusan yang menetapkan status sima tersebut. Ketika Rake Warak meninggal dan dikebumikan di Kelasa (Sang lumah i Kelasa), tahta kerajaan diserahkan kepada Dyah Gula sebagai penggantinya pada akhir Juli 827, dan keputusan pencabutan status sima sawah Wanua Tengah tetap dipertahankan. Baru setelah Rake Garung berkuasa, status sima tersebut dipulihkan kembali ke bihara Pikatan pada November 829.
Dalam prasasti yang dikeluarkan atas perintah Raja Garung yang dikutip dalam prasasti Wanua Tengah III, dalam bahasa Sanskerta disebutkan bahwa Raja Garung menyebut Rake Warak "narendrena manrkhye nargin" yang dapat diartikan "oleh raja yang benama Manara seorang yang pemarah" yang maksudnya adalah status sima sawah Wanua Tengah dicabut oleh Raja Manara yang dalam kondisi sedang marah.
Selain dari sumber prasasti, informasi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi selama pemerintahan Rake Warak dapat ditelusuri dari naskah Sunda Kuno Carita Parahyangan, sebuah naskah kuno yang berasal dari abad ke -16 Masehi yang menceritakan bahwa Sang Manarah (Rake Warak Dyah Manara), tanpa mengacu pada gelar kebangsawanannya atau kerakeannya, telah memenjarakan ayahnya Rakeyan Panaraban (Rahyang Tamperan) dan berperang melawan Rahyang Banga saudara lelakinya yang memihak sang ayah yang dipenjarakannya.
Carita Parahyangan yang dibangun berdasarkan atas fakta-fakta yang secara umum sesuai dengan bukti-bukti sejarah dan epigrafi yang ada membuatnya layak dipercaya sebagai sebuah sumber sejarah. Sosok-sosok historis yang namanya disebutkan dalam Carita Parahyangan itu terbukti ada seperti Sena (Sanna), Sanjaya, Panaraban dan tentu saja Warak dalam nama Sang Manarah, aktivitas raja Sena dan perpindahan dari Sunda ke seputar Gunung Merapi di Jawa tengah, termasuk juga kampanye agresi Sanjaya terhadap kerajaan-kerajaan tetangga yang ada di Jawa dan Bali, Keling, Malayu. Kamboja dan Cina, perubahan agama oleh Panaraban atas desakan Sanjaya dan juga adanya kemungkinan terjadinya permusuhan terhadap agama sebelumnya oleh Panaraban.
Pembuktian atas-hal-hal yang secara umum terhadap Carita Parahyangan telah mendorong untuk meninjau kembali cerita dalam naskah Sunda Kuno tersebut terkait dengan adanya peristiwa kudeta yang dilakukan oleh Rake Warak (Sang Manarah) terhadap ayahnya Rahyang Tamperan (Rake Panaraban) yang membuat kemaharajaan kepulauan Sailendra yang disatukan oleh Sanjaya dan Rake Panangkaran terpecah dan berantakan. Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kudeta dan perpecahan memang telah terjadi pada masa itu.
Bukti pertama yang menunjukkan berakhirnya pemerintahan kemaharajaan kepulauan Sailendra yang bersatu adalah munculnya Balaputradewa sebagai raja di Swarnadwipa. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah kekuasaan kemaharajaan Sailendra telah terpecah-belah meskipun Balaputradewa tetap mengakui bahwa kakeknya adalah Raja Jawa dan dia tidak mengklaim hak milik atas wilayah ini dan itu.Â
Balaputradewa tampaknya memiliki garis keturunan yang sama dengan Rake Warak yaitu sebagai putra raja yang pernikahannya telah menyatukan keluarga Sailendra dan Soma, dan juga sebagai cucu dari Raja Jawa yang digelari dengan sebutan "Pembunuh Musuh Yang Sombong Tak Bersisa" yang sangat ditakuti dan dihormati. Balaputradewa dengan status yang luar biasa yang dimilikinya dihadapan penguasa dinasti Pala itu sudah pasti memiliki asset ekonomi, politik dan militer kokoh kuat. Tokoh ini tak lain adalah Sang Banga yang menentang kudeta Rake Warak (Sang Manarah) terhadap Rake Panaraban ayahnya.
Sebagai catatan, raja-raja yang berkuasa di Sumatera (Sriwijaya) yang berasal dari dinasti Sailendra itu bukan dari bangsawan lokal Sumatera lama yang memanfaatkan kekacauan politik di Jawa ketika pemerintahan Sailendra bergejolak dan kemudian memanfaatkan momentum tersebut untuk melepaskan diri menjadi penguasa baru yang merdeka lepas dari Jawa.
Petunjuk yang kedua yang memperkuat dugaan bahwa kemaharajaan Sailendra itu terpecah belah pada masa pemerintahan Rake warak adalah adanya perubahan sebutan nama kerajaan dalam misi diplomatik ke Cina. Pengiriman utusan diplomatik ke Cina pada tahun 813, 815, 818 dan 820 M, dengan keterangan bahwa nama resmi kerajaan yang semula Heling (Holing) telah berubah dan dikembalikan menjadi Cho-po atau She-po (Jawa). Perubahan nama resmi kerajaan ini menunjukkan bahwa Rake Warak telah mencoba menyusun kembali wilayah kerajaan peninggalan Sanjaya dan Rake Panangkaran ini serta memutuskan untuk memberikan sebutan bagi nama kerajaannya sesuai dengan wilayah yang nyata-nyata dikuasainya.
Yang ketiga adalah tidak adanya catatan sejarah baik yang bersumber pada prasasti yang ada di Asia Tenggara maupun catatan diplomatik Cina tentang berhentinya agresi militer maritim Sailendra yang secara tiba-tiba menghilang menunjukkan bahwa sifat agresif penguasa Sailendra di Jawa tampaknya telah sirna pula.Â