Mohon tunggu...
Jati Kumoro
Jati Kumoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - nulis di podjok pawon

suka nulis sejarah, kebudayaan, cerpen dan humor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Prasasti Ligor, Jejak Historis Raja Jawa di Semenanjung Melayu pada Abad Kedelapan Masehi

30 Desember 2020   16:34 Diperbarui: 26 April 2021   15:56 9154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prasasti Ligor, sumber diolah dari: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/

Prasasti Ligor (Vat Semammuang) adalah sebuah batu bertulis yang ditemukan di Chaiya, atau Ligor (sekarang Nakhon Si Thammarat) yang berada di Semenanjung Melayu-Thailand bagian selatan. Batu bertulis ini terbuat dari batu pasir yang diukir di kedua sisinya. Pada sisi A yang dikenal dengan nama manuskrip Viang Sa terdapat tulisan sebanyak 29 baris, sedangkan di sisi yang lainnya yang dikenal dengan nama prasasti Ligor B terdapat 4 baris tulisan.

Isi pokok tulisan prasasti Ligor pada sisi A adalah tentang raja atau penguasa (negeri) Sriwijaya yang terdapat pada kata: Sriwijayendraraja (baris 14) , Sriwijayeswarabhupati (baris 16), dan kata Sriwijayanrpati (baris 28), yang pada tahun 775 M  membangun  bangunan suci Trisamaya Caitya untuk Padmapani, Sakyamuni, dan Wajrapani di Ligor.

Baca Juga: Keanekaragaman Warisan Dunia Wujud Prasasti Kehidupan

Pada sisi B, prasasti ini menyebutkan tentang Sri Maharaja yang berasal dari Wangsa Sailendra, raja yang dijuluki sarwwarimadawimathana  (pembunuh musuh-musuh perwira) Tidak ada nama penguasa yang disebutkan dalam prasasti Ligor ini selain istilah visnvakhyo yang artinya bisa "Wisnu menurut nama" atau juga bisa sebagai "memiliki penampilan seperti Wisnu".

Siapakah Sri Maharaja dari wangsa Sailendra yang disebut dengan nama Wisnu atau memiliki penampilan seperti Wisnu?

Dalam pandangan penulis, tokoh yang disebut sebagai Sri Maharaja ini adalah Rake Panangkaran. Rake Panangkaran yang sesuai dengan prasasti Wanua Tengah III berkuasa di Medang Mataram Kuno sejak tahun 746 M hingga 784 M.

Prasasti Kelurak, sumber: Wikipedia
Prasasti Kelurak, sumber: Wikipedia
Dalam prasasti Kelurak 782 M yang ditulis atas perintah Rake Panangkaran disebutkan bahwa  raja ini disebut sebagai permata dari wangsa Sailendra atau Sailendravansatilakena yang memiliki gelar Sang Sanggramadhananjaya dan mendapat julukan Wairiwarawiramardana. Gelar julukan di prasasti Kelurak ini memiliki makna yang sama dengan gelar Sesarwwarimadawimathana yang terdapat di prasasti Ligor   yaitu sebagai "pembunuh musuh-musuh perwira".

Prasasti Kelurak berisi tentang pendirian bangunan suci untuk Manjusri. Manjusri adalah perwujudan dari Buddha, Dharma, Sangha (komunitas Buddha), Brahma, Wisnu dan Siwa (dengan nama Maheswara) pada waktu yang bersamaan. Bangunan suci ini diresmikan oleh guru raja yang berasal dari Gaudidvipa yang bernama Kumaragosha. Bangunan suci yang disebut dalam prasasti Kelurak itu sekarang dikenal dengan nama Candi Sewu.

Oleh karenanya, penyebutan Sri Maharaja yang memiliki nama Wisnu atau memiliki penampilan sebagai Wisnu dalam prasasti Ligor adalah tidak mengherankan karena penampilan dari Sri Maharaja (Rake Panangkaran) dianggap sebagai perwujudan dari Bodhisattva Manjusri.

Rake Panangkaran yang tertulis sebagai Sri Maharaja yang berpenampilan sebagai Wisnu dalam prasasti Ligor B ini tak lain adalah raja Sriwijaya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Ligor A. Jadi pada saat yang sama Rake Panangkaran adalah raja Medang sekaligus juga sebagai penguasa Sriwijaya.

Baca Juga: Prasasti Ciaruteun, Bukti Jika Purnawarman berhasil Meningkatkan Kesejahteraan Rakyatnya

Gelar lengkap Rake Panangkaran sebagai raja tidak dikenal di Semenanjung Melayu-Thailand, akan tetapi harus diingat bahwa para raja seringkali memasukkan gelar negara yang ditaklukan di bawah gelar resmi yang disandangnya. Sebagai contoh adalah Kaisar Nicholas II dari Rusia, saat yang sama ketika berada di Polandia dia akan menyebut dirinya sebagai " Raja Polandia", dan di Finlandia dia akan menyebut sebagai "Grand Duke of Finland". Demikian pula dengan Rake Panangkaran yang setelah berhasil menaklukan Sriwijaya dan sebagian wilayah Semenanjung Melayu-Thailand yang tetap mempertahankan gelar "Raja Sriwijaya" di daerah tersebut.

Munculnya anggota wangsa Sailendra (Rake Panangkaran) di prasasti Ligor ini dalam rangka kegiatan keagamaan, bukan perang. Meskipun demikian aktivitas militer yang menunjukkan politik ekspansif penguasa dari Jawa (Sailendra/Rake Panangkaran) tampak di Teluk Tonkin di paroh kedua abad ke-8 M. Persekutuan  Shepo (Jawa) dan Kunlun (Melayu?), berdasarkan catatan sejarah Vietnam telah menyerbu wilayah di daerah Tonkin pada 767 M. Prasasti Yang Tikuh di Champa juga menceritakan adanya penyerangan oleh pasukan yang datang dengan kapal dari Jawa pada tahun 774 M dan 787 M.

Podjok pawon, Desember 2020

Sumber bacaan:

  • Coedes, G., 1989. "Kerajaan Sriwijaya", dalam Kedatuan Sriwijaya: Penelitian Tentang Sriwijaya (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Kusen. 1994. "Raja-raja Mataram Kuna dari Sanjaya sampai Balitung, Sebuah Rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III". Berkala Arkeologi. Tahun XIV--Edisi Khusus.
  • Zakharov, Anton O., 2012.  The Sailendras Reconsidered, Nalanda-Sriwijaya Centre Working Paper No 12 (Aug 2012).
  • Prasasti Kelurak, Wikipedia
  • Prasasti Ligor, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun