Mohon tunggu...
Jati Kumoro
Jati Kumoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - nulis di podjok pawon

suka nulis sejarah, kebudayaan, cerpen dan humor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Generasi Sandwich dan Sikap "Gemati Karo Morotuwo"

10 Desember 2020   17:33 Diperbarui: 14 Desember 2020   02:31 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tinggal di rumah mertua setelah menikah itu sama sekali tak pernah dibayangkan oleh penulis. Sebelum menikah, rumah walaupun itu pemberian orang tua sudah ada. Rumah yang cukup buat berteduh dan tidur tak kedinginan walau ujudnya sederhana.

Rencana tinggal rencana, begitulah kejadiannya. Sehabis menikah penulis harus tinggal di "pondok mertua indah" karena isteri adalah anak bungsu yang selama beberapa tahun terakhir tinggal berdua dengan bapaknya.

Akhirnya penulis mau tak mau harus tinggal di rumah bapak mertua dengan alasan untuk tetap ikut menjaga dan merawat bapak mertua sebab tak ada kakak-kakak dari istri penulis yang bersedia tinggal menemani bapak mertua, entah alasan sudah berkeluarga atau alasan lain yang penulis tak ketahui.

Tinggal di "pondok mertua indah" yang kemudian menjadi bagian dari yang ikut menjaga dan merawat bapak mertua itu pada awal-awal masa pernikahan kami berjalan biasa-biasa saja, tak ada masalah, tak ada beban sama sekali, baik beban psikososial maupun beban ekonomi. Apalagi kami adalah sepasang suami istri yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri-sendiri.

Namun semenjak kelahiran putri kami yang pertama, kondisi ini berubah. Istri tidak lagi bekerja dan kemudian fokus mengasuh anak dan juga menjaga serta merawat napaknya. Tinggallah penulis seorang yang harus bekerja mencari nafkah buat keluarga sekaligus untuk bapak mertua.

Ada sebuah nasehat atau pesan dari seseorang yang penulis lupa orang dan namanya. Pesan itu kurang lebihnya hanya menyuruh penulis agar "gemati karo morotuwo".

Pesan ini jika diartikan secara bebas adalah supaya penulis memperhatikan bukan hanya kebutuhan fisik semata tapi juga kebutuhan batin dari bapak mertua. Jangan menganggap bapak mertua sebagai beban. Kurang lebih seperti itu yang penulis tangkap dari nasehat tersebut.

Tidak sengaja waktu itu penulis hanya iseng berbicara dengan bapak mertua, bagaimana jika hobi atau kesukaan bapak mertua akan tanaman anggrek itu diseriusi. Beberapa tanaman anggrek yang sudah berumur dan bisa dijadikan indukan tetap dirawat, sementara anakannya yang sudah cukup besar dijual. Uangnya lumayan bisa jadi pegangan beliau, begitu kurang lebihnya.

Begitu bapak mertua menyetujui usulan anak mantunya ini, penulis langsung menghubungi pedagang tanaman hias yang terdekat. Gayung bersambut, pedagang tersebut bersedia membeli tanaman anggrek yang sudah mulai berbunga. Jadilah sejak itu bapak mertua semakin giat budidaya tanaman anggrek.

Selain mendorong agar bapak mertua jadi orang yang produktif di usia tua, penulis juga memposisikan diri sebagai anak yang taat yang sewaktu-waktu bapak mertua ingin beribadah ke gereja siap untuk mengantarnya, kapan saja di mana saja.

Padahal antara penulis dan bapak mertua itu berbeda keyakinannya. Tapi itu tak masalah karena itu adalah bagian dari "gemati karo morotuwo". Kebutuhan manusia itu tak hanya melulu soal terpenuhinya kebutuhan fisik, merasa di "gemati" kan itu juga sebuah kebutuhan bagi mereka yang sudah berusia lanjut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun