Semenjak Raja Balitung naik tahta, situasi politik di Mataram Kuno semakin tak menentu. Balitung bisa menjadi penguasa tahta Mataram Kuno karena faktor perkawinan. Dia menikahi putri Rake Watuhumalang. Dengan demikian dia bukanlah keturunan langsung dari raja sebelumnya.
Hal ini memunculkan rasa tidak puas di kalangan kerabat istana. Salah satu yang tak puas itu adalah Daksa atau Rakryan Mahamantri I Hino Sri Daksottama Bahubraja Pratipaksaksaya yang menjadi orang kedua di pemerintahan setelah raja. Daksa ini tak lain adalah ipar raja Balitung sendiri.
Dengan memperkenalkan tahun Sanjaya ini seolah-olah Daksa ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa sebenarnya dirinya-lah yang lebih berhak atas tahta Mataram Kuno, karena dirinya adalah keturunan dari Sanjaya dan juga raja sebelum Balitung berkuasa.
Antara tahun 910 M - 911 M, Daksa bersekongkol dengan Rake Gurunwangi melakukan kudeta dan berhasil menggulinkan raja Balitung. Dalam prasasti Timbangan Wungkal 912 M, Daksa telah menjadi raja dan bergelar Sri Maharaja Daksottama Bahubraja Pratipaksaksaya Sri Sanggawijaya.
Raja Daksa ini berkuasa kurang lebih selama 8 tahun, dan mengangkat Rake Layang Dyah Tlodhong sebagai putra mahkota. Dyah Tlodhong ini juga bukan keturunan raja Daksa dan bukan pula pejabat eselon pertama di kraton Mataram Kuno. Ada dugaan jika Dyah Tlodhong ini adalah menantu Raja Daksa.
Hal ini didasarkan atas prasasti Sangguran yang bertarikh 2 Agustus 928 M, yang menyebutkan nama raja yang baru di Mataram Kuno yang bernama  Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sriwijayalokanamottungga dan yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih I Hino adalah Pu Sindok Sri Isana Wikrama.
Dari kedua prasasti ini  dapat diketahui bahwa antara tahun 928-929 M, telah terjadi perpindahan pusat pemerintahan Mataram Kuno yang semula berada di Jawa Tengah semasa Dyah Wawa, telah beralih ke Tamwlang, Jombang Jawa Timur dan yang telah menjadi penguasanya adalah Mpu Sindok.
Dugaan penulis disini telah terjadi adanya  perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Mpu Sindok. Dasarnya adalah rasa tidak puas dari Mpu Sindok karena dirinya merasa lebih berhak menjadi raja ketika  sang Maharaja dan Rakryan Mapatih I Hino tak ada maka Rakryan Mapatih I Halu-lah yang seharusnya naik tahta, bukan oleh seorang pejabat pengadilan  seperti  Sang Pamgat Momahumah Dyah Wawa.
Kematian Dyah Wawa di istana membuat Mpu Sindok harus membuat pemerintahan baru di tempat yang baru pula, karena dalam kosmologi Jawa Kuno, sebuah ibukota pemerintahan yang sudah dikalahkam apalagi rajanya meninggal di istananya, maka tempat tersebut sudah tak layak lagi dipergunakan sebagi pusat pemerintahan.
Mpu Sindok kemudian berusaha memindahkan pusat pemerintahannya yang baru ke Tamwlang, namun usaha ini juga bukan sebuah yang mudah. Kerabat istana atau keluarga Dyah Wawa melakukan pengejaran terhadap dirinya. Peperangan terjadi di tempat yang sekarang bernama Nganjuk Jawa Timur.
Rombongan Mpu Sindok diserang oleh pasukan yang mengejarnya dari sejak dari ibukota Mataram. Tujuannya jelas yaitu membunuh Mpu Sindok sebagai tindakan balas dendam terhadap kematian Dyah Wawa sekaligus merampas kedudukan Mpu Sindok sebagai Mapatih I Hino yang memiliki hak atas tahta Mataram Kuno.
Pada awal-awal masa pemerintahan Mpu Sindok masih juga diwarnai dengan pergolan-pergolakan politik yang terjadi di belahan timur Jawa ini, sebagaimana yang disebutkan dalam prasasti Waharu tahun (931 M) berisi tentang anugerah untuk penduduk desa Waharu yang dipimpin Buyut Manggali, karena kesetiaannya telah membantu kerajaan melawan musuh, dan prasasti Sumbut (931 M) yang berisi tentang penetapan desa Sumbut sebagai sima swatantra karena kesetiaan dari Mapanji Jatu Ireng dan penduduk desa itu dalam menghalau musuh kerajaan.
Mpu Sindok berhasil memerintah kerajaan Medang atau Mataram Kuno, yang dikenal dengan nama kerajaan Medang atau  Mataram Kuno periode Jawa Timur, kurang lebih selama 18 tahun. Ketika Mpu Sindok meninggal pada tahun 947 M, tahta kerajaan diserahkan kepada putrinya yang bernama Sri Isana Tunggawijaya yang kemudian memerintah kerajaan bersama suaminya yang bernama Sri Lokapala.
Sumber bacaan:
- Sugeng Riyanto. 2017. Situs Liyangan Dalam Bingkai Sejarah Mataram Kuno, Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017
- Windi Ika Diahing Sari  dan Anjar Mukti Wibowo,  2017. Prasasti Anjuk Ladang Di Nganjuk Jawa Timur (Sejarah Dan Potensinya Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah), Jurnal Agastya Vol.7, No 1, Januari 2017.
- Budiarto Eko Kusumo, 2012. Prasasti Taji Gunung, dalam kekunaan.blogspot.com.
- Budiarto Eko Kusmo, 2012. Prasasti Turyyan, dalam kekunaan.blogspot.com.
- Juliani Susanto, Â 2017. Menggali Nilai-nilai Budaya dalam Prasasti Harijing (804-927 Masehi): (Sebuah Kebaikan yang Tak Terlupakan), Â hurahura.wordpress.com, 23 Maret 2017.
- Prasasti Timbangan Wungkal, dalam cagarbudaya.kemdikbud.go.id
- https://situsbudaya.id/prasasti-lintakan/
- https://candi.web.id/prasasti-sangguran-peninggalan-mataram-kuno/ Â Â Â Â Â Â Â Â
podjok pawon, Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H