Pergantian  kekuasaan raja-raja Mataram Kuno pada awalnya berjalan dengan mulus. Raja yang menggantikan kedudukan pemerintahan sebelumnya selalu bisa bertahan lama. Terhitung sejak Rahyangta ri Mdang atau Rakai Mataram Ratu Sanjaya yang berkuasa selama kurang lebih 29 tahun yaitu dari 717 M sampai 746 M, yang kemudian digantikan oleh Pakai Panangkaran, pergantian kekuasaannya berjalan dengan mulus.
Rake Panaraban berkuasa selama kurang lebih 19 tahun dari 1 April 784 M sampai 28 Maret 803 M, yang kemudian mengundurkan diri, entah dengan alasan yang tidak diketahui, Â dan digantikan oleh Rake Warak Dyah Manara. Pergantian tampuk kekuasaan ini juga berjalan dengan baik tidak ada gejolak politik yang mewarnainya.
Rake Warak memerintah hampir 24 tahun yaitu dari 28 Maret 803 M sampai 5 Agustus 827 M, dan pemerintahannya berakhir ketika dirinya meninggal. Setelah meninggal raja ini mendapat sebuatan sebagai "sang lumah i kelasa" dan digantikan oleh putranya yang bernama Dyah Gula.
Dyah Gula, putra Rake Warak Dyah Manara, naik tahta pada 5 Agustus 827 M. Raja ini adalah putra mahkota yang naik tahta dalam usia yang muda untuk menggantikan ayahnya yang meninggal. Hal ini terlihat pada pada nama yang disandangnya yang masih merupakan nama pribadi atau nama yang disandang sejak lahir, dan dirinya belum bergelar Rake atau mempunyai wilayah kekuasaan tanah lungguh sendiri.
Dyah Gula ini hanya memerintah kurang lebih selama enam bulan karena pada 24 Januari 828 M, tahta Mataram Kuno sudah berada dalam genggaman kekuasaan Rake Garung. Melihat betapa singkatnya kekuasaan yang dipegang oleh Dyah Gula, dapat diduga bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rake Garung. Mulai ada kudeta dalam proses peralihan kekuasaan tahta Mataram Kuno.
Pemerintahan Rake Garung berlangsung cukup lama, yaitu 19 tahun yang dimulai sejak 24 Januari 828 M  dan berakhir ketika dia meninggal dunia sebelum atau pada 22 Febuari 847 M. Melihat lamanya masa pemerintahannya dapat  diduga bahwa Rake Garung ini merupakan tokoh yang mempunyai kedudukan yang kuat di lingkaran kerabat istana.
Dalam prasasti Wanua tengah III, Rake garung disebut sebagai putra dari "sang lumah i tuk" yang jika melihat bahwa Rake Garung mengembalikan status sima sawah Wanua Tengah yang sebelumnya dicabut oleh Rake Warak dan Dyah Gula, maka kemungkinan besar dia adalah putra dari Rake Panaraban, sama seperti halnya Rake Warak. Pengembalian status sima sawah Wanua Tengah adalah langkah politis guna memperkokoh kekuasaannya.
Ketika Rake Garung meninggal, penggantinya adalah Rake Pikatan Dyah Saladu. Raja ini memerintah kurang lebih selama 8 tahun yaitu dari 22 Febuari 847 M sampai meninggal dunia sebelum atau pada 27 Mei 855 M. Ada dugaan bahwa Rake Pikatan inipun merebut tahta dari pewaris yang sah.
Dugaan ini muncul karena dalam prasasti Siwagrha 855 M disebutkan adanya peperangan yang terjadi sebelum Rake Kayuwangi Dyah Lokapala naik tahta. Peperangan yang terjadi antara Rake Pikatan melawan Rake Walaing pu Kumbhayoni yang mengaku sebagai cicit "sang ratu i halu". Kemungkinan di dalam  peperangan inilah Rake Pikatan meninggal dan kemudian digantikan oleh Rake Kayuwangi.
Meski sebelumnya sempat diwarnai dengan adanya peperangan, pergantian kekuasaan dari Rake Pikatan ke putra mahkotanya yang bernama Rake kayuwangi Dyah Lokapala ini tetap berjalan dengan baik. Rake Kayuwangi memerintah kurang lebih selama 30 tahun, yaitu dimulai dari 27 Mei 855 M sampai dia meninggal sebelum atau pada 5 Febuari 885 M.
Sepeninggal Rake Kayuwangi, yang naik tahta adalah putranya yang bernama Dyah Tagwas. Raja ini memerintah selama kurang lebih 8 bulan, yaitu dari 5 Febuari 885 M  sampai atau sebelum terguling dari tahtanya pada  27 September 885 M. Melihat bahwa Dyah Tagwas ini belum
memiliki gelar Rake, maka dapat diduga jika dirinya belum benar-benar dewasa saat menggantikan kedudukan ayahnya.
Setelah Dyah Tagwas terguling dari tahtanya, raja yang berkuasa adalah Rake Panumwungan Dyah Dewendra. Raja ini berkuasa kurang lebih selama 16 bulan, dari 27 September 885 M sampai dengan digulingkan dari tahtanya sebelum atau pada 27 Januari 887 M.
Segera setelah Rake Panumwangan Dyah Dewendra terguling dari tahtanya, Rake Gurunwangi Dyah Badra naik tahta. Raja ini memerintah hanya dalam waktu 28 hari, yaitu mulai dari 27 Januari 887 M, dan terpaksa melarikan diri dari istana pada 24 Febuari 887 M. Hal ini mengakibatkan tahta kerajaan dalam keadaan kosong selama 7 tahun.
Kekosongan tahta kerajaan ini berakhir ketikan Rake Wungkalhumalang Dyah Jbang, yang dalam prasasti Mantyasih nama ini disebut dengan nama Sri Maharaja Watuhumalang naik tahta pada tanggal 27 Nonember 894 M. Raja ini memerintah sampai meninggalnya pada 23 Mei 898 M, dan digantikan oleh Rake Watukura Dyah Balitung.
Dyah Balitung bisa menjadi penguasa tahta Mataram Kuno karena faktor perkawinan. Dia menikahi putri Rake Watuhumalang. Dengan demikian dia bukanlah keturunan langsung dari raja sebelumnya.
Situasi politik Mataram Kuno semakin tak menentu akibat terjadinya perebutan kekuasaan di kalangan keluarga dan kerabat kraton. Daksa atau Rakryan Mahamatri I Hino Sri Daksottama Bahubraja Pratikpaksasaya yang menjadi orang kedua, putra mahkota, tak lain adalah ipar raja Balitung.
Dyah Wawa ini juga bukan pewaris tahta yang sah karena dirinya bukan anak dari Dyah Tlodong. Kemungkinan dia bisa menjadi raja karena melakukan perebutan kekuasaan.
Dyah Wawa ini memerintah hanya dalam waktu yang singkat bahkan berhenti memerintah secara mendadak pada 929 M. Pemerintahan Mataram Kuno berikutnya tahu-tahu sudah berpindah ke tangan Pu Sindok yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Tamwlang dan mendirikan wangsa yang baru yang bernama Isana.
Sumber bacaan:
- Kusen, 1988. Prasasti Wanua Tengah III 830 Saka: Studi Tentang Latar Belakang Perubahan Status Sawah di Wanua Tengah Sejak Rake Panangkaran Sampai Rake Watukura Dyah Balitung, Makalah dalam Kegiatan Ilmiah Arkeologi IAAI Komisariat DIY-Jawa Tengah di Yogyakarta.
- Kusen, 1994. Raja-Raja Mataram Kuna Dari Sanjaya Sampai Balitung Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III, Berkala Arkeologi, Edisi Khusus-1994.
- Sugeng Riyanto. 2017. Situs Liyangan Dalam Bingkai Sejarah Mataram Kuno, Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017
- Prasasti Mantyasih, Wikipedia.
- kebudayaan.kemdikbud.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H