Mohon tunggu...
Jati Kumoro
Jati Kumoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - nulis di podjok pawon

suka nulis sejarah, kebudayaan, cerpen dan humor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menjelang Maghrib, Budos Nana Dipamiti Mahasiswanya

22 Oktober 2020   15:21 Diperbarui: 6 November 2020   21:09 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mas, tolong antarkan pesanan kroket telo ini ke rumahnya mbak Nana ya, "pinta isteriku. "Siappp juragannn...!"sahutku dengan bercanda.  Segera  kubawa dos berisi kroket itu dan kutaruh di bak motor. Berangkatlah aku menuju kerumah mbak Nana yang terletak di sebuah perkampungan di pinggir kota Yogyakarta.

Mbak Nana, begitu isteriku memanggil pemilik nama nama lengkap Tri Marliana (bukan nama sebenarnya) yang dulunya adalah kawan sekolahku di jaman masih sekolah menengah. Kini beliau adalah seorang staf pengajar di sebuah universitas swasta yang berada di Yogyakarta.

Sesampai di rumah Nana, rupanya dia sudah menunggu di teras rumahnya yang asri. "Isterimu barusan telephone, memberi kabar kalau dirimu yang antar pesananku, tumben banget," katanya sambil setengah tertawa.

"Yah, namanya juga diperintah sama juragan putri, siapa yang berani menolak, bisa-bisa nanti malam disuruh tidur di gardu ronda,"jawabku sambil becanda. Setelan turun dari motor lalu kuhaturkan dos berisi kroket telo pesanannya dan duduk di kursi yang berada di depannya.

Setelah membawa masuk dos yang berisi kroket itu, Nana lalu kembali ke tempat duduk yang ada di depanku sambil memberikan selembar uang bergambar proklamator tercinta. "Tak usah ada kembalian, itu buat jajan anak-anakmu!" begitu kata Nana. Hal seperti ini sudah biasa dilakukan setiap membayar pesanan jajan pasar yang dibuat oleh isteriku, selalu tak berkenan menerima uang kembalian.

"Tadi waktu aku diberi tahu oleh isterimu kalau yang mengantarkan pesanan ini dirimu, kupikir dirimu pasti mau mengantar pesanan sekalian mau menagih cerita mistis yang kujanjikan semalam di grup WA SMP kita," kata  Nana.

"He he he, seratus buat bu dosen, mumpung pekerjaan di rumah juga sudah kelar, jadi aku bisa sekalian main ke sini buat mendengarkan cerita mistis yang pernah dirimu alami,"jawabku sambi bercanda.

Sejenak  Nana terdiam, matanya menerawang jauh ke depan. "Dulu, masa-awal-awal aku menjadi dosen, jaman itu kan masih muda dan  idealis banget, aku ini termasuk dosen yang galak. Ada mahasiswaku yang malas sedikit saja atau melakukan kesalahan di depanku mesti langsung kutegur atau kusidang di kantor. Pokoknya muda dan galak-lah, hahaha" ujar  Nana memulai ceritanya sambil tertawa.

"Ada salah satu mahasiswaku, orangnya bergaya hidup semau gue, kalau kuliah sesuka hatinya, namanya Subandrio (bukan nama sebenarnya).  Awal menjadi dosen, aku ditugaskan di laboratorium komputer. Jaman itu yang namanya komputer masih barang langka, apalagi handphone, hanya orang-orang tertentu yang memilikinya. Tidak seperti sekarang ini,"ucap  Nana.

"Lokasi laboratorium komputer ini berada di luar area kampus tempatku kerja. Sekitar 3 Km jaraknya menuju ke arah barat laut kampus utama. Nah,  Subandrio ini sukanya ikut mendaftar praktikum di laboratorium komputer tetapi dia tak pernah berangkat mengikuti kegiatannya.

"Sekali dua kali tidak berangkat, masih bisa mentolelir, tapi begitu yang ketiga kalinya dia masih juga tak berangkat akhirnya kesabaranku hilang," ucap Nana.

"Sebagai dosen yang kondang galak, tentu saja kedua tandukku segera keluar melihat ada mahasiswa yang seperti  Subandrio itu. Aku panggil anak itu ke ruang dosen. Mas Subandrio, kalau kamu itu bersikap seperti ini, sampai kapan pun kamu tak akan bisa lulus kuliah. Sekarang tinggal pilih, mau rajin mengikuti praktikum, atau namamu aku coret sekalian biar digantikan oleh mahasiswa lainnya yang butuh ikut praktikum?" ujar Nana bercerita dengan gaya seperti sedang menyidang mahasiswanya.

Tentu saja karena memang salah,  Subandrio itu hanya bisa diam dan menundukkan kepalanya. "Baik bu, saya berjanji akan rajin datang ke praktikum," kira-kira seperti itu ucapan janji yang dikeluarkan dari mulut Subandrio saat kusidang."

" Ternyata minggu depannya saat praktikum  Subandrio ini ikut mendaftar. Aku berharap kali ini dia datang mengisi absen dan mengikuti praktikum yang diadakan pagi hari. Tapi rupanya saat diabsen dia tidak hadir lagi, dan ini membuatku jadi emosi. Coba bayangkan, jadwal praktikumnya saja sudah begitu padat bahkan sampai malam, yang mau ikut praktikum saja harus antri dan yang namanya laboratorium komputer itu adalah laboratorium yang paling kondang di kampus, lha koq anak ini menyepelekan dan membolos lagi."

"Waktu mendekati saat adzan Maghrib berkumandang, disaat aku lagi sibuk mencari berkas di almari kaca yang ada di belakang meja kerja di laboratorium komputer, mendadak dari pantulan kaca almari kulihat ada bayangan  Subandrio  duduk di kursi yang ada di depan mejaku. Saat aku membalikkan badan. Memang yang kulihat adalah si Subandrio yang duduk dengan kepala tertunduk, sementara wajahnya agak kotor terutama pada bagian pipinya dan  rambutnya yang agak gondrong itu juga tampak berantakan. Tapi yang paling bikin jengkel dan tentu saja bikin mual adalah bau badan yang keluar dari tubuhnya,  seperti bau orang yang tidak mandi selama berhari-hari."

"Dengan masih menahan emosi, aku tanya dia mengapa masih juga membolos praktikum. Aku katakan terus terang  kalau tetap seperti itu,  dirinya dapat dipastikan tak akan bisa lulus kuliah.

"Mendengar ucapanku,  Subandrio ini tambah menundukkan kepalanya dan kelihatannya juga seperti akan menangis. Dengan suara lirih anak itu meminta maaf kepadaku dan bilang kalau dirinya tak bisa ikut praktikum lagi,"

Mendengar permintaan maaf dari  Subandrio dan ketidak-bisaannya mengikuti praktikum lagi malah membuatku bingung. Dinasehati supaya rajin agar bisa lulus kuliah koq malah bilang tidak bisa ikut praktikum."

"Dengan perasaan jengkel, akhirnya aku bilang, ya sudah, terserah apa maumu, mau lulus apa tidak, masa bodoh. Setelah itu aku langsung membalikkan badanku dan meneruskan mencari berkas di almari."

"Dari pantulan kaca almari kuamati Subandrio berdiri dan berjalan keluar pintu laboratorium. Aku merasa agak heran karena anak itu bergerak bukan seperti gerak orang yang berjalan tetapi lebih kepada seperti terbang. Tapi karena aku tak bisa melihat apakah kakinya menginjak lantai apa tidak karena pandanganku terhalang meja, aku pun tak ambil peduli dan meneruskan pekerjaanku."

"Keesokan harinya saat aku berada di kampus utama, Bu Listyarini (bukan nama sebenarnya) yang merupakan Ketua Jurusan Prodiku bilang begini, nah ini ada Bu Nana, Bu Nana sudah mendengar berita belum kalau ada mahasiswamu yang bernama Subandrio itu  meninggal karena kecelakaan?"

"Kapan?" tanyaku singkat

"Tiga hari yang lalu,"jawab Bu Listyarini.

Mendengar jawaban Bu Listyarini, aku jadi melongo. Lha yang kemarin sore saat mau Maghrib menemui aku di laboratorium komputer itu siapa?

Tamat

Podjok pawon, Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun