Pada awal mula pemerintahannya, Mpu Sindok yang bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Mpu Sindok Sri Isana Wikramadharmottunggadewa membangun pusat pemerintahannya di daerah Tamwlang (prasasti Turyyan, 929 M).
Beberapa tahun kemudian memindahlan pusat pemerintahannya ke Watugaluh (prasasti Anjuk Ladang, 937 M). Kedua daerah ini sekarang berada di daerah sekitar Kabupaten Jombang Jawa Timur.
Pemerintahan Medang selama Mpu Sindok berkuasa dapat dikatakan berjalan dengan aman dan tentram. Hal ini dapai dilihat pada sebagian besar prasasti yang dibuat pada masa pemerintahannya yang berisikan pemberian hadiah berupa hak tanah “sima” untuk perawatan bangunan-bangunan suci yang ada didirikan di daerah tersebut.
Selain itu juga Mpu Sindok telah memerintahkan kepada seorang pujangga yang bernama Sri Sambara Suryawarana untuk menuliskan kitab yang berjudul Sang Hyang Kamahayanikan, sebuah kitab yang berisi tentang ajaran Budha Tantrayana. Sementara Mpu Sindok sendiri adalah seorang penganut Siwa (Hindu).
Tidak diketahui dengan pasti hingga sampai kapan Sri Isana Tunggawijaya ini memerintah kerajaan Medang, prasasti Pucangan (1042) hanya menyebutkan bahwa penggantinya adalah putranya yang bernama Sri Makuta Wangsawardhana.
Sri Makuta Wangsawardhana ini memiliki dua orang anak yaitu Sri Dharmawangsa Teguh dan Mahendradatta (Gunapriyadharmapatni). Dharmawangsa Tguh kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja di Medang dan kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Wwatan (daerah di sekitar Madiun).
Sedangkan Mahendradatta atau Gunapriyadharmapatni ini menikah dengan Raja Udayana dari keluarga Warmadewa yang berkuasa di Bali. Dari perkawinan ini kemudian lahirlah Airlangga, yang nantinya akan menjadi menantu Dharmawangsa Teguh dan mendirikan kerajaan di Kahuripan.
Pada masa pemerintahan Dhawrmawangsa Teguh (991-1016 M), kerajaan Medang semakin berkembang. Dalam bisang kesusateraan misalnya, Raja Dharmawangsa memerintahkan untuk mengalihbahasakan kisah Mahabharatta ke dalam bahasa Jawa Kuno.
Dalam bidang politik rupanya raja Dharmawangsa ini meneruskan apa yang dilakukan oleh Sri Makuta Wangsawardhanan yaitu mengirimkan kekuatan militernya untuk menaklukan kerajaan Sriwijaya.
Menurut Berita Tiongkok dari Dinasti Song (abad X-XIII Masehi), yang menyebutkan nama kerajaan Sriwijaya dengan nama San-fo-tsi, dan menyebut nama kerajaan Medang dengan nama She-po, pada waktu itu kedua kerajaan ini sedang bersaing untuk menjadi penguasa di Asia Tenggara.
Kedua kerajaan ini juga mengirimkan utusannya ke negeri Tiongkok dengan harapan akan mendapat dukungan dari kaisar Tiongkok. Utusan dari kerajaan Sriwijaya yang berangkat pada tahun 988 M, tidak bisa pulang dan tertahan di pelabuhan Kanton karena kerajaannya diserang oleh balatentara dari She-po.
Sampai pada tahun 992 M, utusan dari kerajaan Sriwijaya tersebut berusaha untuk pulang namun gagal, dan terpaksa harus tertahan di Champa. Akhirnya utusan tersebut kembali ke Tiongkok dan memohon agar Kaisar Tiongkok sudi memberikan perlindungan kepada kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 992 M itu pula datang utusan dari kerajaan Medang di negeri Tiongkok. Utusan tersebut dikirim oleh raja Dharmawangsa Teguh, raja Medang yang naik tahta pada 991 M.
Serangan balatentara dari Medang ini untuk sementara waktu berhasil menguasai ibukota Sriwijaya yang berada di Palembang, dan memaksa raja Sri Cudamani Warmadewa menyingkir keluar dari ibukota. Namun kemudian balatentara Sriwijaya berhasil memukul mundur pasukan yang berasal dari Medang.
Namun pada dasarnya kekuasaan dan kekauatan mandala (kerajaan-kerajaan yang menjadi bawahan) kerajaan Sriwijaya ini tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan selat Malaka. Dengan dukungan dari sekutu dan raja-raja bawahannya, akhirnya Raja Sri Cudamani Warmadewa berhasil memukul mundur balatentara Medang.
Pertentangan antara kerajaan Medang dengan Sriwijaya ini terus saja berlangsung dan berakhir ketika terjadi peristiwa “Mahapralaya” di Medang. Peritiwa penyerbuan yang dilakukan oleh Haji (raja bawahan) Wurawari dari Lwaram (sebuah daerah di sekitar Blora Jawa Tengah) ke ibukota kerajaan Medang di Wwatan pada 1016 M.
Pada saat itu Raja Dharmawangsa Teguh sedang mengadakan pesta pernikahan antara putrinya yang bernama Galuh Sekar Kedaton dengan seorang pangeran dari Bali yang juga merupakan keponakannya yang bernama Airlangga. Dalam keadaan seperti itu sekonyong-konyong datang serangan dari Raja Wurawari.
Dalam serangan yang mendadak tersebut, seluruh anggota kerajaan termasuk Raja Dharmawangsa dan putri mahkota terbunuh semuanya dan istananya dibakar. Hanya Airlangga beserta isterinya dan pengikutnya yang bernama Narottama yang berhasil meloloskan diri.
Dengan terbunuhnya Raja Dharmawangsa Teguh dan putri mahkota serta hancurnya istana di Wwatan, berakhir pula pemerintahan kerajaan Medang Di Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno yang pernah menjadi imperium di Asia Tenggara itu telah runtuh dalam sekejab dan tanpa diduga-duga.
Sumber bacaan:
Medang (Wikipedia)
Sriwijaya (Wikipedia)
Wangsa Isyana (Wikipedia)
Mpu Sindok (Wikipedia)
Sri Isyana Tunggawijaya (Wikipedia)
Makutawangsawardhana (Wikipedia)
Dharmawangsa Teguh (Wikipedia)
ngalam.id
jawatimuran.wordpress.com
arkeologilampung.blogspot.com
jombangcityguide.blogspot.com
*podjokpawon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H