“Kringggg… kringgggg… kringggggggggg…!” suara HP jadoelku berbunyi memekakkan telinga. Dengan tergesa-gesa, putri sulungku mengangkat dan menerima panggilan itu dengan mengaktifkan suara speaker Hp.
“Hallooo…. bisa bicara dengan Eyang Panembahan?” suara seorang lelaki bertanya dengan nada sopan, yang membikin putriku sulungku kebingungan. Siapa yang dimaksud dengan “Eyang Panembahan”? Nomer Hp si penelepon juga tidak diketahui. Dengan perasaan jengkel, diberikannya Hp itu kepadaku.
Dengan mempergunakan bahasa Jawa halus (kromo inggil), kutanyakan, ini telepon dari siapa dan apa keperluannya. Tidak dijawab dengan kata-kata, tetapi hanya suara orang tertawa saja yang muncul.
Mendengar suara tawa itu, akupun jadi ingat dengan siapa aku sedang bertegur sapa.. Orang yang menelepon itu adalah seorang kawan lama yang dulu sering mengajakku berkeliling melihat dan berkunjung ke orang-orang yang dipandang sebagai “orang pintar” di daerah sekitar Bogor.
Setelah pembicaraan yang penuh canda lewat telepon ini berakhir, anakku lalu bertanya mengenai sosok yang bicara itu siapa dan kenapa belum pernah melihat orang yang sudah akrab dengan bapaknya tetapi belum pernah sekalipun melihat orang itu datang ke rumah. Dengan singkat saja kujawab kalau orang itu adalah kawan lama semasa bapakmu ini masih bujang dan sudah bertahun-tahun tidak ketemu.
Jawaban yang singkat itu memang bisa membuat putri sulungku tidak bertanya-tanya lagi, namun bagiku itu seolah-olah membuka lagi lembaran kisah lucu yang kami berdua alami, sehingga aku dipanggil dengan sebutan “Eyang Panembahan”. Sementara itu aku memanggilnya dengan sebutan “ Panembahan Lepek”. Panggilan olok-olok ini bahkan sampai sekarang masih kami berdua gunakan jika ada kesempatan ketemu dimana saja dan kapan saja.
Asal muasal olok-olok ini berawal dari saat kami berdua mendatangi seorang “Abah” di daerah sekitar Bogor sekitar tahun 1996. Pada saat itu, ketika kami bertamu di rumah “Abah” itu dan disambut dengan ramah, kami berdua hanya menjelaskan kalau kedatangan kami sekedar berkunjung untuk bersilaturahmi saja.
Ditengah-tengah perbincangan yang penuh keakraban itu, “Abah” itu tiba-tiba dengan mimik wajah yang serius menatapku dan berkata. “Luar biasa, ternyata Anakmas ini masih memiliki garis keturunan dari Raden Patah, Sultan Demak di masa lampau.”
Tentu saja pernyataan itu membuat aku terkejut sekaligus heran. Orang baru pertama kali kenal, bagaimana mungkin bisa mengetahu silsilah dalam keluargaku. Lagipula sepengetahuanku aku tidak memliki garis keturunan dari Demak. Tetapi untuk menjaga agar “Abah” itu tidak tersinggung, aku pura-pura kaget dan menanyakan bagaimana beliau ini bisa mengetahui silsilah keluargaku.
“Anakmas ini tidak perlu heran, karena yang memberi tahu saya itu berdiri dibelakang anakmas dan selalu mengikuti anakmas ini kemana saja, ”kata “Abah” itu.
Spontan seluruh bulu ditubuhku berdiri dan badan jadi merinding sebab tidak ada satupun orang lain di ruangan itu selain kami bertiga. Untung saja saat itu hari masih terang benderang, coba kalau sudah malam, bisa-bisa aku ketakutan semalam suntuk.
Sepulangnya dari rumah “Abah”, ini dengan ketawa cekikikan di perjalanan kawanku itu berseloroh dan memanggilku Eyang Panembahan”, karena aku ini keturunan dari Raden Patah yang bergelar Panembahan Jimbun, Sultan Bintoro. Otomatis gelar “panembahan” itu menurun ke anak keturunannya, katanya. Hahahahahaha………!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H