"Hidup ini bukan sekadar tentang apa yang kita ketahui, tetapi tentang apa yang kita pelajari dari yang tidak kita ketahui." Kutipan ini mungkin tidak asing bagi mereka yang percaya bahwa setiap pengalaman adalah peluang untuk tumbuh. Sebagai siswa Kolese Kanisius, kami selalu didorong untuk mengeksplorasi dunia di luar zona nyaman kami. Salah satu momen yang paling mengesankan adalah ketika kami berkunjung ke Pesantren Modern Daarul Uluum di Bogor---perjalanan yang tidak hanya membuka wawasan baru, tetapi juga mempererat hubungan antarmanusia dari latar belakang berbeda.
Narasi Perjalanan: Persimpangan Dua Dunia
Pada pagi yang cerah, kami berangkat dari Jakarta menuju pesantren yang terletak di pedalaman Bogor. Perjalanan kami diiringi canda tawa di bus, meskipun sebagian dari kami masih ragu. Bagaimana rasanya tinggal di pesantren? Apakah kami akan diterima dengan baik? Namun, semua keraguan itu sirna ketika kami tiba. Para santri menyambut kami dengan senyum hangat, menunjukkan keramahan yang tak pernah saya lupakan.
Selama beberapa hari, kami hidup bersama para santri, mengikuti rutinitas harian mereka. Salah satu momen paling berkesan adalah ketika saya mencoba belajar mengaji. Awalnya, saya merasa canggung, tetapi seorang santri bernama Akbar dengan sabar mengajarkan saya. "Mengaji itu seperti belajar menyelami kedalaman makna," katanya. Kalimat ini terus terngiang di benak saya, mengingatkan bahwa pembelajaran bukan hanya tentang keterampilan, tetapi juga pemahaman mendalam.
Di sisi lain, teman saya Ulung mengambil pengalaman ini sebagai kesempatan untuk memperluas pengetahuannya tentang budaya Islam. Ia berbicara panjang lebar dengan para santri tentang tradisi, doa, dan filosofi kehidupan mereka. Tidak hanya itu, ia juga mencoba belajar beberapa istilah Arab baru yang membuatnya semakin terpesona dengan kekayaan budaya yang ia temui.
Deskripsi: Kehidupan di Pesantren
Pesantren Daarul Uluum memiliki suasana yang jauh berbeda dari sekolah kami. Bangunan-bangunan sederhana berdiri kokoh di tengah hamparan hijau, memancarkan kesederhanaan dan kedamaian. Setiap pagi, gema suara azan membangunkan kami, mengiringi awal hari yang dipenuhi aktivitas. Para santri mengikuti jadwal yang teratur: shalat berjamaah, belajar agama, hingga diskusi tentang budaya.
Kehidupan di pesantren ini jauh lebih disiplin dibandingkan kehidupan sehari-hari kami di kota. Tidak ada waktu untuk bersantai berlebihan atau bermain ponsel. Namun, justru dalam keteraturan inilah kami menemukan makna mendalam. Rutinitas yang terstruktur ini mengajarkan kami nilai kesabaran, ketekunan, dan fokus pada tujuan.
Sebagai siswa Kolese Kanisius yang terbiasa dengan ritme cepat kota Jakarta, hidup di pesantren memberi kami jeda untuk merenung dan melihat hal-hal sederhana dengan perspektif baru. Di sini, kami menyadari bahwa kebahagiaan tidak harus berasal dari kemewahan atau teknologi canggih, tetapi dapat ditemukan dalam kebersamaan dan rasa syukur.
Argumentasi: Meruntuhkan Stereotip
Salah satu pelajaran terbesar dari perjalanan ini adalah pentingnya melampaui stereotip. Sebagai siswa dari sekolah Katolik, awalnya kami memiliki prasangka tertentu tentang pesantren dan kehidupan santri. Namun, pengalaman langsung ini mengubah pandangan kami sepenuhnya.