Dingin. Itu yang pertama kusadari pada pipi kanan ku, ditemani oleh rasa lembap dan kasar, dan perlahan merambat ke tangan, rusuk, kaki, keseluruhan kanan badan. Ketika pandangan ku terbuka, yang awalnya kabur, dan dalam seperkian detik mulai menjelas, yang awalnya hanya warna abu buram, terlihat jelas sebuah dinding dengan siraman redup cahaya.
Beberapa menit terlewat dengan diriku terbaring diatas rusuk kanan ku, sebelum aku mulai bisa menggerakkan badanku kembali, sedikit demi sedikit. Ku coba gerakkan tangan ke depan wajahku, dan darah setengah kering terlihat menutupinya. Beberapa saat setelah mengamati darah ditanganku, aku pun mencoba untuk mengambil posisi duduk dengan gerakan yang terbatas. Nyeri terasa di titik tepat atas telinga kiriku, serasa seseorang telah melayangkan tinju.
Masih di posisi duduk tepat tempatku terbaring sebelumnya, aku mulai memperhatikan sekitarku. Dengan penglihatan yang lebih jelas, aku bisa melihat percikan darah  di bawah, namun bukan genangan, sekilas memunculkan pertanyaan di pikiran ku; "darah apa ditangan ku?" di tambah tidadanya luka di bagian manapun di badanku. Hanya nyeri dikepala ku tadi yang merupakan rasa sakit dari sekujur tubuh.
Setelah mengkhawatirkan darah dan yakin bukan milikku, sekitarku lah yang kulanjut periksa. Bulu kudukku pun berdiri, melihat horror di hadapan ku. Bercak-bercak darah kering terlihat di hampir tiap sudut ruangan. Kusadari di sisi yang kuhadapi ada sebuah pintu padat abu. Aku mencoba berdiri walaupun lemas badanku, Perlahan namun berusaha cepat, ku menghampiri pintu tersebut. Sialnya, pintu itu terkunci. Aku meraba saku celanaku, mencoba mencari kunci, namun tidak ada. Eh? Kenapa aku mencari kunci disakuku? Aku sendiri bahkan tidak tahu tempat apa ini.
Aku melihat kembali ruangan dan baru sadar kalau ada sebuah kursi dan meja dibelakang tempatku sebelumnya terbaring. Melangkah dengan agak linglung, aku hampiri kembali tempat tersebut, yang setelah lebih jelas kuperhatikan ada bercak darah yang begitu banyak pada kursi. Yang lebih mengerikan adalah apa yang ada diatas meja, atau lebih tepatnya, "apa saja".
Bercak kering melapisi meja dan ada genangan darah setengah kering kecil. Di genangan tersebut terletak berbagai alat yang seharusnya tidak berada ditempat bersamaan. Bermacam tang, pisau bedah, gunting, kunci inggris, sekotak jarum dan benang, ditambah alat yang terlihat familiar namun tak ku ingat namanya. Darah bisa dilihat menyelimuti perkakas-perkakas dimeja tersebut. Ngeri kurasa menyelimuti tubuhku, namun, ada sedikit yang aneh, yaitu rasa geli di area panggulku. Ku coba untuk menyingkirkanya, memikirkan prioritas saat ini, mencari cara keluar dari ruangan ini.
Aku pun sadar ada laci dimeja tersebut, yang segera kubuka dan lebih banyak alat kulihat, namun kufokus mencari sesuatu yang lebih berguna. Beruntung, terdapat sebuah pisau swiss army, yang bisa kugunakan untuk membobol pintu keluar. Kembali kepintu, aku mulai mengotak-atik lubang kunci, dengan pisau yang kutemukan.
Entah berapa lama ku berusaha, pada akhirnya pintu pun terbuka. Dengan lekas ku keluar dari ruangan mengerikan itu, dan masuk ke sebuah lorong pendek dengan satu lampu redup sebagai penerangan. Kucari jalan keluar, dan terpintas di tepi penglihatanku sebuah tangga menuju atas. Berlari sekuat tenaga, hampir terjatuh, namun bertahan dengan posisi lariku, aku menuju atas tangga yang berakhir pada sebuah koridor penghubung antara dua ruangan yang tampaknya dapur dan ruang tamu.
Dari luar terdengar suara hujan lebat, namun tetap ku berlari ke pintu ruang tamu yang mengarah keluar, namun sayangnya itu pun juga terkunci. Aku mencoba untuk mendobrak untuk segera keluar, namun tenagaku sepertinya mulai habis. Setelah usaha keduaku untuk mendobrak sia-sia, badanku jatuh tersungkur dengan keseluruhan beratku menindih rusuk kiriku. Sepertinya badanku terlalu lelah, pusing menyerang kepala bersamaan dengan munculnya suara deritan kayu.
Mendengar deritan itu, diriku mulai was was, dan membeku dalam posisiku saat jatuh tersungkur tadi. Deritan kayu itu mulai terdengar jelas dan diikuti seperti langkah kaki. Apakah itu orang yang mengurungku diruangan tadi? batinku berkata.
Namun suara deritan dan langkah kaki menghilang. Posisiku belum berubah sama sekali, sehingga tidak mungkin dia tahu kalau aku dalam keadaan sadar. Hatiku berdegup kencang sekali, aku hanya bisa menghadap dinding ruang tamu yang nampaknya dipenuhi foto, dan yang paling menarik perhatian adalah foto besar dari keluarga beranggotakan tiga orang. Wajah mereka terlihat familiar...
Kriiiitt...