Langit yang cerah di Pagi hari, Alvaro, seorang remaja yang selalu tampil keren datang ke sekolah. Tiap hari ia penuh gaya, sangat keren. Dengan hoodie bermerek, sneakers keluaran terbaru, dan jam tangan mahal yang mencolok di pergelangan tangannya, ia selalu menjadi pusat perhatian. Gaya bicaranya santai, senyumnya penuh percaya diri.Â
Ia sering dipuji-puji oleh anak sekolah, dengan berbisik katanya "Wah,Alvaro sangat keren,emang beda level dengan kita-kita ini."
Namun, tak banyak yang mengetahui, di balik penampilannya yang mewah dan keren itu, ada rahasia yang Alvaro sembunyikan rapat-rapat.Â
Alvaro ini disekolah disukai banyak orang karena gayanya yang keren, ia memiliki banyak teman. Ia sering ganti-ganti tongkrongan karena banyaknya teman yang dimilikinya. Namun, hanya beberapa yang menjadi sahabatnya, namanya Rafael dan Victor.Â
Rafael adalah anak orang kaya, namun ia sangat sederhana,ia orangnya pendiam, namun ia sangat peduli terhadap Alvaro, ia juga mengetahui rahasia dibalik Alvaro. Ia sering mengingatkan Alvaro untuk berhenti hidup hedon dan menurunkan gengsinya demi mendapatkan popularitas. Sementara Victor adalah musuh dalam selimut, ia menjadi teman dekat Alvaro karena hanya ingin mendapat cipratan dari Alvaro.Â
Suatu saat ketika di sekolah, Alvaro yang baru saja membeli sebuah sepatu sneakers baru. Waktu siang, saat jam istirahat, Alvaro berjalan dengan gagah dan senyum percaya diri ke kantin. "Gila bro, sepatu baru lagi ya itu?"."Harganya jutaan kan bro?"."Beli dimana?" Tanya teman-teman. "Ah, biasa lah. Ada koneksi di luar negeri. Gue pesan langsung dari sana," jawab Alvaro, menyilangkan kaki dan memamerkan sneakers putih itu.
Tapi di rumah, cerita Alvaro sangat berbeda. Ibunya adalah seorang penjahit rumahan, sementara ayahnya bekerja serabutan. Untuk memenuhi gaya hidupnya, Alvaro sering menahan uang saku mingguan yang seharusnya digunakan untuk makan siang. Bahkan, beberapa barang yang ia beli adalah hasil pinjaman uang dari Rafael ditambah ia juga kadang menggunakan identitas ibunya.
Suatu hari, ketika siang menjelang sore, Alvaro yang sangat lelah sehabis pulang sekolah ingin merelaksasi pikirannya. Ia membuka media sosialnya kemudian melihat seorang selebgram memakai jaket kulit seharga motor bekas. Alvaro tahu ia harus memilikinya, atau posisinya sebagai "anak keren" di sekolah akan terancam. Katanya Alvaro "Ah,gua harus beli ini apapun caranya." Ia pun memutar otak, kemudian dia pun meminjam yang kepada Rafael.
Rafael yang takut akan Alvaro akan menggunakan uangnya dengan sembarangan lagi hanya memberikan 1/4 dari yang di mintanya. "Bro.. Ini mungkin terakhir kalinya gua minjamin uang ke lo, gue kena marah orang tua gue karena terus menerus meminta uang dengan jumlah banyak, gunakanlah uang ini untuk hal yang baik, jangan di hambur-hamburkan lagi"
Setelah dinasehatin oleh Rafael, bukannya sadar Alvaro malah marah karena uangnya masih kurang. Kemakan oleh gengsinya yang tinggi untuk mempertahankan posisinya sebagai "Anak Keren". Alvaro kemudian membuka aplikasi online dan dengan ragu-ragu mengetik jumlah tambahan yang dibutuhkan.
"Ah, ini cuma sekali. Gak bakal ada yang tahu," gumamnya sambil menekan tombol "ajukan". Uang telah diterimanya kemudian ia langsung membeli jaket kulit yang ia inginkan itu.Â
Esok harinya, Alvaro datang ke sekolah dengan jaket barunya. Semua mata langsung tertuju padanya. "Keren banget, Al! Lo selalu paling update!" seru seseorang. Namun, di balik senyum puasnya, Alvaro mulai dihantui rasa bersalah. Ia tahu tagihan pinjamannya akan jatuh tempo dalam waktu seminggu, sementara ia belum punya uang untuk melunasinya
Sore itu, ketika ia pulang, ibunya menunggu di ruang tamu dengan wajah tegang.
"Alvaro, ini apa?" tanya ibunya sambil menunjukkan pesan dari pihak pinjaman online.
Alvaro terdiam. Ia mencoba mengarang alasan, tapi ibunya memotong.
"Kamu tahu gak ini bunga pinjamannya besar banget? Kita gak punya uang untuk ini, Alvaro!" suaranya mulai bergetar.
Alvaro akhirnya jujur tentang tekanan gengsi yang ia rasakan di sekolah. "Bu, semua orang nilai dari apa yang kita pakai. Kalau aku gak kayak gini, aku bakal dianggap remeh," katanya.
Ibunya menatap Alvaro dengan mata berkaca-kaca. "Nak, gengsi itu gak akan bikin hidupmu lebih baik. Malah, lihat sekarang. Kamu justru merusak kepercayaan kami."
Akhirnya Alvaron pun sadar.Malam itu juga, Alvaro mengambil semua barang-barang mewahnya, memotretnya satu per satu, dan menjualnya di aplikasi preloved. Ia tahu, rasa malu akan datang, tetapi ia memilih untuk memperbaiki kesalahannya. Esoknya, ia datang ke sekolah dengan pakaian sederhana.
Teman-temannya sempat terkejut. Alvaro pun menceritakan segalanya, bahwa ia hanyalah gaya semata, ia tidaklah seperti Superstar yang memiliki banyak uang.Â
Mendengar itu, banyak teman-teman Alvaro yang meninggalkannya, terutama sahabatnya Victor yang langsung pergi sambil mengoceh "Tch, gue kira banyak uang karena gaya pakai barang mewah, ternyata utangnya yang banyak." Alvaro menghiraukannya karena ia tahu bahwa itu benar, Alvaro lupa bahwa ia memiliki sahabat yang memang betul adalah seorang sahabat sejati, yang tidak akan meninggalkan Alvaro, Rafael, datang mendekatinya
"Bro, lo tetep keren kok, gak peduli lo pake barang apa," kata Rafael sambil menepuk bahunya. "Utang lo itu lupakan aja, jadikan ini sebagai pelajaran, jalanilah hidup baru tanpa memikirkan soal gengsi." Alvaro sangat bersyukur dan berterimakasih kepada Rafael, bahwa Rafael telah benar-benar peduli kepadanya dan telah menemaninya di saat senang maupun susah.Â
Dari kejadian itu, Alvaro belajar bahwa harga diri tidak terletak pada barang yang dipakai, tetapi pada bagaimana ia menghargai dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H