Mohon tunggu...
Jason Kartasasmita
Jason Kartasasmita Mohon Tunggu... Lainnya - Pengembara Asa

Seorang pencinta kehidupan, penjelajah rasa, dan makna, yang haus akan bahasa, pertemuan, nada, dan cakrawala baru. Terus bergerak, merangkai kisah, dan menelusuri dunia dengan perspektif awan yang bergelora demi memburu asa.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengupas Skandal Seks Edison Chen vs Ariel Peter Pan: Perlukah Budaya Cancel Culture di Indonesia?

11 September 2024   21:25 Diperbarui: 16 September 2024   13:44 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skandal Seks Edison Chen (Dok. Youtube seeker777tv)

Dalam dunia hiburan, skandal sering kali menjadi bumerang yang menghancurkan karier seseorang. Namun, berbeda dengan budaya cancel culture yang ketat di Korea dan China, masyarakat Indonesia tampaknya lebih cepat memaafkan dan melupakan kesalahan publik figur. Mari kita bahas bagaimana kasus Edison Chen dan Ariel Peter Pan mencerminkan perbedaan ini dan apa yang bisa dipelajari dari fenomena ini.

Edison Chen: Dari Bintang Film ke Hilang dari Layar

Pada tahun 2008, aktor Hong Kong Edison Chen mengalami skandal besar yang melibatkan foto-foto seks pribadi yang bocor ke publik. Foto-foto tersebut melibatkan beberapa selebriti wanita yang juga dikenal luas. Skandal ini segera menyebar luas dan merusak reputasi Chen secara dramatis. Meskipun Chen mengeluarkan permintaan maaf dan mencoba untuk memperbaiki citranya, ia menghadapi penurunan karier yang signifikan. Hingga saat ini, Chen belum sepenuhnya dapat kembali ke dunia hiburan seperti sebelumnya.

Kasus Chen menunjukkan bagaimana skandal pribadi dapat menghancurkan karier seorang selebriti di Hong Kong. Masyarakat Hong Kong memiliki standar moral yang tinggi untuk selebriti. Sekali terlibat dalam skandal, proses pemulihan karier seorang selebriti bisa sangat sulit dan memakan waktu.

Ariel Peter Pan dan "Rekan" : Melenggang Masuk Kembali

Skandal Seks Luna Maya, Ariel Peter Pan, Cut Tari (Dok. Tribunnews.com)
Skandal Seks Luna Maya, Ariel Peter Pan, Cut Tari (Dok. Tribunnews.com)

Berbeda dengan kasus Chen, skandal yang melibatkan Ariel Peter Pan, Luna Maya, dan Cut Tari di Indonesia pada 2010 tampaknya tidak mengakibatkan dampak karier yang setara. Kasus ini melibatkan video seks yang beredar luas dan memicu kegemparan di media. Meski awalnya karier mereka terancam, ketiga selebriti ini akhirnya berhasil kembali ke dunia hiburan.

Ariel, Luna, dan Cut Tari melakukan berbagai langkah untuk memperbaiki citra mereka, termasuk permintaan maaf terbuka dan penampilan publik yang lebih hati-hati. Indonesia, dengan budaya yang mungkin lebih memaafkan dan cenderung lebih mudah melupakan kesalahan publik figur, memberikan kesempatan kedua kepada mereka. Kini mereka kembali aktif di industri hiburan dan sudah diterima kembali oleh publik.

Cancel Culture di Korea dan China

Di Korea Selatan, cancel culture bisa sangat kejam. Skandal, baik yang melibatkan bullying, perilaku tidak etis, atau keterlibatan dalam kasus hukum, sering kali berakibat fatal bagi karier seorang selebriti. K-Pop dan industri hiburan Korea dikenal sangat sensitif terhadap isu moral, dan setiap kesalahan bisa menyebabkan publik dan media menyerang secara besar-besaran.

Begitu juga di China, di mana nilai-nilai moral dan nasionalisme sangat dihargai. Kasus Kris Wu, yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan di bawah umur, dan Zhang Zhehan, yang diboikot karena fotonya di depan Kuil Yasukuni, menunjukkan betapa kerasnya reaksi terhadap pelanggaran moral dan politik. Selebriti yang terlibat dalam skandal seperti ini sering kali dihapus dari publikasi dan media dan karier mereka bisa hancur seketika.

Pembelajaran dari Perbedaan Budaya

Perbedaan antara cara Indonesia, Korea, dan China menangani skandal selebriti menunjukkan bagaimana budaya lokal memengaruhi persepsi dan penilaian terhadap publik figur. Di Indonesia, tampaknya ada rasa pengertian dan kesempatan untuk rehabilitasi yang lebih besar. Sebaliknya, Korea dan China menerapkan standar moral yang sangat ketat, di mana sekali terjatuh, sulit untuk bangkit kembali.

Budaya cancel culture di Korea dan China mungkin mencerminkan harapan masyarakat agar selebriti menjadi teladan moral yang tinggi. Di Indonesia, budaya yang lebih memaafkan mungkin memberikan pelajaran bahwa kesempatan kedua bisa menjadi jalan untuk rehabilitasi dan pemulihan. Perbedaan dalam menangani skandal publik figur mencerminkan nilai-nilai dan budaya yang berbeda di masing-masing negara. Masyarakat Indonesia cenderung lebih mudah memberikan kesempatan kedua. Sebaliknya, masyarakat Korea dan China menerapkan standar yang sangat tinggi dan keras pada selebriti. Apakah budaya cancel culture yang ketat benar-benar diperlukan atau apakah memaafkan dan memberikan kesempatan kedua bisa menjadi solusi yang lebih manusiawi? Ini adalah pertanyaan penting yang harus dipertimbangkan oleh masyarakat Indonesia dalam menyikapi skandal seorang artis dan perannya sebagai teladan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun