Kali ini penulis ingin berbagi pengalaman tinggal dan menjadi anggota dari sebuah keluarga di Jerman. Bulan Juli lalu penulis mendapatkan kesempatan untuk tinggal di  kota Aschaffenburg, Jerman. Aschaffenburg adalah sebuah kota yang terletak di bagian barat Jerman, tepatnya di negara bagian Bayern. Dengan lokasinya yang strategis di dekat Frankfurt, Aschaffenburg juga menjadi pintu gerbang bagi wisatawan untuk menjelajahi wilayah Rhein-Main yang lebih luas. Terletak di sepanjang Sungai Main, kota ini menawarkan pemandangan alam yang indah dan memiliki sejarah yang kaya serta daya tarik budaya yang unik. Selain kekayaan arsitektur dan budaya, Aschaffenburg menawarkan suasana yang ramah dan santai, dengan kafe-kafe yang mengundang untuk menikmati hidangan lokal dan kopi sembari menikmati pemandangan indah sepanjang Sungai Main. Pusat kota yang kuno memiliki jalan-jalan berbatu yang menambah pesona kota ini.Â
Di kota yang indah inilah, penulis tinggal bersama sebuah keluarga Jerman yang juga memiliki anak yang seumur dengan penulis, bernama Nick. Selama dua minggu, penulis menjadi anak asuh keluarga ini dan mengikuti kegiatan yang sama dengan Nick. Penulis merasa beruntung mendapatkan keluarga yang hangat dan diterima seperti anggota keluarga. Pengalaman ini membuat penulis ingin berbagi hasil pengamatan mengenai  pola asuh anak di Jerman yang menurut penulis sangat berbeda dengan pola asuh anak di Indonesia.  Adapun, pola asuh anak merupakan hal penting yang membentuk karakter dan perkembangan anak. Jerman dan Indonesia memiliki pendekatan yang berbeda dalam hal pola asuh yang tercermin pula dari perbedaan budaya dan nilai-nilai masyarakat. Namun, secara garis besar berikut adalah lima perbedaan utama pola asuh anak di Jerman dan Indonesia.
1. Kemandirian dan Tanggung Jawab
Di Jerman, pendidikan anak mengedepankan kemandirian dan tanggung jawab. Anak-anak diajarkan untuk mandiri dan membuat keputusan sendiri sejak dini sehingga mendukung perkembangan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah. Di Indonesia, seringkali pola asuh cenderung lebih protektif, dengan orang tua mengambil peran dominan dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh, anak-anak di Jerman sejak kecil terbiasa bepergian sendiri dengan kendaraan umum. Sebagian besar remaja di Jerman juga sudah mulai bekerja seperti layaknya orang dewasa untuk mengisi waktu luang dan bebas mengelola uang hasil jerih payahnya tanpa intervensi orang tua.
2. Fokus Pendidikan Awal
Jerman memiliki pendekatan pendidikan awal yang sangat sistematis dan berkualitas tinggi. Anak-anak diberi kebebasan bereksplorasi melalui bermain, dengan fokus pada pengembangan sosial dan kognitif. Di Indonesia, pendidikan awal sering kali lebih formal, dengan penekanan pada pembelajaran akademis seperti belajar menulis dan membaca.
3. Hubungan dengan Alam dan Lingkungan
Di Jerman anak-anak diajak untuk berinteraksi dengan alam dan lingkungan sejak dini serta diajarkan untuk mendukung kesadaran lingkungan. Sebagai contoh, anak-anak di Jerman terbiasa tidak menghamburkan listrik, air, dan jarang bermain game atau menonton film. Saat cuaca bersahabat, sebisa mungkin anak-anak menghabiskan waktu di luar rumah. Di Indonesia, kesempatan berinteraksi dengan alam lebih terbatas terutama bagi anak-anak yang tinggal di perkotaan.
4. Disiplin dan Otoritas Orang Tua
Berdasarkan pengamatan penulis, orang tua Jerman cenderung menerapkan pendekatan disiplin yang lebih santai, dengan komunikasi dan penjelasan yang lebih terbuka. Di Indonesia, otoritas orang tua seringkali lebih kuat, dan pendekatan disiplin mungkin lebih tegas. Sebagai contoh, orang tua di Jerman tidak mempermasalahkan anak yang sudah cukup umur untuk berpesta hingga larut malam asalkan sudah meminta izin di awal. Anak-anak juga dimintai pendapat dalam menentukan keputusan keluarga seperti pembagian tugas dalam membersihkan rumah atau mengurus cucian keluarga.Â
5. Peran Ayah
Jerman juga mendorong kesetaraan gender dalam peran parenting, di mana ayah terlibat aktif dalam pengasuhan anak. Di Indonesia, peran gender dalam pola asuh kebanyakan masih mengikuti pola tradisional dimana ibu lebih banyak terlibat dalam pengasuhan. Penulis mengamati bahwa para ayah di Jerman terampil menangani bayi dan bahkan mengganti popok tanpa kehadiran ibunya.
Penulis menyadari bahwa kedua negara memiliki kelebihan dan kekurangan terkait pola asuh anak masing-masing. Di satu sisi, Jerman menekankan kemandirian dan tanggung jawab, sementara Indonesia relatif memiliki nilai keluarga yang kuat. Oleh karena itu, dalam menerapkan pola asuh anak yang tepat, penting bagi orang tua untuk memahami dan menghargai keunikan budaya dan nilai-nilai mereka sendiri, serta mengambil yang terbaik untuk membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang seimbang dan berkembang secara optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H