IDENTITAS BUKU :
Judul              : Azab dan Sengsara
Penulis            : Merari Siregar
Penerbit          : Balai Pustaka
Tahun terbit      : 1993
Cetakan           : Kesebelas
ISBNÂ Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 979-407-168-4
Jumlah Halaman : 163 halaman
Azab Dan Sengsara merupakan karya Merari Siregar yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1920. Novel ini merupakan karya kedua yang sudah diterbitkan oleh Merari Siregar.Â
Cerita yang ditulis bertemakan tentang adat istiadat lama yang melekat pada orang Minang seperti perjodohan kepada anak-anak keturunan Minang dan halangan yang dihadapi dalam sebuah percintaan. Sang penulis membuat novel ini karena ia ingin menunjukan adat dan kebiasaan yang kurang baik yang dialami oleh orang Minang.
Cerita berlatar di Kota Sipirok, Tapanuli Selatan. Disana hidup seorang bangsawan yang memiliki keluarga. Keluarga itu memiliki 2 orang anak, yang satu merupakan laki-laki dan satunya lagi merupakan perempuan.Â
Anak yang perempuan tidak diceritakan pengarang dan anak yang laki-laki bernama Sutan Baringin. Semasa hidupnya ia selalu dimanja oleh ibunya sehingga ia menjadi laki-laki yang pemalas, keras kepala dan angkuh.Â
Setelah dewasa, ia dijodohkan dengan seorang perempuan bernama Nuria. Dari pernikahan tersebut, keduanya dikaruniai dua orang anak, yang satu perempuan dan yang satu lagi laki-laki. Anak yang perempuan bernama Mariamin dan yang laki-laki tidak diceritakan oleh penulis.Â
Mariamin merupakan perempuan yang sopan dan taat terhadap agama maupun kedua orang tuanya. Setelah beranjak remaja, Mariamin jatuh cinta kepada seorang pemuda bernama Aminuddin.Â
Aminuddin merupakan sepupu dari Mariamin, anak dari adik perempuan Sutan Baringin. Namun percintaan mereka terhalang karena ayah Aminuddin tidak setuju karena Mariamin besar di keluarga yang miskin. Sebenarnya ibu Aminuddin menyetujui percintaan tersebut, tetapi karena suaminya tidak setuju maka ia mengalah. Â
Kemudian, Aminuddin menikah dengan perempuan pilihan kedua orang tuanya. Sedangkan Mariamin jatuh sakit setelah mendengar kabar bahwa Aminuddin telah menikah dengan wanita lain.Â
Tidak lama setelah itu, Mariamin dijodohkan dengan lelaki pilihan ibunya yang bernama Kasibun. Namun, bukannya mendapatkan perhatian, Mariamin malah mendapatkan kesengsaraan dari pernikahannya dengan Kasibun. Akhirnya Mariamin meminta untuk bercerai dan setelah itu dikabulkan oleh hakim agama di peradilan agama. Dengan hati yang hancur, Mariamin kembali ke sipirok, dan di sanalah ia menetap dengan penuh kesengsaraan sampai akhir hayatnya.
Di dalam novel ini terdapat beberapa tokoh antara lain Aminuddin, Mariamin, Sutan Baringin, Orang tua Sutan Baringin, Adik dari Sutan Baringin, Nuria, Kasibun, dan Marah Sait. Alur yang digunakan dalam novel ini yaitu alur campuran atau alur gabungan. Alur campuran ini digunakan penulis untuk mengenal tokoh lebih dalam. Seperti, saat penulis menceritakan mengenai masa kecil Aminuddin dan Mariamin.Â
Secara keseluruhan buku ini memiliki banyak kelebihan. Salah satu kelebihannya yaitu adanya ilustrasi yang terdapat di beberapa bab. Dengan adanya ilustrasi ini, saya sebagai pembaca merasa terbantu karena ilustrasi tersebut bisa menggambarkan suasana maupun latar tempat yang sedang diceritakan oleh penulis.
 Seperti pada halaman 120, pada halaman tersebut terdapat ilustrasi yang menggambarkan suasana yang sedang terjadi yaitu Aminuddin yang sedang termenung setelah membaca surat dari kekasihnya. Selain pada halaman 120, pada halaman 154 juga terdapat ilustrasi mengenai Aminuddin dan Mariamin yang sedang termenung dan sedih karena keduanya yang harus berpisah.Â
Selain terdapat kelebihan pada isi buku, kelebihan lainnya juga terdapat pada fisik dari buku itu sendiri. Buku ini menggunakan kertas yang cukup tebal sehingga tidak mudah sobek. Ukuran huruf yang digunakan juga tidak terlalu kecil sehingga mudah untuk dibaca dan tidak membuat lelah mata. Walaupun saya mendapatkan buku yang sudah cukup lama, tetapi secara fisik buku ini masih sangat layak untuk dibaca
Namun, novel ini juga memiliki kekurangan. Kekurangan yang pertama yaitu novel ini masih banyak menggunakan bahasa daerah. Sehingga bisa membuat para pembaca menjadi sulit atau kurang paham dengan kalimat yang disampaikan. Contohnya pada halaman 13 pada kalimat "Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu-nunggu angkang,". Dalam kalimat tersebut terdapat kata daerah yang sudah jarang kita dengar yaitu angkang. Dengan adanya kata tersebut bisa membuat pembaca sedikit bingung dalam memahami kalimat yang diucapkan tokoh. Dikutip dari kamusbatak.com, angkang memiliki arti abang atau kakak.Â
Selain banyak menggunakan bahasa daerah, pada novel ini juga banyak terdapat kata dalam bentuk tidak baku. Seperti pada halaman 12, terdapat kata tidak baku pada kalimat "Jalan dan lorong makin sunyi, laki-laki sedang sembahyang magrib dalam mesjid besar dan perempuan tengah beternak hendak menyediakan makanan untuknya anak-beranak." Pada kalimat tersebut terdapat dua kata dalam bentuk tidak baku. Kata yang pertama yaitu kata "makin" yang merupakan bentuk tidak baku dari kata "semakin" dan kata yang kedua yaitu "mesjid" Â yang merupakan bentuk tidak baku dari kata "masjid".
Azab dan Sengsara merupakan novel yang bagus dalam mengisi kekosongan hari. Terlepas dari semua kekurangan yang ada, buku ini memiliki cerita yang tidak terlalu ringan namun dikemas secara baik. Buku ini bisa menjadi pilihan bagi para pembaca yang menyukai novel bertemakan percintaan yang rumit. Selain itu, buku ini merupakan pilihan yang bagus bagi para pembaca yang ingin mengenal adat istiadat zaman dulu terutama adat di daerah Sipirok dengan sudut pandang yang berbeda.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H