Menjaga kesehatan fisik sudah menjadi tuntutan tidak tertulis bagi semua orang. Dengan fisik yang kuat seseorang dapat menjalankan aktivitas dalam kesehariannya dengan baik.Â
Namun, kesehatan fisik tidak sepenuhnya menjadi tolok ukur kesehatan seseorang. Terdapat kesehatan mental yang juga tak kalah penting dalam menentukan kesehatan seseorang secara utuh (Ayuningtyas et al., 2018). Kesehatan mental memberikan pengaruh besar terhadap cara berpikir dan perilaku seseorang.Â
Seperti bagaimana mereka berinteraksi, menghadapi dan mengatasi masalah, hingga menentukan keputusan. Dapat kita simpulkan bahwa kesehatan fisik dan kesehatan mental saling mempengaruhi. Ketika keduanya tidak seimbang, maka manusia tidak bisa menjalankan hidupnya secara optimal.Â
Melihat dari kondisi saat ini, sebagian masyarakat mulai mengenal baiknya menjaga kesehatan mental. Namun, mereka masih menjadikan kesehatan fisik sebagai fokus utama. Sehingga masih dibutuhkan lebih banyak kesadaran masyarakat untuk menjaga kesejahteraan kesehatan mental mereka dan orang disekitarnya. Â
Kewaspadaan mayoritas masyarakat di Indonesia terhadap kesehatan mental perlahan meningkat. Mulai banyak edukasi pengetahuan umum mengenai pentingnya kesehatan mental.
Terlebih lagi, di era modern ini tersedia banyak sekali platform online yang menyediakan berbagai informasi. Dengan adanya platform online ini, masyarakat dapat mengakses dan mendapatkan informasi seputar kesehatan mental dengan mudah.Â
Namun, sangat disayangkan ketika beberapa pembaca menggunakan informasi yang mereka dapat sebagai acuan untuk mendiagnosis kondisi kesehatan mental mereka tanpa mengetahui kebenaran informasi tersebut.Â
Hal inilah yang disebut dengan Self-diagnosis. Informasi yang ada di media online tidak semuanya dapat dipercaya kebenarannya dikarenakan sifatnya yang umum, dalam artian informasi dapat disebarkan oleh siapa saja.Â
Akibatnya, timbul suatu perasaan cemas berlebih terhadap penyakit dari hasil analisis mandiri yang tidak berdasar atau yang biasa disebut Cyberchondria (Bochet et al., 2014).Â
Selain Cyberchondria, Self-diagnosis dapat memberikan dampak buruk lainya. Yaitu ketika diagnosis yang dilakukan tidak tepat, justru akan membahayakan diri mereka sendiri.Â
Diagnosis yang dilakukan dengan berbekal informasi yang didapatkan secara mandiri dapat menciptakan suatu sugesti. Sehingga seseorang yang pada awalnya tidak mengidap suatu penyakit mental justru mensugesti diri sendiri dan merealisasikan penyakit tersebut. Â
Kembali disayangkan, sebagian besar dari pelaku Self-diagnosis  merupakan golongan generasi muda. Mengingat bahwa pengguna internet saat ini didominasi oleh anak usia remaja. Banyaknya jumlah pelaku Self-diagnosis kesehatan mental kini membuatnya menjadi tren.Â
Sebenarnya sebagian besar kalangan generasi muda sudah mulai memahami pentingnya dalam menjaga kesehatan mental. Mereka juga mengetahui istilah Self-diagnosis beserta dengan bahaya dari tindakan tersebut.Â
Beberapa contoh dari bahaya Self-diagnosis kesehatan mental yang didapat dari jawaban responden yaitu timbulnya perasaan cemas dan takut yang berlebihan hingga mengakibatkan depresi pada seseorang. Â Â
Umumnya dampak buruk dari Self-diagnosis adalah kesalahan dalam menyaring informasi yang didapat secara mandiri melalui internet. Pada zaman yang canggih ini, ada banyak sekali platform yang menyampaikan informasi yang salah satunya adalah beberapa pengetahuan mengenai kesehatan mental.Â
Platform edukasi online ini memang memiliki tujuan yang baik untuk menambah pengetahuan masyarakat. Namun, tidak semua informasi yang ada dapat terbukti kebenarannya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab diagnosis yang salah. Â
 Namun, nyatanya Self-diagnosis memiliki dua sisi yang memberikan dampak baik atau dampak buruk. Self-diagnosis akan menjadi suatu bahaya bergantung dengan bagaimana seseorang menyikapi tindakan tersebut.Â
Self-diagnosis bisa menjadi suatu sikap yaitu sebagai langkah awal seseorang dalam mencegah suatu kemungkinan terburuk yang harus segera ditangani.Â
Tentu hal ini juga berkaitan dengan peran edukasi online yang membagikan banyak informasi digunakan sebagai tahap kewaspadaan diri terhadap kesehatan mental.
Yang perlu diingat adalah informasi yang belum tentu terbukti kebenarannya tidak boleh langsung dipercaya. Ketika terdapat gejala-gejala tertentu yang mirip dengan diagnosis yang telah dilakukan secara mandiri, disarankan untuk segera berkonsultasi kepada pihak yang profesional untuk segera ditangani dan diobati.Â
 Terdapat beberapa saran yang dapat dilakukan untuk mencegah bahaya dari tindakan Self-diagnosis, yaitu :Â
1.Memanfaatkan berbagai platform yang menyediakan informasi mengenai kesehatan sebagai pengetahuan baru, tetapi hindari dalam mempercayai secara penuh informasi yang belum valid.Â
2.Jadikan informasi yang didapatkan secara mandiri sebagai edukasi sementara. Maksud dari edukasi sementara adalah informasi yang ada belum tentu memiliki sumber yang terpercaya dan terbukti kebenarannya, sehingga informasi tersebut tidak bisa langsung dijadikan tolok ukur dalam menilai sesuatu. Konsultasikan kepada pihak yang profesional.Â
3.Gunakan tindakan Self-diagnosis hanya sebagai tahapan awal kepekaan kita terhadap kesehatan mental diri sendiri.Â
4.Ketika merasakan suatu gejala-gejala tertentu, jangan bertindak tanpa ada arahan dan segera hubungi pihak yang profesional untuk ditangani dan diobati.Â
 Yang terakhir adalah hindari perasaan malu atau takut untuk melakukan konsultasi mengenai kesehatan mental kepada pihak yang profesional. Umumnya perasaan inilah yang menjadi salah satu penyebab utama seseorang melakukan tindakan Self-diagnosis.Â
Berkonsultasi bukan suatu hal yang memalukan, justru dengan berkonsultasi kita bisa terhindar dari informasi yang salah dan merujuk kepada tindakan Self-diagnosis. Berkonsultasi juga sangat bermanfaat untuk menjaga kesejahteraan kesehatan mental kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H