Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Nam Ha

16 Juli 2019   08:35 Diperbarui: 16 Juli 2019   09:18 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[image's taken from Pinterest.com]

***

Claude St. Clemenceau sangat mencintai istrinya, Nam Ha. Perempuan cantik berpostur 'petite' tipikal Asia yang ia jumpai delapan bulan silam saat berlibur di Negeri Tanpa Laut, Vietnam.

Claude jatuh cinta pada pandangan pertama dikala senja yang merayap lambat, mengarsir siluet lewat semburat jingga di lengkung cakrawala. Di tepi sungai yang dicengkeram sunyi, seorang wanita dengan kemilau pesonanya dalam balutan Ao Dai yang berdisain memamerkan lekuk tubuhnya secara nyata.

Memancing? Claude merasa tak patut untuk beranggapan ganjil. Menurutnya, setiap negara selalu memiliki kulturnya tersendiri. Adat istiadat yang pasti berbeda. Maka tak ada yang aneh mendapati seorang gadis memancing hanya berkawan petang yang beranjak memeluk malam. Justru Claude berani mengklaim bahwa pertemuan inilah takdirnya yang tak terhindarkan.

Untuk sesaat Claude mematung dicekal oleh kegamangan, antara hasrat mengusik keasyikan si gadis atau berlalu tanpa ramah tamah yang kelak akan ia sesali. Pria Kaukasia itu membiarkan dirinya terpaku, larut dalam kekaguman cara si gadis melempar dan menarik joran yang tampak begitu anggun di matanya. Bahkan di telinga Claude tawa kecil mengikik si gadis Viet ketika umpannya bersambut, sangatlah enak didengar. Begitulah, bila mirakel dewa Cupidon telah bekerja.

"Chao buoi chieu," akhirnya Claude memberanikan diri.

Gadis itu menoleh. Ketika topi Non-La di kepalanya disingkap, seraut wajah oriental bersepuh kulit seputih porselen tampak cantik dipadu sepasang mata bulan sabit di bawah naungan alis tebal natural, bukan sebab gurat arang atau injek implant, sedang bibirnya bulat penuh dengan rona yang membuat dada Claude bergejolak liar.

"Xin chao," gadis itu mengukir senyum, setelah berhasil menguasai rasa terkejutnya.

"Halo, kenalkan nama saya Claude, Claude Clemenceau," Claude mengulurkan tangan. "Saya berasal dari Perancis."

"Bonjour," senyum itu masih terpahat di bibir mungil si gadis cantik. "Je M'appelle Nam Ha."

"Nam Ha! Partes-tu Francais?" mata Claude terbelalak dijejali ketakjuban.

"Juste un petit peu," Nam Ha tersipu malu, jemarinya yang lentik bermain-main di atas lima kancing yang menjadi ciri dan keharusan sebuah busana tradisional.

Perkenalan itu tak berlangsung lama ketika entah darimana datangnya, tetiba muncullah sepasang orang tua, warga lokal lainnya. Claude semula mengira pasangan itu bertujuan sama, memancing di sungai yang praktis bersendiri dalam muram nyaris sesepi cemetery. Nuansa yang bagi umumnya orang Asia akan dianggap situs yang penuh mistis. Namun menyadari aura kedatangannya yang tampak sangat tidak bersahabat, Claude segera berwaspada. Apalagi sejak kunjungannya ke negeri Vietnam Rose ini, baru kali inilah Claude bertemu warga lokal dengan wajah aneh kalau tak ingin disebut menyeramkan. Tak  ada sedikitpun keramahan lokal seperti banyak dijajakan dalam buku dan brosur Travel Guide yang diperuntukkan bagi para pelancong.

Sepasang tua itu lantas berbicara dalam bahasa ibunya dengan irama cepat dan nada tegas yang terkesan penuh luapan amarah. Bahkan Nam Ha tampak canggung menghadapinya. Gadis itu tidak berkata sepatah katapun, wajah cantiknya saja yang menunjukkan derajat kecemasan amat sangat.

"Tuan, uhm..., CC, bolehkan saya memanggilmu CC?" Nam Ha berinisiatif meruntuhkan ketegangan dengan menegur Claude. Terbukti upayanya berhasil ketika pasangan itu lantas menurunkan volume suara lalu tak lama diam walau tetap mengirimkan sorot mata mengancam.

"Ya, silakan saja. Saya suka dengan panggilan itu," Claude menjawab tanpa ragu.

"Jangan takut, CC. Mereka ini baru kembali dari festival. Dan itu hanya...topeng. Uhm... kau tahulah, macam helloween party," jelas Nam Ha setelah beberapa saat berhasil membangun komunikasi dengan pasutri sepuh itu.

"Oh, jadi kurasa, kau sedang berusaha mengatakan bahwa wajah buruk rupa ini hanyalah topeng, begitu kan, Nam Ha?" Claude memandang sekilas pada pasangan yang kompak berbaju warna senada, hitam. Caping mereka tampak usang, anyaman bambunya banyak terlepas. Entah festival apa dengan dress code semacam itu, bahkan kostum Helloween selalu memiliki tema. Tapi ah, sudahlah. Claude cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Mengapa harus repot dengan 'orang-orangan sawah' yang menganggu ini, sementara ada yang lebih sejuk dipandang mata.

Secepat Claude berpaling, secepat itulah sepasang tua buruk rupa itu menghilang. Claude tak ingat kapan tepatnya pasutri itu bergerak. Tapi Claude tak terlalu peduli. Kehadiran Nam Ha telah sukses mensabotase seluruh perhatiannya. Yang takkan terlupa baginya hanyalah tentang harum mewangi kesturi dalam dekapan hangat Nam Ha pada keesokan hari. Claude sungguh tak ingin melepas tubuh mungil itu. Rambutnya yang panjang tebal dan hitam sangat menyenangkan untuk dibelai. Dan dengus nafas halus yang genit menggelitik Adam's apple-nya, membuatnya malas turun dari ranjang. Sejak saat itu Claude terus dibuat takjub oleh fakta, entah darimana asalnya ia punya energi sebanyak ini namun yang pasti Nam Ha selalu berhasil membujuknya beradu cinta seperti sepasang cerpelai. Sepanjang hidupnya Claude telah bercinta dengan banyak wanita di setiap penjuru negeri yang ia kunjungi. Namun baru Nam Ha yang dapat menjaga gelora asmaranya tak pernah padam. Dan secara mengejutkan pula, hanya dengan Nam Ha, vitalitasnya berdobel-kuadrat. 

"Porc a l'aigre-doux," Nam Ha berkata dengan tak lupa mengedipkan sebelah mata. "Kuliner Asia bercitarasa Perancis sebagai pemulih tenaga monsieur CC," tambahnya lagi dengan sesungging senyum penuh arti.

Begitulah Nam Ha. Istrinya itu tak hanya piawai memanjakan lidahnya saja. Ia juga terampil mengurus rumah tangga. Claude kerap membanggakan kegesitan Nam Ha yang membuatnya tak lagi memakai jasa Gavo, Cleanexpress dan Madame et Services. Padahal sebelumnya, minimal dua bulan sekali, Claude harus merogoh dana lumayan besar untuk merawat lukisan, membersihkan tirai-tirai, karpet, langit-langit, kebun dan taman yang mustahil tanpa bantuan tenaga professional.

Claude sangat bersyukur dengan kecakapan Nam Ha dalam berkebun dan mengatur taman hingga Chateu de Clemenceau yang diwariskan orang tuanya kini lebih bernyawa dan tampak jauh tampak lebih asri daripada sebelumnya. Mengagumkan sekali dengan cara Nam Ha memposisikan aneka tanaman, bunga dan ragam vegetasi lainnya agar berkesesuaian. Ia dengan sengaja menempatkan sedum Lemon Ball yang berwarna kuning cerah bersisian dengan Ophiopogon yang akan berubah warna dari hijau menjadi ungu kehitaman ketika musim gugur tiba. Begitu tertata hingga teman dan kolega Claude tak ragu menyebut tamannya sebagai a-very well-structure garden.

Walaupun demikian ada satu hal yang --Claude sungguh tak ingin menyebutnya sebagai kekurangan, sebab ia sadar tak ada manusia di dunia yang sempurna-- namun Nam Ha tampaknya tak cocok dengan hewan peliharaan. Ya, itu saja.

Seingatnya, telah tiga kali Claude mengadopsi Boston Terrier dan French Bulldog, namun tragisnya mereka ditemukan tewas mengenaskan dengan leher tercabik-cabik. Seekor lagi, German Shepperd-nya, pun menghilang tak tentu rimba. Kemalangan serupa terjadi pada sepasang murai yang dibelinya di sebuah pasar gelap di Papua. Nam Ha hanya bisa bersedu-sedan ketika ditanyakan kronologi raibnya sepasang burung mini itu. Yang tersisa hanyalah sepasang raven hitam. Itupun Claude sulit mengingat kapan tepatnya burung gagak itu ada. Sebab adakalanya sangkar itu tampak kosong, lalu tanpa siapapun sadari sepasang raven hitam itu telah berdiam dalam sangkar yang sejak awal memang bukan rumahnya. Begitu seterusnya hingga Claude tak lagi ambil pusing.

Kehadiran Nam Ha dalam rotasi kehidupan Claude terus menangguk apresiasi. Pujian demi pujian datang beruntun. Nam Ha selalu menjadi pembicaraan hangat di berbagai commune. Mereka dengan senang hati memanggilnya "Jack of all trades and master of everything." Dan itu bukan omong kosong teman-temannya atau bualan sekedar menyenangkan hatinya. Sebab Claude pun bisa merasakan sendiri semua perubahan drastis yang mewarnai rumahnya sejak menikahi Nam Ha. Tak berlebihan bila Claude kerap merasa sebagai pria yang paling beruntung di dunia.

Hingga pada suatu pesta, Claude menyaksikan adegan teraneh yang memalu-godam logikanya. Alisnya bertaut saling mengunci, sedang keningnya serentak berlipat-lipat. Mathieu Wiegel, salah seorang koleganya, tampak sedang mengelus pipinya sendiri. Bibirnya memoles senyum sinis penuh kemenangan, namun entah apa yang dia pikir telah dimenangi. Sorot matanya tajam mengarah pada wajah pucat Nam Ha yang terlihat membesi memendam amarah. Claude melihat sendiri istrinya itu baru saja menampar Mathieu.

Tak ingin merusak suasana dengan bermacam prasangka apalagi kecemburuan buta, Claude diam-diam menjauhkan diri dari keriuhan pesta. Lalu di sudut yang tak terjangkau pemilik canda tawa di lantai dansa, Claude bersiap diri ketika Mathieu berjalan menghampiri. Diluar dugaannya, Mathieu hanya berbisik di telinga Claude, "Tidakkah kau merasa, Elle est trop parfait pour toi?"

Claude menatap dalam-dalam wajah Mathieu, mencoba mengorek maksud yang disembunyikan. Namun ia telah mengenal Mathieu dengan sangat baik, jauh sebelum bersua Nam Ha. Claude hanya mendapati raut kecemasan, dan bisikan itu saja yang terus memuting-beliung di labirin hatinya. Elle est trop parfait pour toi? Tidakkah kau merasa ia terlalu sempurna untukmu?

Alih-alih melupakan insiden gasal yang terpampang di depan matanya, Claude justru terhisap oleh bisikan yang menghasut itu. Benar, mengapa tak terpikir olehnya frasa itu? Pelan-pelan pria keturunan Baron itu meneguk minumannya, anggur putih perpaduan Sauvignon Blanc dan Muscadelle, liquid surga yang sangat nikmat. Aah..., bisa jadi Mathieu hanya iri hati saja. Claude mengguncang perlahan tangkai gelas kristal itu. Dalam kegelisahannya, ia terus berusaha meredam perang batinnya sendiri. Namun Claude memang kesulitan untuk mengelak galau yang pada akhirnya berujung melahirkan sebuah ide gila. Tepat ketika istrinya mengeluhkan persediaan rempah-rempah di dapurnya.

"CC, jangan lupa turmeric ya...uhm, aah, poudre de curcuma, boleh juga," demikian Nam Ha berpesan dan tak lupa mengingatkan tentang pesta-pesta mendatang yang sudah terdaftar mengantri pada hari dan tanggal yang telah dilingkari.

Claude masih sempat tersenyum simpul, mendengar aksen lucu dari bibir Nam Ha. Nyata benar, kurun waktu delapan bulan belumlah cukup untuk menyulap lidah Asianya fasih mengucapkan kosakata dalam bahasa Perancis. Tapi, somehow, itu terdengar sangat sexy.

Claude lantas pergi berkendara. Membelah lansekap subur Entre-deux-Mers di timur Bordeaux yang terkenal dengan pemandangan yang memanjakan mata. Lembah menghampar kehijauan oleh kebun-kebun anggur yang menjanjikan. Citroen birunya itu berbelok-belok mengikuti jalanan dalam alur sungai Garonne dan Dordogne. Lalu sejenak lenyap, hilang ditelan bayang-bayang La Roche Tuiliere yang menjulang bersama tetangganya La Roche Sanadoire.

Lima jam lebih, tibalah Claude di tengah gemerlapnya Paris. Terdengar sangat tidak masuk akal bagi siapapun. Ya, mengapa harus ke Paris untuk sekantung rempah-rempah? Mengapa tidak ke Geradmer atau Vagney? Bahkan Claude terpaksa harus mengarang alasan kepada Nam Ha hanya agar bisa mencapai Paris. Sebab Claude sungguh perlu waktu untuk membenarkan ide yang sejatinya pun ditentang oleh nuraninya sendiri, ide tentang memasang seperangkat cctv tanpa sepengetahuan istrinya. Claude sangat tertekan oleh hasrat aneh yang terus mendesaknya untuk membeli cctv. Dan itu mustahil ia dapatkan di region terdekat sebab akan mengundang banyak pertanyaan dari para koleganya. Tak hanya itu, mereka pasti akan mentertawakannya juga, berkata bahwa ini desa ternyaman untuk ditinggali bukan London dimana setiap sudutnya diawasi.

Seminggu, mungkin sebulan telah berlalu, Claude telah melupakan cctv yang dipasangnya. Ada rasa sesal tak berkesudahan mengingat betapa piciknya ia dengan mesin pengintai demi pemuas nafsu penasaran akan keseharian Nam Ha, istri yang sangat ia cintai dengan sepenuh hati. Namun segalanya menjadi berbeda ketika seorang utusan mayor datang mengabarkan kematian Mathieu Wiegel.

Dengan nafas memburu, Claude berlari namun gagal memburu sang utusan. Lalu hati-hati, ia membuka sesuatu yang tergesa diselundupkan ke dalam genggamannya. Gulungan kertas kecil itu hanya tertera kata 'cctv' yang ditulis tangan dengan goresan tegas khas seorang Mathieu, teman mainnya sejak kecil, sahabat terdekat yang selalu merasa yakin dirinya punya sixth sense namun kerap ditertawakan Claude mengingat Mathieu adalah penggemar berat Jensen Ackles dalam American tv series 'Supernatural'. Lepas dari itu, Mathieu adalah juga partner, lawyer-nya yang ambisius dalam bekerja. Kematian Mathieu yang tiba-tiba dan sulit diketahui sebabnya hingga keputusan kremasi yang dinilainya ekstrim mengingat itu bukan cara yang dipakai turun temurun di lingkungan keluarga Wiegel, maka tiba-tiba saja kabar duka itupun berlaku serupa alarm yang menuntut Claude untuk bangun segera dari mimpi terindahnya. Sebuah cara yang aneh untuk mengubah keputusan...

Di ruang kerjanya Claude berdiam. Benaknya kembali menimbang. Tangannya bergetar. Meraba ragu notebook di atas meja. Di saat yang sama, Nam Ha berada ditengah-tengah kesibukkan menghibur dan menjamu para tamu di kediaman keluarga Wiegel.

Setelah memeriksa DVR dan lain-lainnya, dengan menarik nafas berat, akhirnya Claude berhasil membuka notebook-nya. Tampak pada layar monitor ruang tamu yang megah tempatnya menjamu kerabat, sahabat dan kolega dalam pesta-pesta meriah penuh suasana keakraban. Dan ruangan itu kini tampak sepi. Claude memainkan mouse-nya, menggeser tampilan demi tampilan yang telah direkam melalui kamera cctv. Dan semua hanya menampilkan ruangan demi ruangan yang telah sangat ia hafal, sebab di chateau bergaya Roman inilah tempatnya dilahirkan dan dibesarkan hingga bangunan berumur seabad lebih itu diwariskan kepadanya. Pada pilihan terakhir, ia memilih kamera yang dipasang dibalik lukisan besar yang memajang para leluhurnya. Terletak tepat di pavilion depan yang menghadap taman, ruangan penuh kehangatan dimana ia dan Nam Ha biasa bercengkerama hingga mengantarnya pada perkelahian asmara. Secara mengejutkan tampak sosok Nam Ha pada layar notebook itu. Claude pun tersenyum sendiri mendapati istri cantiknya tengah merias diri, duduk dengan anggun menyisir mahkota hitamnya yang menawan. Claude menopang dagu, menatap tak berkedip, dan untuk kesekian kali, tak bosannya ia mensyukuri takdir yang telah mempertemukannya dengan sang istri tercinta.

Claude seperti tersihir menikmati jemari lentik Nam Ha yang menyisir rambutnya dengan ayunan gemulai seperti tangan penari Len Dong yang pernah ia lihat di salah satu kuil di Hanoi. Namun semakin dicermati, lambat namun nyata terjadi, Claude menyadari bila rambut Nam Ha terlihat memanjang, lalu bergerak kian memanjang dan semakin memanjang saja. Bahkan ketika Nam Ha berhenti menyisir, rambutnya itu masih terus memanjang.

"Non! Non!" Claude harus menggosok matanya berulang kali, memastikan netranya tak berkabut atau salah melihat layar gadget itu. Karena sulit untuk percaya, Claude pun bergegas menekan tombol rewind. Namun tayangan itu tak berubah. Justru semakin membuatnya terhenyak. Rambut yang seolah berjiwa itu lalu bergerak merayapi dinding, menjangkau kaca-kaca jendela lantai demi lantai bahkan mencapai kubah dimana empat menara tegak berdiri. Seperti mendapat perintah rambut itupun meraih sarang laba-laba, bergerak kesana-kemari seperti kemoceng di tangan asisten rumah tangga. Claude ternganga.

Kemudian dilihatnya Nam Ha mengangkat kedua kaki lalu meletakkannya di atas meja rias. Seolah belum cukup dengan sesuatu yang dipikirnya hanya ada di novel, drama atau film-film bergenre horror, Claude melihat sepasang kaki indah itupun bergerak memanjang tak hanya paha, betis, namun jari-jemari kaki itu serentak memanjang pula. Claude merasa ia semakin kesulitan bernafas. Keanehan ini benar-benar diluar jangkauannya, bahkan imajinasi terliar yang pernah ia miliki sekalipun.

Dan lagi-lagi, seperti telah diperintah, dua kaki berikut kesepuluh jari bergerak lincah menyapu dan mengepel semua sudut lantai. Tak hanya sampai di situ, seluruh anggota tubuh Nam Ha, bergerak memanjang dan terus memanjang hingga mencapai tempat-tempat yang seolah telah diputuskan menjadi bagiannya untuk dibersihkan. Tak ada sudut chateau yang tertinggal, kebun dan taman, setiap inci yang menjadi propertinya sempurna terjamah dengan hasil yang selama ini telah terbukti mendatangkan decak kekaguman.

"Sacre Bleu!" Claude membekap mulutnya sendiri. Tenggorokannya tercekat. Ketegangan ini sungguh tak setara dengan semua jenis thriller yang pernah ia tonton di layar lebar. Bahkan leher jenjang Nam Ha, tempatnya selama ini mendaratkan banyak ciuman membara, dalam sekejap pun menjadi demikian terlalu jenjang, hingga mencapai dapur yang terletak jauh dari pavilion. Mungkin tertarik terlalu panjang hingga Nam Ha tampak seperti tercekik. Mata indah itu tampak mendelik, nyaris tercabut.

"Oh mon Dieu! Non! Non! Nam Ha, bebe...," Claude hampir menangis melihat penampakan menyeramkan sang istri. Lalu dari leher yang tampak tercekik itu, Nam Ha berusaha memuntahkan sesuatu. Claude sangat tak ingin percaya apa yang tengah dilihatnya. Namun layar monitor di notebooknya, dengan jujur, jelas, dan rinci menampilkan gambar yang terekam melalui kamera cctv yang ia pasang. Muntahan itu berupa gumpalan hitam dimana secara mengerikan berubah menjadi monster-monster mini beragam bentuk yang Claude sendiri pun sulit mendefinisi.

Tiba-tiba salah satu jendela di dapur terbuka dengan sendirinya. Kemudian hinggaplah di bibir jendela sepasang...raven hitam? Tak lama dari tubuh dua gagak itu mengepullah asap hitam. Mungkin semenit berlalu, asap hitam itupun tersapu. Mengingatkan Claude pada trik yang banyak dilakukan di panggung sulap, tahu-tahu kedua raven hitam itu menghilang. Namun gantinya... Oh Lord! terbelalaklah mata Claude. Di layar itu tampak sepasang orang tua berbaju hitam dengan wajah aneh yang segera mengingatkannya pada pasangan buruk rupa pemarah di awal perjumpaannya dengan Nam Ha.

Di bawah jari jemari tak berdaging dan berkuku panjang hitam milik pasangan itu, jatuhlah beberapa bangkai entah hewan atau mayat manusia, Claude tak bernyali memastikannya. Lalu tanpa komando, monster-monster kecil itu bergegas sibuk mengolah rerupa hidangan. Oh Lord! Sacre Blue! Itukah selama ini yang ia makan? Claude pun dibuatnya mual-mual.

Claude menutup wajahnya. Denyut jantungnya berdegup kencang. Kepalanya berat seperti ketiban berton-ton reruntuhan. Seluruh sendinya seperti terlepas. Jaringan kulitnya serasa terbakar. Dan entah apa lagi yang ia rasakan, hanya Claude sendiri saja yang mengetahui.

Dengan nafas masih tersengal-sengal, Claude melepas tangan dari wajahnya. Air mata dan keringat dingin membanjir deras dari dahi dan kujur tubuhnya dalam gigil ngeri, takut, jijik, dan entah apa lagi. Namun sorot matanya yang telah nanar tetap dipaksakannya untuk memelototi hasil dari cctv. Entah desakan apa yang membuatnya ingin tuntas melihat akhir dari kengerian ini. Mungkin ingin meyakinkan dirinya sendiri betapa takdir ini sungguh tak terperi? Atau boleh jadi ia tengah dihancurkan oleh keputusannnya sendiri, cctv yang mungkin tak seharusnya dibeli. Is knowing less better? Entahlah. Yang pasti penyesalan memang tak pernah datang di muka. Namun seberapapun penyesalannya itu, kini sungguh amat tak berarti lagi.

"Bebe! Nam Ha...mon bebe," Claude meratapi notebook-nya. Namun layar itu tiba-tiba kosong. Mendadak tak ada lagi yang tersaji. Claude nyaris membanting keyboard dan monitor itu ketika detik berikutnya, layar itu kembali hidup. Auto menyala saat Claude hampir menyerah dan nyaris mencabut seluruh rambut pirang di kepalanya. Claude menggapai notebook-nya lagi. Setelah horror demi horror yang tersaji di layar itu, ia tak lagi merasakan apapun. Ia hanya ingin menangis. Seperti Nam Ha yang juga tengah menangis di layar monitor itu.

"Bebe.., mon bebe," Claude mengguncang notebook-nya. Menatap lekat-lekat layar monitor itu.

Tampak di layar seraut wajah cantik Nam Ha seperti yang selama ini Claude pandangi dengan sepenuh cinta. Mata bulan sabit dibawah naugan alis tebal natural yang Claude sangat kagumi. Hidung kecil yang lenyap dalam sekali kecup. Bibir mungil merona yang selalu sanggup membangkitkan gejolak liar. Rambut hitam berkilauan dalam gelung yang anggun menawan. Serta gaun hitam kerudung berenda hitam yang sama dikenakan di pemakaman sahabatnya. Wajah cantik itu berurai air mata. Mata indah itu bersimbah duka. Tatapannya berbalur luka dan kekecewaan yang mendalam, tertuju tepat pada Claude yang masih terduduk lunglai dengan tangisan sama.

"Je suis desole, bebe... Je suis vraiment desole..." Claude memeluk notebook itu, membanjirinya dengan airmata dan sisa tenaga yang telah habis terkuras oleh emosi jiwanya yang menghampa.

***

Pustaka:

Petite : kecil

Ao Dai : baju tradisional Vietnam untuk perempuan, berukuran panjang dengan belahan di samping kanan kiri dan pas di badan dengan 5 kancing sebagai symbol ajaran Konfusius

Chao buoi chieu : (dibaca: chow boy cheeoh, artinya: selamat petang)/vietnam

Xin chao : halo (Vietnam)

Non-La : topi khas Vietnam serupa caping yang terbuat dari anyaman bambu

Bonjour : halo

Je M'appelle : Nama saya

Partes-tu Francais : Anda bisa berbahasa Perancis?

Juste un petit peu : sedikit saja

Cemetery : kuburan

Qi pao : baju Vietnam yang mirip dengan cheongsam

Adam's apple : jakun

Porc l'aigre-doux : singkatnya ini nama hidangan semacam babi asam manis dengan saus Sichuan

Elle est trop parfait pour toi? : Dia terlalu sempurna untukmu

Turmeric : kunyit

Poudre de curcuma : bubuk kunyit

Non : tidak

Sacre Bleu : Holy God

Oh mon Dieu : Oh my god

Mayor : walikota

Mon bebe : Sayangku

Je suis desoel, bebe : Maafkanku, sayang

Je suis vraiment desole : Aku benar-benar minta maaf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun