Dikupasnya satu per satu memori tentang wajah-wajah masa lalu dari desa ini. Namun sekeras apapun upaya, tetap nihil hasilnya. Mungkin kalau ia tampan sedikit, akan lebih mudah mengingatnya. Hihi, dan gadis itu tergesa menarik ujung hijabnya, menyembunyikan senyum kecil di bibir mungil.
"Lala putriku, cantikku!"
Lala, gadis berhijab off-white itu sontak menjatuhkan beban berat di tangannya, dua tas besar yang sejak di terminal memang telah menguras tenaganya, satu berisi pakaian, satu berisi oleh-oleh. Larinya menyongsong peluk rindu dari Bunda pun tak terlalu lincah oleh sebab tas punggungnya yang sarat buku-buku. Sejurus kemudian, airmata dan sedu sedan menjadi penyempurna momen temu kangen itu.
"La Fatiha! La Fatiha!" seorang lelaki sepuh ikut tergopoh menyambutnya.
"Abah..," bertubi-tubi Lala menghujamkan bibirnya di pipi keriput si lelaki, Abah yang sangat ia rindukan.
Bunda, Abah, masing-masing lalu menggamit tangan Lala, membimbingnya masuk ke pendopo rumah. Dalam keharuannya, terselip rasa geli di hati Lala. Berjalan di antara Abah dan Bunda yang menggamitnya erat, membuatnya merasa seperti bocah yang baru belajar berjalan. Belum habis suka cita itu, datanglah kesenangan lain. Dua bocah lelaki bermuka seputih wayang cina, berlarian menghambur menjemput pelukannya.
"Subhanalloh! Naku, Dewa!" Lala mencubit gemas pipi-pipi tembam 'berbedak manis' itu. Dan duo itupun tergelak-gelak, berlarian mengelak hujaman kuku dan cium sayang dari Lala.
"Bunda membuat donat. Entah masih tersisa atau tidak gula halus untuk taburan donatnya," Bunda bertutur seraya membasuh wajah Naku dan Dewa.
Usai seremonial yang heboh itu, Lala teringat dengan dua tas besar yang telah ia telantarkan. Namun tak nampak sesuatu apapun di setapak berkerikil berapit kebun berhuni tanaman obat. Seingatnya Abah dan Bunda sibuk dengan euphoria kehadirannya tadi dan abai pada barang bawaannya. Separuh berlari Lala menaiki tangga pendopo. Saat itulah sesosok bayangan tampak berkelebat keluar dari pintu samping. Belum sempat Lala mengenalinya, bayang asing itu telah lenyap dibalik kebun.
"Kau bertemu Fatih? Dialah yang membawakan tasmu, Sayang," kata Bunda seraya meletakkan nampan berisi satu mug teh manis hangat dengan sepiring donat tak berbedak.
"Fatih?" kerut di kening Lala berjuang mencari data tentang nama itu. Fatih? Lala coba menggali namun cepat menyerah pada mesin pencari kata di benaknya yang acap lamban bila dipaksa mengingat masa lalu, apalagi ada godaan aroma harum teh yang mendesak masuk hidungnya. Teh dari kebun Abah yang telah diseduh oleh kesabaran Bunda.