Aih, ada yang berulang tahun ya? Aha, sudah 8 tahun? Dalam rentang waktu selama itu, kuyakin kau masih gagap tentangku. Eh, iya, siapa sih kamu? Dan kau berpikir untuk tidak merasa malu karena memang kau tak sepenuhnya mengenalku. Mungkin lewat gambar kuntum melati yang momen merekahnya itu berhasil kuabadikan, maka biar kutebak kaupun akan berkata, “Ooh, kamu, bunga itu.”
Senyum senangku nyaris mengembang, hingga kau melanjutkannya dengan kalimat, “Tapi begitu banyak bunga di sini. Lihatlah!” seraya menunjukkan semarak bunga-bunga yang bermukim di tamanmu.
Baiklah, aku takkan memaksamu. Sebab dalam kurun waktu itu kutahu bila temanmu silih berganti, banyak yang datang dan tak sedikit juga yang pergi. Seiring bertambah umur, jumlahnya semakin tak terukur. Sangat bisa kumaklumi, bila kaupun kian sulit mengenali satu demi satunya. Termasuk aku, si pemangku kasta sudra walau 5 tahun sudah kusetia mendekam di salah satu sudut kanalmu sebagai penyewa lahan...eh, gratisan? Maaf Kom, aku sedikit keberatan, kalau kau menyebutnya gratisan, sebab mahar telah kubayar dengan sekian tulisan yang kuhaturkan berikut upaya dan segala ketidakmudahannya yang akan sulit kau duga.
Pada kurun waktu yang tak singkat itu, Kom, haruskah kau tanyakan momen terbaikku bersamamu? Benarkah tak ada momen terbaikmu bersamaku? Hahaha! Tapi ah, kuyakin, betapapun kau beri kesempatan padaku untuk bertanya, kau takkan senang mendengar jawabanku. Iya, Kom, sejujurnya hanya ada 2 poin saja yang kudapatkan selama 5 tahun kebersamaan kau dan aku.
Du, du, dua poin saja? Ya, ampun, 2 poin, apa tidak kurang sedikit tuh? Sementara begitu banyak cerita dari teman-teman –dengan gaya memikat, tentu, dan merasa seolah kurang lahan untuk menuangkan– tentang momen terbaik yang dimilikinya saat bersamamu.
Dan kubersikukuh hanya mampu mengajukan dua poin saja? Antara pongah dan bodoh, itulah sebutan yang mungkin akan kau sematkan padaku. Auh, mau bagaimana lagi, Kom? Kejujuran memang sering membuat kesal.
Tapi setelahnya karena penasaran kaupun terpaksa bertanya tentang 2 terbilang itu, lelah dan bungah. Aih, ya, sudah kuduga respon seperti itu. Tapi mari, simak dulu ceritaku. Siapa tahu kelak kerutanmu memudar dan berubah menjadi anggukan kepala.
Lelah.
Kau harus tahu, aku bukanlah seorang penulis, Kom. Menulisku adalah hobi tanpa dukungan intelejensia. Semua hal kutulis sejakku bisa menulis. Seadanya yang sederhana di kepala. Awalnya, Nina, Tin Tin, cerita-cerita dalam majalah Kuncung, semua kutulis ulang dengan tulisan tangan sembari membayangkan Herge berpetualang, Nina dan para gadisnya dengan ragam cerita yang mempesona jiwa muda. Kerinduan pada orang tua, suka duka hidup mandiri di usia dini, dewasa dalam perantauan, digit-digit dalam kalkulasi finansial yang sulit, dan yang tak terbayangkan olehmu adalah hobi mencatat kalimat-kalimat sulit yang kupungut dari media cetak dan televisi. Lihat Kom, tak ada yang tak kutulis. Oya, kau pasti tak kenal dengan majalah Kuncung. Benar tidak? Itu tandanya kau begitu mudanya, sedangku telah lama menua.
Lalu dimana letak lelahnya? Bukankah hobi seharusnya mendatangkan kesenangan?
Ketika sebuah ide datang. Aku menuangkannya dalam buku catatan. Lalu naiklah ke layar digital. Kau tentu tahu, editing selalu merongrong waktu. Padahal waktuku jarang luang. Tak sedikit yang kukorbankan agar sebuah tulisan bisa kupersembahkan. Loh, betul ini, Kom. Aku tidak sedang mengada-ada. Buat apa juga, toh sudah ada ruang bagiku untuk mengada-ada, kanal fiksimu itu.
Sebuah proses yang sungguh melelahkan, Kom. Sebab aku tidak seperti temanmu, PakTjiptadinata, sosok sepuh yang ampuh. Tidak dengan situasi dan kondisi seperti beliau hingga mampu setor wajah secara berkala disertai entitas tulisan yang berkualitas.
Kalau kufokuskan bercengkerama denganmu, pengorbanannya akan terlalu besar, Kom. Para pengiran harus kupasung dalam kamar, tidak kuberi makan, kubiarkan bolos segala mereka punya kegiatan, dan rumahpun harus kurelakan sekotor kandang ayam. Dan jelas kau takkan suka, bukan?
Aku juga bukan Oma Eni yang tak lagi remaja namun selalu ceria memeriahkan Pestasianivalmu itu. Aku? Wah, kalau mesti kuhadiri pestamu itu, ekor yang kubawa cukup panjang, berat dan melelahkan, Kom. Belum lagi, sais kudanya yang perlu kubujuk-rayu. Sedangku tak pandai dalam hal itu. Dia selalu penuh kuasa atasku, Kom. Aku sudah cukup bersyukur dengan segala fasilitas yang dia berikan agar kau dan aku bisa sempulur bertegur.
Kadang demi sebuah tulisan, aku mencuri-curi waktu di tengah gelap-senyap dengan jantung kencang berderap-derap, khawatir Bosku terbangun lalu nyap-nyap. Tausiahnya bakal panjaaang. Dan ujung-ujungnya aku dicap. Tak bertanggung-jawab. Lalai. Biasanya, kalimat penutupnya berbunyi: Ngapain sih? Dapat apaan sih? Pake dibela-belain segitunya?!
Kalau sedang mujur, debat itu lantas cepat terkubur. Akupun mengeluh dalam dengkur, huh, seperti dia tak punya hobi saja. Benar tidak, Kom? Eh, tapi memang ada sedikit benarnya juga. Haha! Maaf Kom, sungguh tak ada niatku menyalahkanmu. Ini murni salah tulisanku yang tak menerbitkan selera bagi teman-temanmu. Itu juga salahku yang tak pandai bergaul, tegur sana, sapa sini. Padahal Kom, di dunia kasatmata, aku tak sekikir yang kau kira. Tapi sudahlah, memang sudah sewajarnya bila lahan sewaku itu sesunyi kuburan. Sesekali saja, atas kemurahan hatimu, aku lantas kau dudukkan di tepi panggung dalam sorot lensa berkilauan. Maka dari itu, akupun tak berharap hadiah ultahku ini dikerek setinggi pancang pucang seperti dalam even tujuhbelasan.
Dengan kesempitan waktuku itu, aku bahkan pernah raib beberapa waktu. Beberapa surat pernah kulayangkan kepadamu. Tapi seperti halnya aku, kesempitan waktu mungkin menjadi alasanmu juga. Walau di masa lalu, kau masih sempatkan sekedar membalas kata selamat hari raya. Ah, kau semakin besar nampaknya, Kom. Kau mungkin terus-menerus berjuang di tengah gelombang yang berasal dari banyak penjuru.
Dan kau tahu, Kom? Ketika kujumpai lagi engkau, nyaris tak kukenali dirimu. Wajah dan semua temanmu itu, membuatku sejenak tergugu dan ragu kugerakkan kembali jemariku. Dan seperti sudah kuduga, aku semakin kesepian dalam hingar-bingar kemolekan parasmu. Seringkali kurindui kau yang dulu. Di lahan sewaku, kau sediakan sebuah ruang tersendiri yang memudahkanku melacak tulisan teman. Sekarang? Maaf ya Kom, secantik apapun wajahmu memajang tulisan teman-temanmu, aku terpaksa menyerah, dan semuanya menjadi terlewati begitu saja oleh mata minus-plusku.
Yang membuatku kian lelah, kau hanya menggeleng abai, saat kutanyakan dimana Fandi, Indri, Jayakardi, Mikey, Edi, Neny, Jeany, Black Horsey, Idoey, dan banyak nama yang pernah singgah di hati. Kalau kepergian aset semacam Fandi, Indri, Jayakardi, kau bersikap tak peduli, lalu macam mana denganku yang tak berbasis fans semasif mereka, Kom? Maka, kata ‘lelah’ jelas poin yang tepat, bukan?
Bungah.
Ya, itu kata dalam bahasa Jawa yang bermakna bahagia. Oh, ya ampun, sesenang itukah hingga kau tertawa sedemikian lebar? Benar, Kom, dengan kehadiranmu, dan dengan caramu sendiri, kau telah memberiku bahagia. Klise ya? Eh, ini sungguh bentuk kejujuran lain yang kali ini tidak membuatmu sebal, namun senang.
Begini Kom, guruku pernah berkata: If you are dissapointed in yourself or your life, start doing things that will make you proud of yourself.
Maka bersamamu, sudah kuperoleh kebanggaan itu. Aku bangga telah berjejak. Tanda bahwaku pernah hadir di dunia, maya dan kasatmata. Kelebihanku hanya itu, jejak sederhanaku. Kelak bilaku tinggal nama, para pengiranku cukup datang mengunjungimu dan merinduiku.
Bersamamu, pernah kujumpai teman yang sebagian tinggal, sebagian menghilang. Entah karena mereka maya sesungguhnya, atau ku yang terlalu sentimentil hingga berharap mereka akan terus ada.
Sungguh Kom, karenamulah, aku pernah mengenal keramahan seorang Jean Rachman, walau sejenak saja kureguk ramah tamah itu. Namun ketulusannya sudah melekat dan sepertinya tak kurelakan lenyap dari benakku. Seperti halnya ibu muda nan jelita, Neny Silvana,bahkan kepadanya –karena rasa percaya– maka berani kuberikan nomor selularku. Meski entah sebab apa kami urung melulu bercanda secara empat mata. Sebuah kepercayaan yang sama antara kita. Aku dengan identiti pasti, lalu kau balas berikan ceklis yang geulis. Huhu..
Aku juga pernah mengenal kecakapan menulis dari seorang Mike ‘Michusa’ Sendow yang perlahan namun pasti keputusannya menghindariku sejauh mungkin dapat kupahami. Padahal pengajaran bahasa inggrisnya sangat memukauku. Lalu Jack ‘Jenius’ Soetoppo yang berlidah tajam hinggaku ngeri dibuatnya namun auranya membuatku ingin terus meraba, belajar leliku politik yang menggelitik keji. Fandi Sido yang handal berfiksi dan suatu hari bermurah hati menawarkan kolaborasi. Dan dimana lagi, kalau bukan karenamu aku dapat berjumpa, mereguk keindahan cerita dari kepiawaian seorang Leil ‘Brilliant’ Fattaya. Walau lagi-lagi, kau kedikkan bahu bilang tak tahu ketika sosoknya menguap tah kemana, padahal ia teman favoritmu bukan? Ah, barangkali aku sajalah yang gagap media.
Seorang lagi, kau kenalkan kepadaku, Ahmad ‘VW Kombi’ Jayakardi, kakek bijak yang tak pernah kehilangan selera bercanda. Padanya, aku bisa bermanja sebagai cucu yang santun. Tentunya beliau tak pernah tahu betapa repotku mencari referensi agar bisa matur kromo se-inggil mungkin. Lalu duo penyair Edi, yang satu Edi ‘Masguru’ Susanto, yang lain Ayah Edy ‘Poetry’ Priyatna. Keduanya penyair sehebat bunda Selsa, Nathania, Venus, Lailatul Kiptiyah.
Ah, ya, lalu seorang teman yang tidak kukenal namun wajah gantengnya memaksaku untuk mengenal dan membaca tulisannya, Pakde ‘Brad Pitt’ Kartono. Lantas seorang teman yang acap kulirik diam-diam, Erwin ‘Principal’ Alwazir. Hahaha! Serius Kom, teman inipun aku tak mengenalnya. Hanya sebab engkaulah, maka kulihat ia sebagai sosok cerdas, tegas, tangguh dan cinta damai. Di setiap tulisannya tampak benar upayanya untuk berpijak di zona netral. Sedang mayoritas temanmu dengan bekal keenceran otak mereka, wawasan yang maha luas, namun tetap saja terlihat kemana lidah mereka menjilat. Saya si pandir inipun bisa merasakan aroma keberpihakan. Yaya, aku tahu, oke, cukup sejauh ini aku curhat kepada hal yang sensitif.
Indri ‘Amazing Mommy’ Hapsari, tentu saja, teman yang tak terlupakan. Sosok perempuan cerdas, pengajar, penulis, keahliannya menyeimbangkan karir dan keluarga bahagia dengan putra-putri sehat dan pintar, konsistensinya bermedsos, kemurahan hatinya, keramahannya, segar dan bernas dalam setiap kata, namun kau biarkan juga ia melenggang, melepaskan diri darimu, itu yang masih sulit kumengerti, Kom. Sekarang ia hanya dapat kutemui di FB, padahal kau tahu aku sangat phobi pada FB. Dan masih banyak, banyak lagi nama yang tak dapat kusebutkan karena kau membatasiku dengan 2000 kata saja.
Dan bersamamu Kom, cerita seputar keseharian seorang pembantu rumah tangga, bisa menjadi magnet yang menarik hingga 500-an pasang mata! Ini bungah yang amat buncah, Kom. Karenamu, Klaudia pun mengetuk kemurahan hati Ardian Syam dan Liz Mutiara dengan tawaran membukukannya. Tak ada pekik yang pas, kecuali yay! that was ‘The Best Moment Ever’!
Ini yang terakhir dan terpenting, Kom. Aku tahu kau telah jemu dengan caraku bertutur yang mulur-mulur.
Lupa dan kematian, adalah hal yang mustahil disembuhkan. Tapi denganmu, setidaknya dapat kuhambat laju kelupaan yang terus merangsek usiaku. Walau tersendat, tetap akan kubayar sewa lahanmu dengan sembahan tulisan. Asal jangan kau gusur lahanku hingga uzur. Baiklah, aku tidak berharap kau mengerti hadiahku ini. Tapi kalau kau sudi menelusur, mana pernah sih aku terlibat dalam setiap evenmu, hm? Hanya karena desaskan rasa terima kasihku kepadamu atas lahan sewaanmu dan segala yang telah kupetik darimu, lelah dan bungah itu, berhari-hari ini telah kuupayakan membalasnya dengan...yeah, apalagi kalau bukan tulisan, sebab hanya itu kesanggupanku. Dan tak lupa, tentu, dalem kawula alit ndherek mangayubagya saha hangaturaken sugeng ambal warsa, sebuah tahniah kepadamu, Selamat Ulang Tahun, Kom.
-Fin-
[gambar: www.thaqafnafsak.com]
Kamus Mini:
Nyap-nyap : marah
Sempulur : [bahasa Jawa] lancar
Matur kromo : [bahasa Jawa] berbicara dalam bahasa jawa halus (inggil)
Pucang : [bahasa Jawa] pohon pinang untuk dilombakan dalam acara perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia dengan ragam hadiah di puncaknya
dalem kawula alit ndherek mangayubagya saha hangaturaken sugeng ambal warsa: [bahasa Jawa] saya turut berbahagia tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H